Dalam bisnis konstruksi dengan segala kompleksitas dan dinamika multi-pihaknya, sering kali menyisakan cerita pilu bagi stakeholder yang berada di lapisan bawah rantai kontrak, terutama terhadap para subkontraktor. Ironi yang terlalu sering terjadi adalah, pekerjaan sudah selesai, bangunan sudah ditempati, tapi pembayarannya justru mangkrak. Subkontraktor sering kali terjebak dalam relasi kontraktual yang timpang, alih-alih memberikan fleksibilitas demi mendapat pekerjaan dan bayaran yang layak, tapi justru ditinggalkan kontraktor utama tanpa bayaran dan pemilik proyek (owner) justru tidak mau tahu dengan alasan tidak ada hubungan kontraktual.
Sebagai seorang praktisi hukum yang menggeluti sengketa komersial, bisnis dan konstruksi, saya sering kali mendapati permasalahan dimana subkontraktor menjadi korban dari praktik bisnis yang tidak sehat. Mereka terperangkap dalam isu kontraktual yang rumit dengan posisi tawar yang sangat lemah. Meski demikian, apakah pemilik proyek benar benar bisa berlindung selamanya di balik alasan “tidak ada hubungan kontraktual“? Bagaimana upaya subkontraktor dalam menuntut haknya saat pekerjaannya telah diserah terimakan tanpa ada pembayaran, bahkan dalam kondisi kontrak yang belum sempat ditandatangani secara formal?
Kabar baiknya, Mahkamah Agung Republik Indonesia beberapa kali telah membuat putusan yang menjadi preseden penting dan mengafirmasi keadilan substansial dengan menegakkan prinsip Unjust Enrichment dan Quantum Meruit secara tidak langsung. Putusan-putusan tersebut membuka cakrawala baru, menunjukkan bahwa gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) bisa menjadi instrumen ampuh bagi subkontraktor untuk menuntut haknya, tidak hanya terhadap kontraktor utama, tetapi juga kepada pemilik proyek sebagai pihak yang menikmati secara langsung hasil pekerjaan.
Preseden Penting Bagi Subkontraktor
Dua putusan Mahkamah Agung yang patut menjadi sorotan utama dalam konteks ini adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 463 K/Pdt/2019 tanggal 11 Maret 2019 dan putusan Peninjauan Kembali atas kasus yang sama, yaitu Putusan Mahkamah Agung Nomor 983 PK/Pdt/2020 tanggal 28 Desember 2020. Kedua putusan tersebut menguatkan putusan judex facti sebelumnya (dalam hal ini Putusan Pengadilan Tinggi Pekanbaru Nomor 45/PDT/2018/PT PBR).
Mari kita bedah kasusnya. Subkontraktor (Penggugat) telah menyelesaikan pekerjaan pembangunan beberapa unit villa berdasarkan serangkaian Surat Perjanjian Borongan (SPB) dengan Kontraktor Utama (Tergugat I, yang diwakili oleh direkturnya, Tergugat II). Pemilik proyek/lahan villa tersebut adalah Tergugat III. Salah satu SPB, yakni SPB Nomor 009/KPM-CAM/II/2015, menjadi polemik karena tidak ditandatangani oleh pihak Tergugat I. Meski demikian, realisasi pekerjaan berdasarkan SPB tersebut tidak disangkal, bahkan diakui oleh Tergugat I melalui Tergugat II. Puncak masalah terjadi justru saat pekerjaan sudah selesai, Tergugat III (Pemilik Proyek) meminta kunci villa dari Penggugat (subkontraktor) dan langsung menempati serta mengoperasionalkan villa tersebut, sementara pembayaran terhadap Penggugat (subkontraktor) belum dilunasi sepenuhnya oleh Kontraktor Utama .
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Agung menyatakan:
- Keabsahan Perjanjian Meski Tanpa Tanda Tangan Formal: Terkait SPB yang tidak ditandatangani, MA dalam Putusan No. 463 K/Pdt/2019 menyatakan:
“Bahwa walaupun Surat Perjanjian Borongan (SPB) Nomor 009/KPMCAM/II/2015 tanggal 2 Februari 2015 tidak ditanda tangani oleh pihak Tergugat I, tetapi telah diwakili oleh Tergugat II, dengan membuat Perjanjian Sub Kontrak dengan Penggugat yang hasil realisasi dari isi perjanjian tersebut tidak disangkal, bahkan diakui oleh pihak Tergugat I yang diwakili oleh Tergugat II, maka kekuatan pembuktian Surat Perjanjian Nomor 009/KPM-CAM/II/2015 tanggal 2 Pebruari 2015/bukti P7 menjadi sah dan mengikat.” Ini adalah poin krusial. MA menegaskan bahwa substansi kesepakatan dan pelaksanaan yang diakui dapat mengesampingkan cacat formal berupa ketiadaan tanda tangan, sejalan dengan asas konsensualisme dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan asas itikad baik dalam Pasal 1338 KUHPerdata.
- Perbuatan Melawan Hukum oleh Pemilik Proyek: MA secara tegas menyatakan bahwa tindakan Pemilik Proyek (Tergugat III) yang meminta kunci dan menempati villa sementara upah subkontraktor belum dibayar adalah Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Pertimbangan dalam Putusan No. 463 K/Pdt/2019 menyebutkan:
“Bahwa selain itu, setelah pekerjaan selesai, Tergugat III meminta kunci dari Penggugat dan langsung menempati villa tersebut, tetapi upah Penggugat tidak dibayar oleh Para Tergugat, maka perbuatan Tergugat II yang meminta kunci dan menempati villa tersebut dalam keadaan upah untuk Penggugat tidak dibayar adalah merupakan perbuatan melawan hukum.” (Catatan: Terdapat kemungkinan salah ketik dalam kutipan putusan MA yang merujuk pada “Tergugat II” padahal konteksnya adalah tindakan “Tergugat III” sebagai pemilik proyek. Putusan PT Pekanbaru No. 45/PDT/2018/PT PBR pada halaman 27 lebih jelas menyatakan: “Menimbang, bahwa tindakan dan perbuatan tergugat – III yang meminta kunci dan menguasai Villa Montego Nongsa yang dikerjakan penggugat tanpa terlebih dahulu menyelesaikan dengan baik upah pekerjaan dari penggugat, adalah perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban Hukum dari para tergugat – tergugat.”)
- Tanggung Jawab Renteng Para Pihak: Akibat PMH tersebut, MA menghukum Para Tergugat (Kontraktor Utama dan Pemilik Proyek) untuk membayar sisa harga pekerjaan secara tanggung renteng kepada subkontraktor. Artinya, subkontraktor dapat menagih keseluruhan sisa pembayaran kepada salah satu atau seluruh Tergugat hingga lunas.
- Penegasan dalam Peninjauan Kembali (PK): Putusan MA No. 983 PK/Pdt/2020 memperkuat argumen putusan sebelumnya, dengan menyatakan:
“Bahwa Tergugat III/Pemohon Peninjauan Kembali adalah pihak yang juga berkepentingan terhadap hasil kerja Penggugat atau Tergugat III merupakan pihak yang menikmati hasil kerja dari Penggugat sedangkan pembayaran hak-hak Penggugat belum dilunasi, maka tidak salah jika Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III dihukum telah melakukan perbuatan melawan hukum dan bertanggungjawab secara renteng terhadap kerugian yang diderita oleh Penggugat.” Penegasan ini sangat penting: pihak yang menikmati hasil kerja tidak bisa lepas tangan dari tanggung jawab ketika hak-hak pihak yang mengerjakan belum dilunasi.
Implikasi dan Pelajaran Yang Dapat Diambil
Putusan-putusan MA di atas memberikan beberapa insight :
- Menerobos Benteng Privity of Contract melalui PMH: Secara tradisional, gugatan atas dasar wanprestasi hanya bisa dilayangkan kepada pihak yang terikat kontrak (vide Pasal 1340 KUH Perdata). Namun, dengan mendasarkan gugatan PMH, subkontraktor dapat menjangkau pertanggungjawaban hukum sampai pada pemilik proyek. Unsur PMH terpenuhi ketika pemilik proyek, mengetahui atau patut mengetahui bahwa subkontraktor belum dibayar, tetapi tetap mengambil manfaat dari pekerjaan tersebut. Tindakan tersebut patut dianggap melanggar kepatutan, kehati-hatian, dan kewajiban hukum untuk menghormati hak orang lain.
- Kekuatan Pembuktian: Pengakuan atas realisasi pekerjaan/prestasi, meskipun secara formal, kontrak belum ditandatangani, memiliki bobot pembuktian yang signifikan. Hal tersebut langkah progresif yang mendorong pengakuan atas prinsip keadilan di atas formalitas hukum acara perdata, terutama jika didukung oleh itikad baik dari salah satu pihak dan itikad buruk dari pihak lain. Terlebih lagi, hal tersebut sejalan dengan prinsip Quantum meruit yang dibutuhkan untuk menjunjung keadilan dan kepatutan kepada pihak yang telah dirugikan.
- Unjust Enrichment sebagai Latar Belakang Moral: Meskipun PMH menjadi dasar hukum formal saat pengajuan gugatan, secara implisit terasa adanya pertimbangan mengenai unjust enrichment (pengkayaan tanpa hak). Pemilik proyek yang menikmati hasil pekerjaan tanpa memastikan pembayaran kepada seluruh rantai pelaksana pekerjaan, sejatinya telah memperkaya diri secara tidak adil atas kerugian subkontraktor.
- Pentingnya Itikad Baik: Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata mewajibkan perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik. Perilaku kontraktor utama yang tidak membayar dan pemilik proyek yang menikmati hasil tanpa peduli nasib subkontraktor jelas mencerminkan ketiadaan itikad baik.
- Perlindungan Subkontraktor dalam UU Jasa Konstruksi: Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (sebagaimana telah diubah melalui UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya seperti PP No. 22 Tahun 2020 jo. PP No. 14 Tahun 2021) juga menekankan pentingnya pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam penyelenggaraan jasa konstruksi, termasuk aspek pembayaran. Meskipun mekanisme gugatan subkontraktor kepada pemilik proyek tidak secara eksplisit diatur detail tanpa PMH, semangat UU tersebut adalah untuk menciptakan ekosistem konstruksi yang adil dan bertanggung jawab.
Waspada Potensi Pidana dalam Sengketa Konstruksi dan Bisnis
Sebagai praktisi hukum yang juga mendalami hukum pidana, penting untuk diingat bahwa tindakan-tindakan yang merugikan dalam praktik bisnis, jika memenuhi unsur-unsur tertentu, tidak hanya berimplikasi secara perdata. Dalam kasus-kasus yang ekstrem di mana terdapat unsur kesengajaan untuk menyesatkan, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan yang mengakibatkan kerugian material signifikan, pintu bagi pertanggungjawaban pidana bisa terbuka, termasuk pula jika menimbulkan kerugian negara. Putusan Mahkamah Agung No. 1577 K/PID.SUS/2016, meskipun mungkin terkait kasus pidana korporasi yang berbeda, menjadi pengingat bahwa Mahkamah Agung serius menangani berbagai bentuk kejahatan dalam lingkup korporasi dan bisnis. Para pelaku usaha, termasuk di sektor konstruksi, harus senantiasa menjaga integritas dan bertindak sesuai koridor hukum, karena pelanggaran berat dapat berujung pada sanksi pidana yang tidak ringan.
Langkah Strategis Subkontraktor
Berdasarkan preseden dan analisis hukum di atas, subkontraktor yang menghadapi masalah serupa tidak perlu berkecil hati, sesuai preseden hukum di atas telah membuktikan upaya hukum gugatan PMH terbukti efektif dalam menuntut hak sekalipun tidak ada dasar kontraktual. Namun demikian, upaya hukum yang ditempuh harus dilakukan secara cermat dan didukung bukti yang kuat.
Poin Penting & Implikasi dari Putusan MA | Strategi bagi Subkontraktor | Langkah Yang Perlu Dilakukan |
---|---|---|
Kontrak (Tidak Tertulis/Belum Ditandatangani) Diakui Keabsahannya, Jika Ada Pengakuan Atas Pekerjaan | Buktikan pengakuan atas jenis pekerjaan, pelaksanaan, dan realisasi pekerjaan yang berhasil diselesaikan | Dokumentasikan semua instruksi, korespondensi (email, pesan), foto progres, BAST parsial/final, dan segala bentuk pengakuan atas realisasi pekerjaan sebagai bukti |
Pemilik Proyek Ikut Bertanggung Jawab Jika Mengambil Manfaat Atas Pekerjaan Yang Belum Dibayar | Buktikan Pemilik Proyek telah mengambil manfaat atas pekerjaan yang telah diselesaikan, dan mengetahui pekerjaan yang telah dinikmati belum dibayar | Kumpulkan bukti Pemilik Proyek telah mengambil manfaat (misal, menempati/ mengoperasionalkan bangunan), dan mengetahui pekerjaan yang telah dinikmati belum dibayar |
Kontraktor Utama & Pemilik Proyek Bertanggungjawab Renteng Terhadap Kerugian Subkontraktor | Buktikan Kontraktor Utama & Pemilik Proyek sengaja tidak menyelesaikan pembayaran, melanggar asas kepatutan dan menyebabkan kerugian | Siapkan tuntutan kepada seluruh pihak terkait Proyek dan jelaskan dasar pertanggungjawaban secara renteng (kolektif), gunakan pendekatan doktrin unjust enrichment dan quantum meruit |
Penting Membuktikan Itikad Buruk Kontraktor Utama & Pemilik Proyek | Buktikan adanya Itikad Buruk dari pihak terkait dengan menghindar dari tanggungjawab meski sudah mengambil manfaat. Misal tidak ada respons, tidak bersedia komunikasi, dsb. | Siapkan semua bukti terkait penagihan pembayaran, peringatan yang pernah diajukan, respons negatif dari pihak terkait |
Ajukan Gugatan PMH Untuk Menjangkau Pemilik Proyek Yang Tidak Terikat Secara Kontrak | Berdasarkan Putusan No. 45/PDT/2018/PT PBR Jo. Putusan MA No. 463 K/Pdt/2019 Jo. Putusan MA 983 PK/Pdt/2020 gugatan PMH efektif menarik tanggugjawab Pemilik Proyek | Segera konsultasikan dengan pengacara berpengalaman menangani sengketa komersial untuk menyusun strategi dan langkah hukum yang tepat |
Pendampingan Strategic Litigator & Commercial Lawyer
Kasus-kasus seperti putusan MA di atas menunjukkan bahwa hukum terus berkembang untuk menjawab dinamika dan tantangan serta permasalahan dalam dunia bisnis. Namun, memenangkan sengketa, terutama dalam litigasi komersial, bisnis dan konstruksi yang kompleks, membutuhkan lebih dari sekadar mengetahui adanya putusan. Diperlukan analisis mendalam atas fakta menguntungkan dan merugikan, pemilihan dasar hukum yang tepat (apakah wanprestasi, PMH, atau keduanya) sebagai dasar teori kasus, strategi pembuktian yang jitu, serta kemampuan beracara yang mumpuni.
Jika Anda adalah subkontraktor yang haknya terabaikan, atau pelaku usaha di bidang konstruksi yang ingin memastikan setiap langkah Anda telah sesuai dengan koridor hukum dan prinsip keadilan, jangan ragu untuk mencari pendampingan hukum profesional. Memahami hak dan kewajiban Anda, serta memiliki strategi hukum yang tepat sejak awal, adalah kunci untuk melindungi kepentingan bisnis Anda.
Ercolaw memiliki pengalaman luas dalam menangani berbagai sengketa konstruksi dan korporasi. Kami siap membantu Anda menganalisis permasalahan anda, menentukan teori kasus dan strategi pembuktian yang sesuai, merumuskan solusi, dan memperjuangkan hak-hak Anda secara optimal. Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi!
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw