“LEASING” MASIH BISA TARIK ASET, ANOTASI PUTUSAN MK TENTANG FIDUSIA NO. 18/PUU-XVII/2019

Bagikan :

Ramai publikasi berita media online sejak awal Januari 2020, mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkait Fidusia (Putusan 18/PUU-XVII/2019) yang di ucapkan pada sidang pleno MK tanggal 6 Januari 2020, membuat sebagian perusahaan pembiayaan (“Leasing”/Lessor/Kreditur) resah, karena tidak boleh lagi melakukan eksekusi sendiri (parate eksekusi) terhadap barang Aset/Jaminan Fidusia, sedang di lain pihak seolah – olah Konsumen pembiayaan (Lesse/Debitur) “dimenangkan” karena dalam kondisi tertentu “menganggap” dapat mempertahankan barang yang dikuasainya dari tindakan eksekusi langsung oleh Kreditur. Salah satu media online cnnindonesia.com pada tanggal 13 Januari 2020 memuat berita dengan judul “Putusan MK: Penarikan Barang Leasing Harus Melalui Pengadilan”. Isi pemberitaan tersebut memuat penjelasan juru bicara MK Fajar Laksnono yang menyatakan “tidak boleh lagi ada penarikan barang leasing langsung kepada kreditur,”. pada bagian lain juga memuat penjelasan, “Jika terjadi cedera janji atau wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia tidak boleh dilakukan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur), melainkan harus dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri,“. Jika membaca pemberitaan tersebut, tentu kesimpulannya adalah perusahaan pembiayaan (Lessor/Kreditur) saat ini tidak boleh lagi menarik kendaraan, kecuali dengan permohonan lebih dulu ke Pengadilan Negeri. Menurut saya, kesimpulan tersebut kurang tepat atau mungkin karena saya tidak sependapat. Untuk mengetahui lebih jauh, setidaknya perlu diketahui norma undang – undang yang dilakukan pengujian oleh MK dalam Putusan 18/PUU-XVII/2019, yakni norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), dengan kutipan berikut: (2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Frasa yang ditafsirkan oleh MK, terbatas pada frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) UU Fidusia dan Frasa “cidera janji” dalam Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia.  Memperhatikan Putusan 18/PUU-XVII/2019, menurut saya permasalahan yuridis dan pertimbangan hukum yang dikemukakan, antara lain:
  1. Menurut MK, dalam Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Fidusia terdapat masalah persoalan inkonstitusionalitas karena tidak ada kepastian hukum, berkaitan dengan tata cara pelaksanaan eksekusi maupun berkenaan dengan waktu, kapan pemberi fidusia (debitur) dinyatakan “cidera janji” (wanprestasi), serta hilangnya kesempatan debitur untuk mendapatkan penjualan objek jaminan fidusia dengan harga yang wajar. Disamping itu dalam pelaksanaannya hal tersebut sering menimbulkan perbuatan “paksaan” dan “kekerasan” dari orang yang mengaku sebagai pihak yang mendapat kuasa untuk menagih pinjaman utang debitur, bahkan melahirkan perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh penerima fidusia (Kreditur) serta merendahkan harkat dan martabat Debitur. (Vide: halaman 120 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.17);
  2. Selanjutnya MK mengaskan, tanpa bermaksud mengabaikan karakteristik fidusia yang memberikan hak secara kebendaan kepada pemegang atau penerima fidusia (Kreditur), sehingga pemegang atau penerima fidusia (Kreditur) dapat melakukan eksekusi sendiri terhadap barang yang secara formal adalah miliknya sendiri, demi kepastian hukum dan rasa keadilan yaitu adanya keseimbangan posisi hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur), serta untuk menghindari timbulnya kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan eksekusi, MK berpendapat kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (Kreditur) tetap dapat melekat, sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (Debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan Debitur secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada Kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri. Dengan kata lain, dalam hal, pemberi fidusia (Debitur) mengakui dirinya telah “Cidera Janji”, tidak ada alasan untuk tidak menyerahkan benda yang menjadi objek perjanjian fidusia kepada penerima fidusia (Kreditur) guna dilakukan penjualan sendiri oleh penerima fidusia (kreditur). (Vide: halaman 121 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.17);
  3. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MK berpendapat telah cukup alasan untuk menyatakan:
    • Frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) UU fidusia, hanya dapat konstitusional sepanjang dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang telah terjadinya “cidera janji” (wanprestasi) dan Debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, konsekuensi atas hal tersebut segala mekanisme dan prosedur hukum berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
    • Frasa “cidera janji” dalam Pasal 15 ayat (3) UU Fidusia hanya dapat dikatakan konstitusional sepanjang dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh Kreditur, melainkan atas dasar kesepakatan antara Kreditur dengan Debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”; (Lihat halaman 122 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.18);
  4. Menurut MK, Amar putusan dalam perkara ini tidaklah serta-merta menghilangkan keberlakuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan eksekusi sertifikat jaminan fidusia yang bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada para pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia, sepanjang sejalan dengan pertimbangan dan pendirian MK. Dengan demikian, baik eksekusi yang dilaksanakan oleh Kreditur sendiri karena telah ada kesepakatan dengan pihak Debitur, maupun eksekusi yang diajukan melalui pengadilan negeri, tetap dimungkinkan bantuan dari kepolisian dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses pelaksanaan eksekusi.
BERDASARKAN PERTIMBANGAN DI ATAS, MK MEMBUAT PUTUSAN BERIKUT: 
  1. “….
  2. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
  3. Menyatakan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “cidera janji” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji”;
  4. Menyatakan Penjelasan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3889) sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” bertentangan dengan Undang-126 Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”;
Dalam putusan tersebut, terdapat beberapa kaidah hukum terkait tataran praktik yang menyebabkan eksekusi jaminan fidusia harus berlaku sama dengan eksekusi putusan pengadilan yang telah Berkekuatan Hukum Tetap (BHT), yakni:
  • Amar Putusan No 2. (Kumulasi Kondisi)
Frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap” dalam Pasal 15 ayat (2) tidak berlaku mengikat secara hukum terhadap: (a) Terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi); dan (b) Debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia. Jika kedua kondisi tersebut terpenuhi, maka mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah BHT.
  • Dalam Amar Putusan No. 3
Frasa “Cidera Janji” dalam Pasal 15 ayat (3) hanya mengikat sepanjang dimaknai: (a) Adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur: atau (b) Atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji
  • Dalam Amar Putusan No. 4
Frasa “kekuatan eksekutorial” Penjelasan Pasal 15 ayat (2) tidak berlaku mengikat terhadap: (a) Jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji; dan (b) Debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia Jika kedua kondisi tersebut terpenuhi, maka mekanisme dan prosedur hukum pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah BHT.   ANOTASI PUTUSAN MK NO. 18/PUU-XVII/2019 Sebelum disampaikan tanggapan atas substansi putusan tersebut, melalui tulisan ini saya ingin memberikan catatan terhadap redaksional yang digunakan oleh MK dalam putusan tersebut. Menurut saya, rumusan kalimat yang digunakan oleh MK dalam putusan ini tidak efisien dan tidak efektif. Meski, rumusan kalimat pada pertimbangan sudah cukup jelas memuat alasan dan pertimbangan, namun redaksional amar putusan sulit dimengerti. Dalam posisi MK sebagai lembaga penafsir UU, seharusnya memperhatikan hal tersebut, mengingat tafsiran MK merupakan tafsiran final yang akan digunakan oleh semua pihak dalam memahami UU. selanjutnya, Jika diperhatikan Amar Putusan 18/PUU-XVII/2019, menurut saya Amar tersebut tidak memberikan terobosan hukum yang secara fundamental merubah prinsip Jaminan Fidusia, tidak seperti bayangan saya pada saat membaca berita – berita mengenai putusan tersebut. Singkatnya MK hanya merumuskan solusi praktik terkait pelaksanaan eksekusi, ketika Jaminan Fidusia tidak secara jelas menyepakati cidera janji dan Debitur keberatan menyerahkan barang jaminan secara sukarela. Bagi saya, mestinya hal itu cukup diselesaikan melalui peradilan umum karena substansi yang dipersoalkan menyangkut teknis operasional hukum. Meski demikian, saya mengakui dan mengormati putusan yang dikeluarkan oleh MK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan menguji/menilai konstitusionalitas suatu UU. Artinya MK dapat menilai apakah suatu Undang-undang bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak (konstitusional atau inkonstitusional). (lihat Syawaluddin Hanafi,”Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Ekspose Volume 16, Nomor 1, Januari – Juni 2017, Hlm. 349) Berkaitan dengan beberapa pendapat dalam pemberitaan media online dan putusan tersebut, Pertanyaan yang kemudian muncul adalah “Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap Jaminan Fidusia yang telah menyepakati adanya cidera janji (wanprestasi) secara jelas dan pasti, namun Debiturnya keberatan menyerahkan secara sukarela objek fidusia, pada saat terjadinya wanprestasi ?” Terkait hal itu, perlu dipastikan lebih dulu mengenai, apakah dalam Jaminan Fidusia tersebut telah mencerminkan pendapat MK “Perjanjian Jaminan Fidusia harus memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan, berupa telah adanya keseimbangan hak hukum antara pemberi hak fidusia (Debitur) dan penerima fidusia (Kreditur)”?. (Lihat Hlm. 121 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.17). Sejalan dengan pertimbangan MK, menurut saya, prinsip tersebut merupakan salah satu alasan utama penghargaan dan penghormatan sebuah Kesepakatan. Prinsip atau asas keseimbangan tersebut tidak diwujudkan dari kesamaan jumlah hak dan kewajiban ataupun kesamaan hasil bagi para pihak, akan tetapi lebih kepada pembagian porsi hak dan kewajiban dalam suatu perjanjian, telah didasarkan pada kesadaran ruang lingkup dan tanggung jawab masing – masing pihak, yang kemudian dinyatakan atas dasar kehendak bebas tanpa tekanan melalui suatu konsensus, pada saat membuat perjanjian. Berkaitan dengan Jaminan Fidusia, implementasi asas tersebut diwujudkan dalam bentuk perumusan klausul mengenai “penyerahan sukarela Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia” dari Debitur kepada Kreditur sebagai akibat terjadinya peristiwa “cidera janji/wanprestasi” harus didasarkan pada “kesepakatan”/tidak didasarkan semata mata pada “kewajiban” Pemberi Fidusia untuk menyerahkan objek Jaminan, sebagaimana diatur dalam UU Fidusia. Dengan demikian, dalam hal Perjanjian Jaminan Fidusia dimasud telah mengadopsi asas dan klausul tersebut, Akan tetapi “debiturnya keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia pada saat Wanprestasi”, maka menurut saya, Kekuatan Esksekutorial Sertifikat Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) UU Fidusia, tetap mengikat dan pelaksanaan eksekusinya tunduk pada Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31. Hal tersebut mendasarkan pada pertimbangan berikut:
  1. Klausul/Perjanjian tersebut Telah memenuhi Asas Proporsionalitas; Dengan merumuskan klausul “cidera janji/wanprestasi” dan “penyerahan sukarela Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia” berdasarkan “kesepakatan”/ tidak didasarkan semata mata pada “kewajiban salah satu pihak yang disebutkan dalam UU Fidusia hal ini telah menempatkan para pihak dalam penyusunan perjanjian jaminan fidusia berada dalam posisi yang seimbang, sehingga kesepakatan yang terjadi dalam keadaan tersebut harus dihargai kedudukannya secara hukum, sebagai suatu aturan yang mengikat bagi para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. Sehingga keberatan Debitur untuk menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia pada saat terjadinya “cidera janji/wanprestasi” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, mengingat sedari awal perjanjian tersebut telah memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan, berupa telah adanya keseimbangan hak hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur). (Lihat Hlm. 121 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.17).
  2. Klausul /Perjanjian Tersebut Telah memenuhi Asas Itikad Baik; Perjanjian atau kontrak sebagai wadah yang mempertemukan kepentingan satu pihak dengan pihak lain sejatinya menuntut bentuk pertukaran kepentingan yang adil dan patut yang harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik, hal tersebut merupakan pokok pikiran penting yang menjelaskan korelasi erat antara Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata dengan Pasal 1339 KUH Perdata. Menurut saya, pasal tersebut merupakan landasan berlakunya Asas Itikad Baik terhadap seluruh perjanjian yang dibuat berdasarkan hukum Indonesia, serta membatasi pemahaman Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Konsensualisme. Singkatnya, Asas kebebasan berkontrak tidak dapat ditafsirkan hanya pada keuntungan salah satu pihak (terlebih keuntungan pihak yang telah cidera janji untuk penyerahan obyek secara sukarla), akan tetapi secara wajar harus menjamin terpenuhinya kepentingan pihak lain dalam pelaksanaan perjanjian sesuai Asas Itikad baik. Prof. Dr. Agus Yudha Hernoko S.H., M.H dalam Buku “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” yang diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Grup Tahun, 2010, Edisi 1, Cetakan Ke-1) menyebutkan bahwa “maksud Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik adalah, perjanjian dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan”. Dalam buku tersebut juga ngutip pendapat P.L Werry, dalam buku “Perkembangan Hukum Tentang Itikad Baik di Netherland”, diterbitkan Percetakan Negara RI Tahun 1990, Hlm. 10 – 18, pada intinya menjelaskan salah satu pokok pikiran mengenai fungsi itikad baik yakni “mengajarkan bahwa kontrak harus ditafsirkan secara patut dan wajar (fair)”.Dengan merumuskan klausul “cidera janji/wanprestasi” dan “penyerahan sukarela Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia” berdasarkan “kesepakatan”/ tidak didasarkan semata mata pada “kewajiban salah satu pihak yang disebutkan dalam UU Fidusia hal ini telah menempatkan para pihak dalam penyusunan perjanjian jaminan fidusia berada dalam posisi yang seimbang, sehingga kesepakatan yang terjadi dalam keadaan tersebut harus dihargai kedudukannya secara hukum, sebagai suatu aturan yang mengikat bagi para pihak berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata. Sehingga keberatan Debitur untuk menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia pada saat terjadinya “cidera janji/wanprestasi” tidak relevan lagi untuk dipertimbangkan, mengingat sedari awal perjanjian tersebut telah memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan, berupa telah adanya keseimbangan hak hukum antara pemberi hak fidusia (debitur) dan penerima fidusia (kreditur). (Lihat Hlm. 121 Putusan 18/PUU-XVII/2019, Angka 3.17). Berdasarkan asas tersebut, maka tindakan yang dalam tanda petik “melindungi kepentingan Debitur” yang berkeberatan menyerahkan obyek jaminan secara sukarela pada saat terjadinya wanpretasi, padahal sebelumnya ia telah menyepakati, merupakan tindakan yang tidak patut dan tidak wajar/tidak adil serta bertentangan dengan Asas Itikad Baik. Selain itu, tindakan Debitur tersebut justru telah mencederai hak Kreditur yang timbul berdasarkan keepakatan dan telah menghalangi hak Kreditur untuk melaksanakan kewenangannya berdasarkan pasal 29, pasal 30 dan Pasal 31 UU Fidusia.
  3. Jika Kekuatan Eksekutorial dianggap tidak mengikat untuk semua kondisi, akan bertentangan dengan prinsip keadilan; Selain itu, dalam hal Kreditur dan Debitur telah menyepakati penyerahan sukarela obyek jaminan pada saat terjadinya peristiwa “cidera janji/wanprestasi” maka demi hukum, kesepakatan tersebut harus diakui keberadaannya dan harus dilindungi pelaksanaannya. Pengabaian atas kesepakatan tersebut alih – alih melindungi hak Debitur untuk mendapatkan harga yang wajar atas penjualan objek jaminan fidusia, justru menciderai kesepakatan yang telah dibuat oleh Kreditur dengan Debitur serta menciderai prinsip keadilan secara universal yang diakui sebagai suatu prinsip hukum yang berlaku umum termasuk dalam ranah hukum keperdataan (menurut penulis). Mengutip Jurnal Konstitusi Volume 13 Nomor 1, Maret 2016, yang dipublikasikan oleh Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, pada Hlm. 43 menjelaskan: tidak seorangpun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorangpun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain. (Nullus/Nemo Commodum Capere Potest De Injuria Sua Propria).” Keberatan Debitur untuk menyerahkan obyek jaminan dalam hal terjadinya peristiwa “cidera janji/wanprestasi” meski telah disepakati sebelumnya, merupakan bentuk penyimpangan dan pelanggaran perjanjian. Hal tersebut tidak boleh merugikan hak Kreditur untuk melaksanakan eksekusi obyek jaminan berdasarkan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU Fidusia. Selanjutnya, jika menganggap “Kekuatan Eksekutorial” dalam Amar Putusan MK No. 2 tidak mengikat untuk semua kondisi termasuk terhadap Perjanjian Fudusia sebagaimana dijelaskan di atas, hal tersebut justru akan menciderai prinsip keadilan universal, sekaligus pelanggaran terhadap asas kepastian hukum yang terkandung dalam Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU Fidusia, sedangkan norma tersebut tidak menjadi norma yang di uji oleh MK, bahkan masih berlaku hingga saat ini. Atas pertimbangan tersebut menurut saya, pelaksanaan eksekusi yang didasarkan pada Perjanjian Jaminan Fidusia sebagaimana dijelaskan di atas, tidak perlu mengikuti mekanisme dan prosedur seperti eksekusi putusan pengadilan yang BHT, meskipun terdapat keberatan bagi Debitur untuk menyerahkan obyek jaminan secara sukarela pada saat terjadinya wanprestasi. Lagi pula, , “MK mengakui kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang, tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) ….”. (“….” penghapusan teks oleh penulis)
Berdasarkan pembahasan dan penjelasan di atas, pelaksanaan eksekusi langsung oleh “Leasing” untuk menarik “Aset”/objek jaminan fidusia, terhadap perjanjian sebagaimana dijelaskan di atas tetap dapat dilakukan, sepanjang pelaksanaan eksekusinya dilakukan berdasarkan Pasal 29, Pasal 30 dan Pasal 31 UU Fidusia dan tunduk pada peraturan perundang – undangan lain yang terkait, termasuk dan tidak terbatas POJK 035/POJK.05/2018. (EKN). Sumber Referensi dan Kutipan:
  1. UU Fidusia;
  2. Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019;
  3. Hernoko, Agus Yudha, 2010 “Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial” Jakarta: Kencana Prenada Media Grup;
  4. Kepaniteraan Dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maret 2016, Jurnal Konstitusi Volume 13 Nomor 1;
  5. Hanafi, Syawaluddin, 2017,”Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Menafsir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945” Ekspose, Volume 16, Nomor 1;
  6. com, “Putusan MK: Penarikan Barang Leasing Harus Melalui Pengadilan” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200113112552-12-464820/putusan-mk-penarikan-barang-leasing-harus-melalui-pengadilan cnnindonesia.com, diakses pada tanggal 13 Januari 2020.
  Newsletter: Vol. 2, No. 3, January 2020 | www.ercolaw.com, (C) Copyright By Erlangga Kurniawan. All Rights Reserved Artikel ini tidak termasuk bentuk layanan hukum kepada siapapun dan hanya berupa informasi umum tentang hukum dan/atau peraturan terbaru. Kami tidak bertanggungjawab terhadap segala bentuk keputusan/tindakan yang menggunakan informasi dalam artikel ini. Informasi lebih lanjut mengenai artikel ini, atau konsultansi masalah hukum lainnya dapat menghubungi Erco Law Firm. Dengan membaca artikel dan pembatasan ini dan atau mengakses website Erco Law Firm, anda mengakui dan sepenuhnya setuju dengan isi dan pembatasan ini.

Bagikan :