Lembur Tanpa Upah? Risiko yang Harus Dihindari!
Tulisan singkat ini membahas apakah Perusahaan selaku Pengusaha memiliki kewajiban membayar upah lembur terhadap Pekerja yang melaksanakan kerja lembur atas perintah manajemen, meskipun jenis pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan kriteria pekerjaan yang diatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB)? Dalam pembahasan pertanyaan tersebut memunculkan potensi risiko Perselisihan Hubungan Industrial yang perlu diperhatikan oleh Perusahaan selaku Pemberi Kerja. Berikut analisis hukum singkat yang disusun berdasarkan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia, beserta strategi mitigasinya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana terakhir di ubah berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU 13/2003), telah mengatur bahwa Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja melebihi waktu kerja (lembur) harus berdasarkan persetujuan Pekerja, dan waktu kerja lembur tersebut hanya dapat dilakukan paling lama 4 (empat) jam dalam 1 (satu) hari dan 18 (delapan belas) jam dalam 1 (satu) minggu. Sejalan dengan itu, ketentuan tersebut juga mengatur kewajiban Pengusaha untuk membayar upah lembur. Dalam pasal 78 ayat (2), ditegaskan bahwa Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja normal wajib membayar upah kerja lembur. Meski demikian, UU 13/2003 tidak mensyaratkan pengaturan jabatan atau jenis pekerjaan tertentu dalam pelaksanaan lembur, sehingga secara umum Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja untuk lembur memiliki kewajiban untuk membayar upah lembur tersebut.
Selain diatur dalam UU 13/2003, pengaturan mengenai kerja lembur juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 (PP 35/2021). Ketentuan tersebut mengatur lebih lanjut tentang waktu kerja lembur, hak-hak pekerja, dan kewajiban perusahaan dalam hal pelaksanaan kerja lembur. Menurut pasal 27 ayat (1), Pengusaha diwajibkan membayar upah lembur kepada karyawan yang bekerja di luar jam kerja normal. Namun, pada ketentuan tersebut terdapat Pengecualian pembayaran lembur terhadap Pekerja tertentu.
Menurut pasal 27 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) PP 35/2021, Pengusaha tidak perlu membayar Upah Kerja Lembur terhadap Pekerja golongan jabatan tertentu yang bertanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan/atau pengendali jalannya Perusahaan, dengan waktu kerja tidak dapat dibatasi dan mendapat Upah lebih tinggi, sepanjang sudah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Dalam hal PKB hanya mengatur jenis pekerjaan tertentu secara terbatas, misalnya:
- Pekerjaan dalam shift yang tidak tetap;
- Pekerjaan di luar jam kerja yang tidak dapat ditunda;
- Pekerjaan dengan risiko keselamatan tinggi.
Namun dalam pelaksanaannya terdapat pekerjaan lembur yang dilakukan oleh Pekerja berdasarkan instruksi resmi dari manajemen Perusahaan, maka sekalipun pekerjaan tersebut tidak sesuai dengan PKB, Pengusaha tetap wajib untuk membayar Upah Kerja Lembur kepada Pekerja.
Kewajiban pembayaran tersebut hanya dapat kecualikan terhadap Pengusaha, jika Pekerja yang melakukan lembur termasuk dalam golongan jabatan tertentu yang bertanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana, dan/atau pengendali jalannya Perusahaan, dengan waktu kerja tidak dapat dibatasi dan mendapat upah lebih tinggi, serta telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau PKB. Adapun konsekuensi hukum jika Perusahaan tidak mengatur mengenai pengecualian tersebut, Pekerja yang melakukan lembur dapat menuntut pembayaran kepada Perusahaan dan Perusahaan berkewajiban untuk membayarkan upah kerja lembur kepada Pekerja.
Potensi Risiko Perselisihan Hubungan Industrial
Apabila Perusahaan tidak membayar kompensasi lembur sesuai ketentuan yang telah dijelaskan di atas, terdapat risiko Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) antara Pekerja dengan Perusahaan selaku Pengusaha , yang termasuk dalam kategori “perselisihan hak.” Penyelesaian PHI tersebut berada di bawah kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial sesuai Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004. Perselisihan hak dimaksud mencakup perbedaan pandangan antara pekerja dan pengusaha terkait hak yang diatur dalam perjanjian kerja, PKB, atau peraturan perusahaan.
Strategi Mitigasi:
Untuk menghindari risiko perselisihan, Perusahaan perlu melakukan peninjauan ulang dan memperjelas kebijakan lembur dalam PKB dan Peraturan Perusahaan, khususnya terkait jabatan atau jenis pekerjaan yang termasuk dalam pengecualian pembayaran upah lembur. Selain itu, pelibatan pihak serikat pekerja dalam penyusunan kebijakan lembur dapat memperkuat hubungan kerja yang kondusif dan mencegah potensi perselisihan di kemudian hari. Demikian, semoga bermanfaat.
Artikel ini tidak termasuk bentuk layanan hukum kepada siapapun dan hanya berupa informasi umum tentang hukum dan/atau peraturan terbaru. Kami tidak bertanggungjawab terhadap segala bentuk keputusan/tindakan yang menggunakan informasi dalam artikel ini. Informasi lebih lanjut mengenai artikel ini, atau konsultansi masalah hukum lainnya dapat menghubungi Erco Law Firm. Dengan membaca artikel dan pembatasan ini dan atau mengakses website Erco Law Firm, anda mengakui dan sepenuhnya setuju dengan isi dan pembatasan ini.
Lembur-Tanpa-Upah-Risiko-yang-Harus-Dihindari