Tanggung Jawab Pidana Korporasi dalam Pengadaan Barang Jasa

Bagikan :

Dalam dunia bisnis dan konstruksi, pengadaan barang dan jasa merupakan aspek krusial yang menentukan keberlanjutan proyek serta kepatuhan terhadap standar hukum. Namun, tidak jarang terjadi pelanggaran yang menimbulkan dampak hukum serius, terutama dalam hal penyalahgunaan wewenang atau penyimpangan spesifikasi teknis. Salah satu contoh yang menarik adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1577 K/PID.SUS/2016, yang menegaskan pertanggungjawaban korporasi dalam kasus pengadaan pipa yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI).

Bagaimana ketentuan hukum mengenai pertanggungjawaban perusahaan dalam pengadaan barang dan jasa? Apakah korporasi dapat dibebankan kewajiban mengganti kerugian negara akibat penyimpangan yang dilakukan oleh individu dalam perusahaan? Artikel ini akan mengupas tuntas aspek hukum yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana dan perdata korporasi berdasarkan putusan mahkamah agung dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Penyimpangan Spesifikasi dalam Pengadaan Barang

Kasus ini bermula dari proyek Pengembangan Sistem Distribusi Air Minum di Kabupaten Karangasem, Bali. Dalam proyek tersebut, salah satu pejabat PT Adhi Karya (Persero) Tbk., bersama beberapa individu lainnya, melakukan perubahan spesifikasi teknis pipa yang seharusnya memenuhi standar SNI 07-0039-1987 dan ASTM 53, tetapi justru diganti dengan pipa non-SNI. Perubahan ini berdampak pada kerugian negara sebesar Rp3,33 miliar, sebagaimana diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Dalam tingkat pertama, pengadilan memutuskan bahwa pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti hanya dapat dibebankan kepada individu yang menikmati keuntungan dari perbuatan tersebut. Namun, Mahkamah Agung dalam kasasi justru membatalkan putusan tersebut dan menyatakan bahwa tanggung jawab finansial harus dibebankan kepada PT Adhi Karya sebagai korporasi, karena keuntungan dari selisih harga pipa telah masuk ke dalam aset perusahaan.

Putusan ini sejalan dengan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

Tanggung Jawab Korporasi dalam PBJ

1. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Pidana

Dalam hukum pidana, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban apabila memenuhi beberapa kriteria, di antaranya:

  • Perbuatan dilakukan oleh pengurus atau pegawai dalam lingkup pekerjaannya
  • Perbuatan tersebut memberikan manfaat bagi korporasi
  • Korporasi gagal mencegah terjadinya pelanggaran

Dalam kasus PT Adhi Karya, Mahkamah Agung menilai bahwa perusahaan memperoleh keuntungan dari pengadaan barang yang tidak sesuai standar. Oleh karena itu, meskipun tidak dijadikan terdakwa sejak awal, perusahaan tetap dapat dibebankan kewajiban untuk membayar uang pengganti. Putusan tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 787 K/PID.SUS/2014, yang menetapkan PT Indosat Mega Media bertanggung jawab atas kerugian negara yang timbul akibat perbuatan direksinya.

2. Pembebanan Kerugian kepada Korporasi Menurut Perdata

Selain aspek pidana, pertanggungjawaban korporasi juga dapat dilihat dari sudut pandang hukum perdata, khususnya dalam konteks perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Dalam banyak kasus, apabila suatu perusahaan memperoleh keuntungan dari suatu perbuatan yang merugikan pihak lain, maka perusahaan dapat diminta untuk mengganti kerugian tersebut.

Prinsip ini juga berlaku dalam konteks pengadaan barang dan jasa. Jika suatu korporasi terbukti memperoleh keuntungan dari tindakan yang merugikan negara atau pihak ketiga, maka perusahaan dapat diwajibkan membayar ganti rugi meskipun tidak secara langsung melakukan pelanggaran.

Dalam kasus PT Adhi Karya, meskipun individu yang terlibat dalam penyimpangan spesifikasi telah dijatuhi hukuman, Mahkamah Agung menilai bahwa perusahaan tetap bertanggung jawab karena keuntungan dari selisih harga masuk ke dalam neraca keuangan perusahaan.

3. Implikasi Pengadaan Barang dan Jasa

Putusan ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi perusahaan, terutama yang bergerak dalam sektor konstruksi dan pengadaan barang dan jasa:

  • Pentingnya kepatuhan terhadap standar hukum dan teknis: Penyimpangan spesifikasi barang atau jasa dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang serius.
  • Tanggung jawab perusahaan terhadap tindakan individu di dalamnya: Direksi dan manajemen harus memastikan bahwa setiap transaksi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
  • Penerapan kebijakan anti-korupsi dalam perusahaan: Perusahaan harus memiliki mekanisme kontrol yang ketat untuk mencegah tindakan penyalahgunaan wewenang yang dapat merugikan negara atau pihak lain.

Kesimpulan: Korporasi Tidak Bisa Lepas Tangan

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus ini menegaskan bahwa korporasi tidak bisa menghindari tanggung jawab hukum hanya karena perbuatan melawan hukum dilakukan oleh individu dalam perusahaan. Jika perusahaan memperoleh manfaat dari suatu pelanggaran, maka perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban, baik dalam konteks pidana maupun perdata. Bagi perusahaan yang bergerak dalam bidang konstruksi dan pengadaan barang dan jasa, penting untuk memahami bahwa kepatuhan terhadap peraturan bukan hanya masalah hukum, tetapi juga strategi bisnis yang dapat melindungi perusahaan dari risiko hukum dan finansial di masa depan.

Jika Anda adalah pelaku usaha yang membutuhkan konsultasi hukum mengenai pengadaan barang dan jasa, sengketa bisnis, atau tanggung jawab korporasi, tim pengacara Jakarta Selatan di Ercolaw siap membantu Anda. Hubungi kami untuk mendapatkan solusi hukum yang tepat dan strategis bagi bisnis Anda.


Bagikan :