Dalam dunia bisnis, kontrak/perjanjian menjadi landasan utama yang mengatur hak dan kewajiban para pihak. Meski demikian, tidak jarang terjadi situasi di mana salah satu pihak merasa perlu mengakhiri perjanjian secara sepihak. Pertanyaannya, apakah setiap pemutusan kontrak secara sepihak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum? Atau justru ada keadaan tertentu yang membenarkan tindakan tersebut?
Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 5 K/Pdt/2018 dan 878 K/Pdt/2011 memberikan pandangan hukum yang jelas mengenai situasi tersebut. Artikel ini akan mengulas bagaimana pemutusan perjanjian sepihak dibenarkan secara hukum berdasarkan prinsip wanprestasi dan pertimbangan pengadilan.
Pemutusan Kontrak Tidak Melanggar Hukum
Banyak pihak menganggap bahwa pemutusan kontrak sepihak selalu berujung pada perbuatan melawan hukum. Namun, dalam Putusan MA No. 5 K/Pdt/2018, Mahkamah berpendapat bahwa pemutusan kontrak oleh Tergugat Konvensi sah secara hukum karena:
- Tergugat telah berupaya menyelesaikan kendala di lapangan sebelum akhirnya memutus kontrak.
- Tergugat sudah memberikan teguran kepada Penggugat, namun tidak ada perbaikan atau penyelesaian dari pihak Penggugat.
- Penggugat tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai kontrak, sehingga pemutusan kontrak menjadi langkah yang dapat dibenarkan.
Prinsip serupa juga ditegaskan dalam Putusan MA No. 878 K/Pdt/2010, di mana pengadilan memutuskan bahwa pemutusan kontrak sah jika ada kegagalan dalam pemenuhan kewajiban yang telah ditegaskan dalam perjanjian. Dalam kasus tersebut, terbukti bahwa Pemohon Kasasi (Penggugat) tidak dapat menunjukkan kemajuan signifikan dalam implementasi proyek yang disepakati, sehingga Termohon Kasasi berhak mengakhiri perjanjian berdasarkan ketentuan kontrak. Dua putusan tersebut memperkuat prinsip bahwa pemutusan perjanjian sepihak bukanlah perbuatan melawan hukum apabila didasarkan pada kegagalan salah satu pihak memenuhi kewajiban dalam perjanjian.
Kesalahan Persepsi dan Risiko Hukum
Banyak pelaku usaha masih beranggapan bahwa klausul perjanjian yang mengatur pengakhiran kontrak dapat diabaikan atau diinterpretasikan semata-mata berdasarkan kepentingan mereka. Padahal, mengakhiri kontrak tanpa alasan yang kuat atau tanpa mengikuti mekanisme yang disepakati dalam kontrak bisa berujung pada tuntutan hukum yang merugikan.
Perdebatan lain yang kerap muncul adalah terkait Pasal 1267 KUH Perdata, yang memberikan hak bagi pihak yang dirugikan dalam suatu perjanjian untuk menuntut pemenuhan perikatan atau ganti rugi. Namun, sebagaimana banyak di ulas pada beberapa artikel hukum, pasal tersebut sering kali disepakati untuk dikecualikan melalui klausul dalam kontrak bisnis modern, terutama di sektor jasa pertambangan. Artinya, pihak yang menginginkan pemutusan kontrak harus terlebih dulu memastikan adanya ketentuan eksplisit dalam perjanjian yang memungkinkan pengakhiran kontrak tanpa perlu melalui proses pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa:
- Kontrak adalah hukum bagi para pihak (pacta sunt servanda), sehingga jika dalam kontrak telah diatur mekanisme pemutusan, maka ketentuan tersebut harus dihormati.
- Pihak yang melakukan wanprestasi tidak dapat mengklaim perbuatan melawan hukum ketika kontrak diputus sepihak, selama pemutusan itu dilakukan berdasarkan ketentuan dalam perjanjian.
Dengan kata lain, selama pemutusan kontrak dilakukan sesuai dengan ketentuan yang disepakati, maka tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Prinsip Hukum yang Perlu Diperhatikan
Dari putusan Mahkamah Agung dan perkembangan hukum kontrak, terdapat beberapa prinsip penting yang dapat dijadikan pedoman:
- Pemutusan kontrak harus didasarkan pada alasan yang sah
- Jika suatu pihak dapat membuktikan bahwa mitranya telah gagal memenuhi kewajiban secara material, pemutusan kontrak dapat dianggap sah dan tidak melawan hukum.
- Contoh: Ketika suatu proyek tidak berjalan sesuai jadwal dan pihak yang dirugikan telah memberikan teguran atau kesempatan untuk memperbaiki kinerja, namun tidak ada perbaikan yang signifikan.
- Patuhi klausul pemutusan kontrak dalam perjanjian
- Sebelum mengakhiri kontrak, pihak yang ingin melakukan pemutusan harus memeriksa apakah terdapat ketentuan yang mengatur mekanisme pengakhiran kontrak, termasuk kewajiban memberikan pemberitahuan terlebih dahulu.
- Jika kontrak secara eksplisit mengatur prosedur pemutusan, maka selama prosedur itu diikuti, pemutusan kontrak tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
- Dokumentasi sangat penting
- Dalam kedua putusan MA, tergugat dapat membuktikan kegagalan pihak lawan dalam memenuhi kewajiban kontraktualnya melalui bukti-bukti yang jelas, seperti hasil presentasi, laporan kemajuan, serta korespondensi teguran.
- Tanpa dokumentasi yang memadai, pemutusan kontrak dapat berisiko tinggi menghadapi tuntutan hukum.
- Gunakan klausul pengesampingan Pasal 1267 KUH Perdata dengan hati-hati
- Dalam beberapa kontrak bisnis, para pihak dapat mengesampingkan hak untuk menuntut pemenuhan perikatan atau ganti rugi akibat pemutusan kontrak. Namun, klausul ini harus dibuat secara eksplisit dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip keadilan dalam hukum perjanjian.
Kesimpulan:
Pemutusan kontrak sepihak tidak selalu dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, terutama jika dilakukan berdasarkan ketentuan kontrak dan dengan alasan yang sah. Putusan Mahkamah Agung di atas telah menegaskan bahwa ketika suatu pihak gagal memenuhi kewajibannya, pihak lain yang dirugikan dapat memutus kontrak dan tidak termasuk perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, dalam menyusun kontrak bisnis, penting untuk memasukkan klausul pemutusan yang jelas agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari. Dengan pemahaman yang baik mengenai prinsip wanprestasi dan perjanjian, perusahaan dapat mengambil langkah hukum yang tepat untuk melindungi kepentingannya.
Jika perusahaan Anda menghadapi masalah dalam pemutusan kontrak atau sengketa bisnis lainnya, tim hukum kami di Ercolaw siap membantu. Dapatkan konsultasi hukum terbaik untuk memastikan keputusan bisnis Anda tetap dalam jalur hukum yang benar.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw