JIWASRAYA MERUGI, MANTAN DIREKSI MASUK BUI?

 

Sejak Desember 2019 sampai dengan saat ini, berita dugaan kasus korupsi yang terjadi di PT ASURANSI JIWASYARA (Persero) (Jiwasraya) cukup menyita perhatian publik, meski pemberitaannya saat ini tidak seheboh pada awal minggu di januari, namun berita tersebut sempat menjadi tranding topik di beberapa televisi nasional maupun sosial media.

Seperti diketahui, banyak hal yang menyebabkan Jiwasraya menjadi pusat perhatian publik, mulai dari pengelolaan perusahaan yang tidak sehat, gagal bayar terhadap klaim polis yang telah jatuh tempo, defisit keuangan yang nilainya mencapai triliunan, sampai dengan risiko sistemik yang berpotensi memicu krisis keuangan.

Dalam beberapa berita, kasus yang melibatkan Jiwasraya, disebut – sebut memiliki pola yang hampir sama dengan kasus dugaan korupsi yang terjadi di PT ASABRI (Persero) (Asabri), salah satunya disebabkan karena tindakan investasi pada saham – saham yang buruk. Hal tersebut dapat dilihat pada berita Detik.com tanggal 15 Januari 2020, dengan judul “Jiwasraya & Asabri ‘Pelihara’ Saham Emiten Ikan Arwana”. Lebih lanjut, sesuai perkembangan pemberitaan, dugaan Korupsi di Asabri telah dibantah oleh Direktur Utamanya dalam konferensi pers yang dimuat oleh cnbcindonesia.com tanggal 16 Januari 2020 dengan judul “Bantah Mahfud MD, Dirut Tegaskan Tak Ada Korupsi di Asabri”. Meski demikian, terlepas dari kontroversi tersebut, dugaan kasus korupsi yang terjadi di BUMN masih dinantikan kebenarannya hingga saat ini.

Pemberitaan yang meluas mengenai dugaan Korupsi di BUMN khususnya Jiwasraya, telah menimbulkan banyak pertanyaan publik, salah satu dari pertanyaan yang mungkin dipertanyakan adalah kesalahan apa yang sebenarnya terjadi dalam pengelolaan Jiwasraya, sampai – sampai mantan anggota Direksi harus dijerat dengan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Atau mungkin lebih dari itu, seperti apa penerapan UU Tipikor diberlakukan terhadap mantan anggota Direksi Jiwasraya yang disangka melakukan tindak pidana korupsi.

Terkait hal itu, saya mencoba menganalisis secara mandiri informasi yang tersedia dalam media elektronik dengan pendekatan normatif, hal tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana kesalahan pengelolaan Jiwasraya selaku BUMN berelasi dengan tindak pidana korupsi dan seperti apa proses hukum yang seharusnya dilakukan terhadap kasus tersebut, khususnya terhadap mantan anggota Direksi Jiwasraya yang disangka melakukan korupsi.

Meski sumber penulisan ini hanya didasarkan pada informasi yang diperoleh dari media elektronik. Namun pemilihan sumber informasi dalam tulisan ini telah dilakukan melalui proses telaah (self assestment) mendasarkan pada beberapa pemberitaan dalam media elektronik tertentu, yang menurut saya memiliki reputuasi baik dari segi jurnalistik, dengan harapan sumber informasi yang diberitakan aktual dan valid.

Dalam kasus ini, hal yang menurut saya penting untuk di cermati adalah kronologi kasus Jiwasraya, utamanya mengenai dugaan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) yang dilakukan oleh mantan anggota Direksi dalam pengelolaan Jiwasraya, untuk kemudian dianalisis berdasarkan pasal – pasal tindak pidana korupsi yang dikenakan oleh Aparat Penegak Hukum (APH) terhadap mantan anggota Direksi yang kini menjadi Tersangka.

Penyebab Kerugian dan Bentuk Kesalahan Pengelolaan Jiwasraya

Beberapa kronologi yang berhasil diselusuri memiliki versi yang berbeda dalam menjelaskan kerugian dan bentuk kesalahan dalam pengelolaan jiwasraya, diantaranya ada versi OJK, BPK maupun versi Tersangka. Terlepas dari perbedaan tersebut, versi kronologi yang digunakan dalam penulisan ini mengacu pada keterangan yang disampaikan oleh BPK berdasarkan pemberitaan kompas.com pada tanggal 9 Januari 2020 dengan judul “Simak, Ini Kronologi Lengkap Kasus Jiwasraya Versi BPK”. Berdasarkan informasi tersebut, diketahui beberapa hal yang dapat ditarik sebagai informasi awal mengenai sebab akibat maupun bentuk kesalahan dalam pengelolaan Jiwasraya, serta hal – hal lain yang memiliki keterkaitan penting, antara lain:

  • Kerugian yang dialami Jiwasraya terjadi karena menjual produk saving plan dengan cost of fund yang tinggi di atas bunga deposito dan obligasi, serta adanya Kesalahan dalam mengelola investasi di dalam perusahaan;
  • Investasi yang dilakukan oleh Jiwasraya tersebut, tak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai, serta kurang optimalnya Jiwasraya dalam mengawasi reksadana yang dimiliki;
  • Pembelian saham – saham oleh Jiwasraya dilakukan dengan negoisasi bersama pihak-pihak tertentu agar bisa memperoleh harga yang diinginkan. Untuk saat ini, indikasi kerugian negara atas saham tersebut sebesar Rp 4 triliun;
  • Jiwasraya mendapatkan opini tidak wajar disebabkan adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. “Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan, seharusnya perusahaan menderita rugi (pada saat itu)”;
  • Hasil investigasi BPK menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi;

Sumber informasi lain yang digunakan dalam tulisan ini juga mendasarkan pada berita yang dirilis okezone.com tanggal 23 Desember 2019 dengan judul “17 Fakta soal Kasus Jiwasraya, Dinilai Sembrono hingga Gagal Bayar Polis”. Pada berita tersebut dijelaskan bahwa “Kegiatan investasi itu melibatkan 13 perusahaan, di mana kerugian tersebut timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip tata kelola perusahaan yang baik atau Good Corporate Governance,”. Lebih lanjut, hal yang sama juga dijelaskan dalam berita cnnindonesia.com tanggal 27 desember 20119 dengan judul “Dosa-Dosa Jiwasraya Versi Audit BPK 2016”. Dalam berita tersebut dijelaskan bahwa, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I (IHPS) Tahun 2016, BPK menyatakan dalam mengelola dana investasi nasabah, petugas pengelola dana aktivitas pada perusahaan asuransi tersebut tidak menerapkan prinsip korporasi yang sehat. Praktik tersebut terjadi pada 2014 dan 2015”.

Meski informasi tersebut belum lengkap, namun dirasa cukup memadai sebagai informasi awal obyek kajian dalam tulisan ini, mengingat tulisan ini hanya berupaya menjawab rasa penasaran pribadi untuk mengetahui sejauh mana kesalahan pengelolaan Jiwasraya selaku BUMN, berelasi dengan tindak pidana korupsi dan seperti apa proses hukum yang seharusnya dilakukan dalam penanganan kasus korupsi Jiwasraya. Lebih lanjut dapat disampaikan, mengingat keterbatasan informasi yang dimiliki dan proses penyidikan yang masih berlangsung hingga saat ini (belum sampai ke persidangan), maka tulisan ini tidak membahas dan tidak memberikan pendapat tentang ada atau tidaknya niat salah (mens rea) dalam diri Tersangka, meskipun hal tersebut merupakan elemen penting dalam melakukan anisis perkara tindak pidana di Pengadilan.

Pasal Terhadap Tersangka Kasus Jiwasraya

Menurut berita yang di rilis oleh cnbcindonesia.com tanggal 15 januari 2020 dengan judul “Dugaan Korupsi Sistemik, Kejagung Tahan 5 Tersangka Jiwasraya”, dijelaskan bahwa sampai saat ini Kejaksaan Agung telah menetapkan 5 tersangka, Kelimanya adalah Benny Tjokrosaputro yang merupakan Dirut PT Hanson International Tbk, Heru Hidayat selaku Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk, Hary Prasetyo mantan Direktur Keuangan Jiwasraya Jiwasraya periode Januari 2013-2018, Hendrisman Rahim mantan Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 dan Syahmirwan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya.” Kelima tersangka tersebut dijerat dengan Pasal 2 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dalam sangkaan primer dan Pasal 3 UU Tipikor untuk sangkaan subsidair. Atas perbuatannya tersebut, kelima tersangka diancam penjara maksimal 20 tahun dan denda maksimal Rp 1 milliar.

Informasi serupa juga dapat diketahui dalam berita yang dirilis oleh Kontan.co.id pada tanggal 15 Januari 2020 dengan judul “Kejagung jerat pasal korupsi ke Benny Tjokro di kasus Jiwasraya”. Berdasarkan pemberitaan tersebut, diketahui pasal korupsi yang dikenakan kepada tersangka mengacu pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor yang memuat pengaturan berikut:

Pasal 2 Ayat (1) menjelaskan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya  diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar”. Selanjutnya Pasal 3 menjelaskan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang “dapat” merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar”.

Keuangan Negara pada Jiwasraya

Sebelum mengulas lebih jauh mengenai Kerugian Negara dalam kaitannya dengan kasus Jiwasraya, perlu kiranya dipahami aspek Keuangan Negara pada BUMN menurut peraturan perundang – undangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kepentingan negara dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi yang melibatkan BUMN. Terkait hal itu, aspek Keuangan Negara pada BUMN dalam tulisan ini akan ditinjau secara normative berdasarkan Undang Undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003 tentang Kekayaan Negara (UU KN), Undang Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait.

Dalam Pasal 1 Ayat (1) UU KN telah dijelaskan bahwa pengertian dari Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu yang dapat dijadikan milik negara, berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Selanjutnya, bentuk – bentuk Keuangan Negara dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 huruf (g) UU KN meliputi “kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. Singkatnya berdasarkan pasal – pasal tersebut dapat dipahami bahwa secara hukum konsep Keuangan Negara meliputi kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara yakni BUMN.

Pendapat tersebut relevan dengan Pasal 1 Ayat (1) UU BUMN, yang menjelaskan bahwa BUMN merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 1 Ayat (10) UU BUMN, Kekayaan Negara yang dipisahkan adalah kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Menurut saya, cara pandang tersebut bersesuaian dengan Pendapat Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 62/PUU-IX/2013 tanggal 18 September 2014 (Putusan MK 62/PUU-IX/2013), yang dapat dilihat pada Angka 3.18 sebagai berikut:

Menimbang bahwa pemisahan kekayaan negara dalam BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya, harus dikaitkan dengan kerangka pemikiran tersebut. Pemisahan kekayaan negara tidak dapat diartikan sebagai putusnya kaitan negara dengan BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Pemisahan kekayaan negara pada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya hanyalah dalam rangka memudahkan pengelolaan usaha dalam rangka bisnis sehingga dapat mengikuti perkembangan dan persaingan dunia usaha dan melakukan akumulasi modal, yang memerlukan pengambilan keputusan dengan segera namun tetap dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Lebih lanjut, dalam Poin 3.23 paragraf keempat Putusan MK 62/PUU-IX/2013 juga memberikan penjelasan bahwa kekayaan yang dipisahkan bukan merupakan suatu transaksi yang mengalihkan hak, sehingga Kekayaan Negara yang dipisahkan tersebut masih merupakan Keuangan Negara, sesuai kutipan berikut:

Bahwa, menurut Mahkamah, pemisahan kekayaan negara dimaksud dilihat dari perspektif transaksi bukanlah merupakan transaksi yang mengalihkan suatu hak, sehingga akibat hukumnya tidak terjadi peralihan hak dari negara kepada BUMN, BUMD, atau nama lain yang sejenisnya. Dengan demikian kekayaan negara yang dipisahkan tersebut masih tetap menjadi kekayaan negara. Terkait dengan kewenangan BPK untuk memeriksa, menurut Mahkamah, oleh karena masih tetap sebagai keuangan negara dan BUMN atau BUMD sesungguhnya adalah milik negara dan sebagaimana dipertimbangkan di atas, adalah juga kepanjangan tangan negara maka tidak terdapat alasan bahwa BPK tidak berwenang lagi memeriksanya. Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance, pengawas internal, selain Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas masih tetap relevan;

Berdasarkan pertimbangan tersebut dapat dipahami bahwa aspek Keuangan Negara meliputi Kekayaan Negara yang dipisahkan pada BUMN, termasuk pula Keuangan Negara yang ditempatkan dalam Jiwasraya (Vide: Pasal 1 Ayat (1) UU KN Jo. Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (10) UU BUMN Jo. Putusan MK 62/PUU-IX/2013).

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa negara memiliki kepentingan langsung terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi sehubungan dengan pengelolaan Keuangan Negara oleh Jiwasraya selaku BUMN. Kepentingan tersebut berelasi erat dengan pendekatan tujuan yang terkandung dalam UU Tipikor, yakni follow the suspect dan follow the money. Terkait hal itu, pengungkapan kebenaran terhadap kasus ini sangat dinantikan oleh publik bukan saja mengenai pembuktian siapa pelakunya, namun yang lebih penting adalah bagaimana makanisme hukum dapat di operasionalkan secara maksimal untuk pemulihan Kerugian Negara, jika perlu dilakukan investigasi lebih lanjut dengan perspektif tindak pidana pencucian uang, agar upaya pemulihan Kerugian Negara dapat menjangkau beberapa pihak yang ikut terlibat mengelola hasil tindak pidana, termasuk mengungkap beberapa layer transaksi yang mencurigakan.

Kerugian Negara Harus Nyata dan Pasti

Menurut Pasal 1 Ayat (15) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (UU BPK) Jo. Pasal 1 Ayat (22) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (UU PN) memberikan rumusan yang sama mengenai pengertian dari Kerugian Negara yang dipersamakan dengan Kerugian Daerah yaitu kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai. Dari pengertian Kerugian Negara tersebut, menurut saya terdapat unsur penting yang terkandung didalamnya yang dapat digunakan untuk memformulasikan unsur Kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi:

  1. Kekurangan uang, surat berharga, dan barang;
  2. Nyata dan pasti jumlahnya;
  3. Akibat perbuatan melawan hukum maupun Kelalaian; dan
  4. Hubungan Kausalitas a, b dengan c.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa terkait penyidikan tindak pidana korupsi, hal utama yang perlu dipastikan lebih dulu adalah bentuk kerugian yang jumlahnya pasti, hal ini seharusnya berlaku pula dalam penyidikan tindak pidana korupsi Jiwasraya. Pendirian tersebut sebenarnya telah dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016 (Putusan 25/PUU-XIV/2016) tanggal 25 Januari 2017, yang pada pokoknya MK menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh MK dalam Putusan tersebut termuat dalam halaman 113 – 114 sesuai kutipan berikut:

  • “… Kerugian negara merupakan implikasi dari: 1) adanya perbuatan melawan hukum yang menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor dan 2) Penyalahgunaan kewenangan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU Tipikor. Berdasarkan hal tersebut menurut Mahkamah unsur merugikan keuangan negara tdak lagi dipahami sebagai perkiraan (potensial loss) namun harus dipahami benar – benar sudah terjadi atau nyata (actual lost) untuk dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi”;
  • “… pencantuman kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor membuat delik dalam kedua pasal tersebut menjadi delik formil. Hal itu menurut Mahkamah Konstitusi dalam praktik sering kali disalahgunakan untuk menjangkau banyak perbuatan yang diduga merugikan keuangan negara, termasuk terhadap kebijakan atau keputusan diskresi atau pelaksanaan asas Freies Ermessen yang diambil bersifat mendesak dan belum ditemukan landasan hukumnya, sehingga seringkali terjadi kriminalisasi dengan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang. Demikian juga terhadap kebijakan yang terkait dengan bisnis namun dipandang dapat merugiakn keuangan negara maka dengan pemahaman kedua pasal tersebut sebagai delik formil sering kali dikenakan tindak pidana korupsi. Kondisi tersebut tentu dapat menyebabkan pejabat public takut mengambil suatu kebijakan atau khawatir kebijakan yang diambil akan dikenakan tindak pidana korupsi, sehingga di antaranya akan berdampak pada stagnasi proses penyelenggaraan negara, rendahnya penyerapan anggaran dan terganggunya pertumbuhan invetasi….”;
  • “… menurut Mahkamah kata “dapat” dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juga bertentangan dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi prinsip hukum harus tertulis (lex scripta), harus ditafsirkan seperti yang dibaca (lex Stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenanya bertentangan dengan prinsip negara hukum sebgaimana ditentukan dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.”

Berdasarkan putusan tersebut penerapan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus didasarkan keadaan faktual dari suatu kerugian yang jumlahnya telah pasti. Terkait kasus Jiwasraya, berdasarkan berita yang dirilis oleh cnnindonesia.com pada tanggal 8 januari 2020 dengan judul “BPK Ungkap Kerugian Dugaan Korupsi Jiwasraya Maret 2020hasil Kerugian Negara secara pasti belum dapat ditentukan, karena BPK baru mendapat permintaan penghitungan Kerugian Negara dari kejaksaan agung pada tanggal 30 Desember 2019.

Meskipun demikian, terdapat informasi lain yang patut dipertimbangkan mengenai indikasi Kerugian Negara mendasarkan pada kondisi yang dialami oleh Jiwasraya saat ini: “… masalah tekanan likuiditas. Manajemen Jiwasraya menyebut ekuitas perseroan negatif sebesar Rp23,92 triliun per September 2019. Pasalnya, liabilitas perseroan mencapai Rp49,6 triliun, sedangkan asetnya hanya Rp25,68 triliun. Tak hanya itu, Jiwasraya belum dapat membayar klaim polis jatuh tempo sebesar Rp12,4 triliun kepada nasabah pada 2019. Sementara, Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan indikasi tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan dan dana investasi Jiwasraya. Perusahaan asuransi itu disebut-sebut Jiwasraya berpotensi merugikan keuangan negara Rp13,7 triliun per Agustus 2019.

Fakta yang bersumber dari Manajemen Jiwasraya tersebut patut menjadi perhatian dan pertimbangan dalam mengidentifikasi adanya satu kondisi yang tidak sehat dan berpotensi menimbulkan Kerugian Negara. Namun demikian, dari perspektif pemenuhan delik yang disangkakan oleh APH yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor terdapat suatu permasalahan dalam penegakan hukum.

Sebagaimana dijelaskan di atas, Putusan 25/PUU-XIV/2016 telah merubah kualifikasi delik pidana dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor dari delik formil menjadi delik materil (delik yang mengharuskan adanya akibat hukum atas tindakan yang dilarang). Menurut saya, konsekuensi tersebut mewajibkan Kejaksaan, untuk mempersiapkan bentuk dan angka pasti dari suatu Kerugian Negara sebelum menentukan tindak pidana dan melakukan serangkain tindakan penyidikan. Dengan kata lain, penyidik harus terlebih dahulu memastikan jumlah dan bentuk kerugian negara berdasarkan hasil Audit BPK, karena hanya BPK yang memiliki kewenangan konstitusional menyatakan Kerugian Negara, baru kemudian melakukan tindakan penyidikan dan memproses para Tersangka. Tidak sebaliknya, menangkap dan menahan dulu, baru kemudian melakukan perhitungan Kerugian Negara kepada BPK, alih alih tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa.

Dari segi proses hukum yang baik, benar dan adil (due process of law), ketiadaan bentuk dan jumlah yang pasti atas Kerugian Negara dalam penyidikan tindak pidana korupsi Jiwasraya, menciderai hak – hak individu para Tersangka. Bagi lawyer Tersangka hal ini mungkin menjadi pertimbangan untuk mengajukan upaya praperadilan, karena bagaimanapun juga kepastian hukum terhadap suatu proeses penegakan hukum tetap harus diutamakan, termasuk dalam hal tindak pidana korupsi. Meski demikian, dalam praktiknya terkadang perhatian publik menjadi suatu pertimbangan sebelum melakukan upaya hukum bagi Tersangka dan Lawyernya, terlebih para Tersangka saat ini sudah dianggap sebagai “public enemy” oleh masyarakat, akibat serangkaian keterangan Kejagung yang menurut saya tidak profesional, serta pemberitaan yang luas dan berulang oleh media elektronik.

Pengelolaan Keuangan Negara Tunduk pada Prinsip Good Corporate Governance

Prinsip Pengelolaan Perusahaan yang Sehat atau yang lebih populer dikenal dengan Good Corporate Governance (GCG) sebenarnya bukan hal baru bagi BUMN. Sejak berlakunya UU BUMN pada tahun 2003, prinsip GCG tersebut merupakan prinsip dasar dalam melakukan pengelolaan Keuangan Negara oleh BUMN, Sekalipun pada saat BUMN mendapatkan penugasan khusus dari Pemerintah (Publik Service Obligation). Tidak hanya dari segi keuangan, Prinsip GCG tersebut diamanatkan oleh UU BUMN kepada Direksi selaku pengurus, untuk diterapkan dalam semua hal mengenai pengurusan BUMN. Prinsip – prinsip tersebut antara lain:

  • Prinsip transparansi dalam proses pengambilan keputusan dengan mengungkapkan informasi material dan relevan;
  • Prinsip kemandirian, yang menekankan pengelolaan BUMN harus dilakukan secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan;
  • Prinsip Akuntabilitas dimana pengelolaan harus didasarkan pada kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ;
  • Prinsip pertanggungjawaban pengelolaan BUMN yang wajib tunduk pada segala bentuk peraturan perundang-undangan terkait; dan
  • Prinsip kewajaran yang menekankan bahwa dalam pengelolaan BUMN memperhatikan keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundangundangan.

Penegasan keberlakukan prinsip GCG tersebut, selain diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) UU BUMN, terhadap perusahaan negara dengan bentuk perseroan terbatas juga terikat dengan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Dalam Pasal 4 dan penjelasan UU PT disebutkan bahwa setiap Perseroan tunduk pada Anggaran Dasar Perseroan dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, hal tersebut tidak menghilangkan kewajiban hukum untuk memenuhi Prinsip-Prinsip Perusahaan yang Sehat atau GCG. Dalam pelaksanaannya, pengakuan dan pemberlakuan Prinsip GCG dalam mengelola Keuangan Negara pada suatu BUMN juga telah di ditegaskan dalam Putusan MK 62/PUU-IX/2013 “… Meskipun demikian, supaya BUMN dan BUMD dapat berjalan sesuai dengan prinsip Good Corporate Governance ….”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan Kuangan Negara yang dipisahkan pada suatu BUMN, termasuk Jiwasraya tunduk pada Prinsip-Prinsip Perusahaan yang Sehat atau GCG.

Pelanggaran prinsip Good Corporate Governance, pintu masuk penyidikan tindak pidana Korupsi di Jiwasraya

Sesuai informasi yang dihimpun dari pemberitaan, diketahui bahwa pengelolaan Keuangan Negara oleh mantan anggota Direksi Jiwasraya dilakukan secara “tidak sehat” dalam arti, Investasi yang dilakukan tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai. Selain itu, Jiwasraya dinilai kurang optimal mengawasi reksadana yang dimilikinya. Sebagai salah satu contoh pelanggaran investasi yang dilakukan oleh Jiwasraya dapat diketahui dalam pemberitaan yang pada halaman tirto.id tanggal 17 Januari 2020 dengan judul “Lika-Liku Bisnis Hanson International, Biang Keladi Kasus Jiwasraya”. Dalam pemberitaan memuat penjelasan: “…berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP BPK) tahun 2016, transaksi pembelian surat utang milik Hanson International dengan peringkat BBB oleh Jiwasraya tersebut dianggap kurang memperhitungkan aspek legal. Selain itu, (… Hasil investigasi BPK menunjukkan adanya penyimpangan yang berindikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi….)

Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui pengelolaan Keuangan Negara oleh Jiwasraya tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan terkait dan terindikasi Fraud, atau dengan kata lain dapat di asumsikan adanya bentuk penipuan yang dilakukan secara sengaja oleh pelaku, yang kemudian berakibat menimbulkan kerugian tanpa disadari oleh pihak yang dirugikan serta memberikan keuntungan bagi pelaku fraud. (lihat: Chandra Ayu Astuti, Anis Chariri, Penentuan Kerugian Keuangan Negara yang Dilakukan Oleh BPK dalam Tindak Pidana Korupsi, Diponegoro Journal of Accounting, Volume 4, Nomor 3, Tahun 2015, Hlm. 2)

Atas informasi tersebut maka menurut saya, Kesalahan pengelolaan Keuangan Negara oleh mantan anggota Direksi Jiwasraya dalam bentuk kurangnya memperhitungkan aspek legal dalam berinvestasi, tidak adanya kajian usulan penempatan saham yang memadai, penyimpangan yang berindikasi fraud dalam mengelola saving plan dan investasi, hingga lemahnya pengawasan reksadana dapat dikualifikasikan pelanggaran prinsip GCG dan hal tersebut merupakan PMH yang berelasi dengan tindak pidana korupsi, sepanjang memiliki kausalitas dengan Kerugian Negara.

Dalam pengelolaan BUMN, pelanggaran prinsip GCG merupakan pintu masuk dimulainya penyidikan tindak pidana korupsi, sepanjang telah ditentukan bentuk dan jumlah kerugian yang pasti yang memiliki relasi kuat dengan pelanggaran tersebut. Meski pemberitaan tidak merincikan bentuk pelanggaran dari aturan yang mana, namun yang pasti, Jiwasraya dan BUMN pada umumnya melalui Pengurus/Direksi wajib menerapkan prinsip GCG secara menyeluruh dari level pimpinan hingga pelaksana.

Selain diwajibkan menurut UU PT dan BUMN, penerapan prinsip GCG tersebut di amanatkan dari Peraturan Menteri BUMN Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) pada BUMN (Permen BUMN 1/2011), yang merupakan peraturan turunan dari UU BUMN.

Terkait Jiwasraya, jika pemberitaan mengenai pelanggaran princip GCG yang terjadi di Jiwasraya benar, maka dalam membuktikan pemenuhan unsur Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, pemeriksaan perkara tindak pidana dipengadilan harus menemukan adanya Perbuatan Melawan Hukum d.h.i pelanggaran prinsip GCG yang dilakukan oleh mantan Anggota Direksi Jiwasraya, baik berupa pelanggaran peraturan perundang-undangan maupun pelanggaran terhadap kewajiban hukum mantan Anggota Direksi tersebut. Karena itu, dalam pemeriksaan perkara dipengadilan, setidaknya pemeriksaan perkara akan bersinggungan secara langsung atau tidak langsung dengan tugas dan tanggung jawab Direksi maupun kewajiban penerapan GCG yang diatur dalam Pasal 5 Ayat (3) UU BUMN Jo. Pasal 4, Pasal 92 Ayat (2), Pasal 97 Ayat (2) dan (3) UU PT, Jo. Pasal 19 Ayat (1), Pasal 23, Pasal 25 Permen BUMN 1/2011 dan peraturan internal yang berlaku di lingkungan Jiwasraya.

Sumber Kutipan dan Referensi: 

  1. UU Tindak Pidana Korupsi.
  2. UU Kekayaan Negara.
  3. UU Perbendaharaan Negara.
  4. UU Badan Pemeriksa Keuangan.
  5. UU Badan Usaha Milik Negara.
  6. UU Perseroan Terbatas.
  7. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-IX/2013.
  8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XIV/2016.
  9. Permen BUMN 1/2011.
  10. Astuti dan Chariri, 2015, “Penentuan Kerugian Keuangan Negara yang Dilakukan Oleh BPK dalam Tindak Pidana Korupsi”, Journal of Accounting, Volume 4, Nomor 3, Semarang: Universitas Negeri Diponegoro
  11. com, “Jiwasraya Asabri Pelihara Saham Emiten Ikan Arwana” https://finance.detik.com/moneter/d-4859284/jiwasraya–asabri-pelihara-saham-emiten-ikan-arwana, diakses pada tanggal 19 Januari 2020
  12. com, “Bantah Mahfud MD, Dirut Tegaskan Tak Ada Korupsi di Asabri” https://www.cnbcindonesia.com/market/20200116114526-17-130444/bantah-mahfud-md-dirut-tegaskan-tak-ada-korupsi-di-asabri 16 Januari 2020, diakses pada tanggal 19 Januari 2020
  13. com, “Simak, Ini Kronologi Lengkap Kasus Jiwasraya Versi BPK” https://money.kompas.com/read/2020/01/09/063000926/simak-ini-kronologi-lengkap-kasus-jiwasraya-versi-bpk?page=all, diakses pada tanggal 20 Januari 2020
  14. com, “17 Fakta soal Kasus Jiwasraya, Dinilai Sembrono hingga Gagal Bayar Polis”, https://economy.okezone.com/read/2019/12/22/320/2144884/17-fakta-soal-kasus-jiwasraya-dinilai-sembrono-hingga-gagal-bayar-polis, diakses pada tanggal 20 Januari 2020
  15. com, “Dosa-Dosa Jiwasraya Versi Audit BPK 2016” https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20191227143242-78-460399/dosa-dosa-jiwasraya-versi-audit-bpk-2016, diakses pada tanggal 22 Januari 2020
  16. Ccom, “Dugaan Korupsi Sistemik, Kejagung Tahan 5 Tersangka Jiwasraya” https://www.cnbcindonesia.com/market/20200115083518-17-130063/dugaan-korupsi-sistemik-kejagung-tahan-5-tersangka-jiwasraya, diakses pada tanggal 20 Januari 2020
  17. id, “Lika-Liku Bisnis Hanson International, Biang Keladi Kasus Jiwasraya” https://tirto.id/lika-liku-bisnis-hanson-international-biang-keladi-kasus-jiwasraya-esPm, diakses pada tanggal 22 Januari 2020

Newsletter: Vol. 2, No. 4, January 2020 | www.ercolaw.com, (C) Copyright By Erlangga Kurniawan. All Rights Reserved

Artikel ini tidak termasuk bentuk layanan hukum kepada siapapun dan hanya berupa informasi umum tentang hukum dan/atau peraturan terbaru. Kami tidak bertanggungjawab terhadap segala bentuk keputusan/tindakan yang menggunakan informasi dalam artikel ini. Informasi lebih lanjut mengenai artikel ini, atau konsultansi masalah hukum lainnya dapat menghubungi Erco Law Firm. Dengan membaca artikel dan pembatasan ini dan atau mengakses website Erco Law Firm, anda mengakui dan sepenuhnya setuju dengan isi dan pembatasan ini.