PENGGANTIAN BIAYA, RUGI DAN BUNGA AKIBAT “BENCANA” BANJIR

Pendahuluan

Banjir yang terjadi di beberapa wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat beberapa hari terakhir menimbulkan sejumlah masalah. Tidak hanya menimbulkan kehilangan harta benda, menurut data terakhir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan ditambah wilayah Lebak, 53 orang meninggal dunia akibat kejadian ini (data terakhir pada Sabtu 4 Januari 2020, pukul 10.00 WIB). Selain itu, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), sejumlah sektor usaha retail, logistik dan perhotelan bahkan disebut lumpuh serta merugi akibat bencana tersebut. Kemudian menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Mandey, menyebut kerugian akibat banjir mencapai Rp1 triliun.

Dari kondisi yang telah disampaikan, timbul beberapa permasalahan hukum seperti yang di ulas oleh hukumonline.com dengan judul “Ini 5 Masalah Hukum Akibat Banjir”. Dalam artikel tersebut disebutkan, salah satu masalah hukum yang dapat timbul akibat banjir selain, gugatan masyarakat (Citizen Law Suit), asuransi, waris, rusaknya dokumen adalah “batalkan perjanjian?”, isi yang disampaikan pada artikel menjelaskan: Banjir juga menyebabkan sejumlah pengiriman barang ke daerah banjir tertunda. Sebab musibah itu melumpuhkan akses transportasi hingga tidak dapat dilewati, sehingga proses pengiriman barang tidak dapat dilakukan oleh ekspedisi. J&T Express misalnya, melalui laman resmi jet.co.id, mengaku adanya penundaan proses pengiriman paket disebabkan bencana alam yang berdampak pada tertutupnya akses transportasi untuk proses pengiriman paket di beberapa wilayah mulai dari Sumatera, Pulau Jawa hingga Nusa Tenggara. “Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang terjadi. Terkait hal ini, J&T Express akan terus memaksimalkan pengiriman paket saat kondisi kembali seperti semula,” kata manajemen dalam laman resminya.

Dari penjelasan pada artikel tersebut, tidak ada keterangan yang menjelaskan batal atau tidaknya perjanjian sebagaimana disebutkan dalam sub judul artikel. Menurut penulis, keterangan tersebut dapat membingungkan pembaca yang awam hukum, jika tidak dijelaskan lebih lanjut, khususnya mengenai konsekuensi banjir dengan batalnya perjanjian ekspedisi.

Tidak semua Perjanjian menjadi Batal Akibat Bencana Banjir

Dalam kondisi yang di jelaskan di atas, perjanjian ekpedisi tidak serta merta batal, hanya karena akses transportasi tidak dapat dilewati. Masalah yang relevan dan mungkin muncul adalah, apakah pihak ekspedisi dapat dituntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika proses pengiriman barang tidak dapat dilakukan atau terlambat dilakukan disebabkan “bencana banjir”? Selain itu, hal yang perlu di ingat oleh pembaca non hukum adalah, dalam penyelesaian sengketa perjanjian, apapun permasalahannya perlu dipelajari lebih dulu dasar pengaturan dan jenis perjanjiannya, karena berbeda jenis perjanjian, berbeda pula dasar dan konsekuensi hukumnya.

Sebagai contoh, batalnya perjanjian akibat “kebakaran yang tidak disengaja” dapat saja terjadi dalam konteks perjanjian sewa menyewa, ketika barang yang menjadi obyek sewa, musnah sama sekali dalam masa sewa karena suatu kejadian yang tak disengaja (menurut penulis : misalnya bencana banjir). Hal tersebut telah diatur jelas dalam Pasal 1553 Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Penjelasan singkat mengenai batal dan kebatalan perjanjian

 Hal lain yang perlu dijelaskan kepada masyaratkan non hukum terkait dengan batal atau kebatalan perjanjian ekspedisi maupun perjanjian lainnya adalah sebagai berikut:

  1. Jika pelaksanaan perjanjian ekspedisi terkendala karena suatu bencana banjir (force majeure), maka hal tersebut belum tentu membatalkan perjanjian. Terkait hal ini, perlu di lihat kembali isi perjanjian yang disepakati para pihak, apakah banjir tersebut disepakati sebagai peristiwa hukum tertentu yang menjadikan batalnya perjanjian ekspedisi?;
  2. Secara hukum mengenai batal dan kebatalan perjanjian maupun perikatan dapat memperhatikan Pasal 1446 – 1456 KUH Perdata. Selain itu, dapat pula disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya:
  3. Tidak terpenuhinya syarat obyektif (hal tertentu dalam perjanjian dan jenis perjanjian yang diperkenankan oleh hukum) sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 ayat (3) dan ayat (4) KUH Perdata;
  4. Ketidakcakapan absolut dan relative, maupun ketidakwenangan untuk bertindak (handelingson bevogdheid);
  5. Bertentangan dengan peraturan perundang – undangan, ketertiban umum dan kesusilaan;
  6. Cacat kehendak;
  7. Penyalahgunaan Keadaan;
  8. Wanprestasi;
  9. Tidak terpenuhinya bentuk formil yang disyaratkan oleh peraturan perundang – undangan.

Apa itu force Majeure?

Dalam KUH Perdata di Indonesia tidak mengenal istilah force majeure. Force majeure merupakan salah satu klausa yang lazimnya berada dalam suatu perjanjian, dikatakan salah satu klausa, karena kedudukan force majeure dalam suatu perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir.

Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-macam keadaan memaksa / force majeure, yaitu: keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) dan keadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid).

Lebih lanjut dijelaskan oleh Agri Chairunisa Isradjuningtias dengan mengutip pendapat Rahmat S.S. Soemadipradja yakni, bila diperbandingkan dengan lingkup force majeure yang diatur di dalam KUHPerdata, maka ada perkembangan yang terjadi. Lingkup force majeure tidak lagi terbatas pada peristiwa alam atau act of God, dan hilangnya objek yang diperjanjikan, tetapi sudah meluas kepada tindakan administratif penguasa, kondisi politik seperti perang. Ruang lingkup atau jenis peristiwa tersebut meliputi:

  1. Resiko perang, kehilangan benda objek perjanjian yang disebabkan dari kuasa Yang Maha Besar: disambar halilintar, kebakaran, dirampas tentara Jepang dalam masa perang (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957);
  2. Act of God, tindakan administratif penguasa, perintah dari yang berkuasa, keputusan, segala tindakan administratif yang menentukan atau mengikat, suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak dalam perjanjian (Putusan MA RI No. 3389 K/Pdt/1984);
  3. Peraturan-peraturan pemerintah (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958); Baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat Super Radio Company NV, tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau karena keluarnya peraturan-peraturan pemerintah (KPUI) tentang larangan untuk mengimpor lebih dari satu merek motor, maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap penggugat, ia harus berikhtiar/berusaha mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT menyatakan bahwa tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya.
  4. Kecelakaan di laut, misalnya kapal tenggelam karena ombak besar memukul lambung kapal (Putusan MA RI No. 409 K/Sip/1983);
  5. Keadaan darurat (Putusan MA RI No. Reg. 1180 K/Sip/1971);
  6. Situasi atau keadaan yang sama sekali tidak dapat diduga dan/atau yang sangat memaksa yang terjadi di luar kekuasaan pihak yang harus berprestasi (Putusan No. 21/Pailit/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst).

Namun demikian, menurut hemat penulis, untuk mempersingkat pembahasan dan menanamkan konsep dasar force majeure kepada masyarakat non hukum, dapat dirumuskan dari penjelasan berikut, yakni:

  1. Peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang tidak terduga oleh Para Pihak pada saat membuat perjanjian; dan
  2. Peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pihak yang harus melakukan kewajiban (menurut perjanian) dan peristiwa tersebut diluar kesalahan para pihak;

Konsekuensi bencana banjir, jika banjir dianggap sebagai force majeure?

Menyambung pembahasan sebelumnya, apakah banjir berpotensi “batalkan perjanjian?” maka perlu diteliti lebih lanjut apakah banjir tersebut disepakati sebagai suatu peristiwa hukum yang secara otomatis membatalkan perjanjian? Karena jika banjir dianggap sebagai suatu bencana alam / force majeure, ketentuan hukum di Indonesia yang relevan dan berlaku dalam kondisi tersebut, hanya mengatur mengenai konsekuensi suatu “keadaan memaksa/ bencana alam / force majeure”, dan hubungannya dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga, sesuai kutipan pasal berikut:

  1. Pasal 1244 KUH Perdata

Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.

Jika di tafsirkan secara terbalik a contrario, maka maksud dibalik pasal tersebut adalah debitur tidak diwajibkan mengganti biaya, kerugian dan bunga jika dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu, disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya.

  1. Pasal 1245 KUH Perdata

Tidak ada penggantian biaya. kerugian dan bunga. bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.

Simpulan & Penutup

Berdasarkan penjelasan 2 pasal di atas, jika banjir dikualifikasi sebagai “keadaan memaksa/ bencana alam / force majeure” yang menyebabkan salah satu pihak terhalang untuk melaksanakan kewajibannya, maka tidak ada penggantian biaya, rugi dan bunga yang dapat diajukan terhadapnya. Demikian pembahasan singkat ini disampaikan sebagai pandangan pribadi untuk menjelaskan pemahaman dasar mengenai konsekuensi hukum akibat terjadinya force majeure. EKN.

Sumber kutipan & Referensi:

  1. “Ini 5 Masalah Hukum Akibat Banjir”, (hukumonline.com, 2020, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5e114935abcbc/ini-5-masalah-hukum-akibat-banjir, 6 Januari 2020);
  2. “Apindo sebut sejumlah sector usaha lumpuh akibat banjir jabodetabek”, (Katadata.co.id, 2020, https://katadata.co.id/berita/2020/01/03/apindo-sebut-sejumlah-sektor-usaha-lumpuh-akibat-banjir-jabodetabek, 6 Januari 2020);
  3. “Akibat Banjir Kerugian Pengusaha Ritel Capai Rp1 Triliun”, (Okefinance.com, 2020, https://economy.okezone.com/read/2020/01/04/320/2149317/akibat-banjir-kerugian-pengusaha-ritel-capai-rp1-triliun, 7 Januari 2020);
  4. Agri Chairunisa Isradjuningtias, Artikel tentang “Force Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia” Hlm. 145, diakses melalui situs: https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q=dasar+hukum+force+majeure, 6 Januari 2020;
  5. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata.

Newsletter: Vol. 2, No. 1, January 2020 | www.ercolaw.com, (C) Copyright By Erlangga Kurniawan. All Rights Reserved

Artikel ini tidak termasuk bentuk layanan hukum kepada siapapun dan hanya berupa informasi umum tentang hukum dan/atau peraturan terbaru. Kami tidak bertanggungjawab terhadap segala bentuk keputusan/tindakan yang menggunakan informasi dalam artikel ini. Informasi lebih lanjut mengenai artikel ini, atau konsultansi masalah hukum lainnya dapat menghubungi Erco Law Firm. Dengan membaca artikel dan pembatasan ini dan atau mengakses website Erco Law Firm, anda mengakui dan sepenuhnya setuju dengan isi dan pembatasan ini.