Jaminan Berubah Menjadi Jerat Pidana
Di balik seksinya pengumuman tender proyek infrastruktur dan pengadaan barang/jasa pemerintah yang bernilai triliunan Rupiah, Bank Garansi (BG) berdiri sebagai instrumen vital untuk memenuhi formalitas, sekaligus memberikan kepastian hukum dan finansial dari suatu pengadaan atau pekerjaan. Namun, di balik keyakinan terhadap BG yang disediakan para peserta tender atau pekerjaan, tersembunyi risiko pidana bagi para Direksi perseroan jika suatu hari BG diketahui palsu.
Sepanjang pengetahuan kami, fenomena penggunaan BG Palsu didorong oleh tekanan waktu tender yang ketat dan ketidakmampuan perseroan memenuhi persyaratan financial guarantee dari bank. Dorongan tersebut seringkali membuat sebagian pebisnis memutuskan mengambil jalan pintas menggunakan “jasa konsultan” instan. Praktik non-prosedural tersebut, sekilas kelihatan praktis dan instan, namun membawa konsekuensi hukum yang signifikan, mengubah potensi sengketa keperdataan menjadi ancaman pidana terhadap individu dalam perseroan yang mengikuti tender dengan dokumen tersebut. Beberapa modus yang kami identifikasi antara lain:
- Menggunakan Jasa Pihak Ketiga Tanpa Validasi: BG diserahkan oleh pihak ketiga “konsultan” tanpa proses verifikasi langsung dari perseroan pengguna BG ke bank penerbit. Tidak ada bukti bahwa perseroan pernah mengajukan permohonan resmi ke pihak bank.
- Dokumen Tidak Terdaftar “Tidak Bernilai Sebagai Jaminan”: BG yang digunakan tidak terdaftar di bank penerbit dan karenanya tidak memiliki nilai secara hukum sebagai jaminan riil.
- Ketidaktahuan Proses tidak berlaku sebagai Alasan: Alasan populer seperti: “Kami tidak tahu kalau itu palsu,” atau “Itu urusan konsultan kami” tidak berlaku secara hukum di hadapan Mahkamah Agung.
- Proyek Dijalankan Walau Tahu Kondisi Keuangan Tidak Mencukupi: Adanya niat sejak awal untuk mengakali syarat tender dengan cara instan merupakan indikasi mens rea (niat jahat) yang kuat.
Penggunaan BG palsu, khususnya dalam proyek konstruksi atau pengadaan, bukan sekadar wanprestasi keperdataan, melainkan dapat dinilai sebagai Tindak Pidana Penipuan, Pemalsuan Dokumen, bahkan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), tergantung peran dan niat pelaku. Ironisnya, beberapa anggota Direksi perseroan terkemuka yang sarat pengalaman pun dapat terseret ke meja hijau, bukan hanya karena menimbulkan kerugian finansial, tetapi justru karena ilmu pengetahuan yang dianggap dimiliki oleh seorang pebisnis profesional, sebuah premis yang ditegaskan oleh Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya. Hal tersebut menjadi masalah krusial yang harus segera diatasi dalam rangka evaluasi penerapan Good Corporate Governance (GCG) dan kepatuhan hukum modern.
Dari Perdata Menjadi Pidana
Permasalahan hukum bermula dari tumpang tindih issue antara hukum kontrak (Burgerlijk Wetboek / BW) dan hukum pidana (KUHP). Dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP), Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 (sebagaimana diubah terakhir dengan Perpres Nomor 46 Tahun 2025) mengatur secara ketat jenis-jenis jaminan, termasuk Jaminan Penawaran atau Jaminan Pelaksanaan, yang salah satunya wajib diterbitkan oleh Bank Umum. Begitupula dalam konteks Pengadaan Barang/Jasa pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagaimana diatur dalam Pasal 152 Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-2/MBU/03/2023 tentang Pedoman Tata Kelola dan Kegiatan Korporasi Signifikan Badan Usaha Milik Negara. Dari segi perdata, saat perseroan menggunakan BG palsu, perbuatan tersebut secara hukum langsung melanggar Asas Kepastian Hukum dan Asas Kepercayaan dalam hukum perjanjian, namun dampak terbesarnya adalah implikasi pidana.
Kasus MA Sebagai Preseden Penting
Dua putusan Mahkamah Agung sebagaimana kami sajikan di bawah ini ditujukan untuk memberikan preseden penting yang harus dipahami oleh setiap pebisnis, Direksi maupun manajemen perseroan:
1. Putusan MA Nomor 454 K/Pid/2013: Prinsip “Pengetahuan Diperhitungkan”
Dalam kasus ini, para Terdakwa, sebagai pengusaha berpengalaman dalam proyek besar, terbukti menggunakan Bank Garansi palsu untuk kepentingan proyek PLN dan pencarian pinjaman USD 50 juta dari Morgan Stanley.
Analisis Kritis MA:
- Pengabaian Dalih Ketidaktahuan : MA dengan tegas menyatakan, “Para Terdakwa adalah pengusaha yang sudah biasa berbisnis… sehingga tidak logis apabila para Terdakwa mengatakan bahwa ia tidak mengetahui kalau Bank Garansi yang diberikan pada Morgan Stanley palsu.” (Vide Hal. 89, Poin 7).
- Implikasi Mens Rea (Niat Jahat): Keterlibatan aktif para Terdakwa dalam proses perolehan (dengan biaya besar kepada konsultan) dan pencairan jaminan palsu tersebut membuktikan adanya niat dan kehendak untuk menggunakan surat palsu dan mendapatkan keuntungan.
- Ekspansi Pidana Pemalsuan ke TPPU: Kasus tersebut tidak berhenti pada pemalsuan surat (Pasal 263 Ayat (2) KUHP), namun berpotensi meluas ke Tindak Pidana Pencucian Uang (Pasal 3 Ayat (1) a UU No. 23/2003 jo UU No. 15/2002) karena adanya rekayasa laporan keuangan PT. GEB untuk menyamarkan asal-usul uang pinjaman yang diperoleh berdasarkan jaminan palsu.
2. Putusan MA Nomor 807 K/Pid/2018: Bukti Adanya Niat Menipu
Dalam kasus tender Airnav, Direktur Keuangan PT. KMG menggunakan jasa pihak ketiga (PT. SSG) untuk mengurus Jaminan Penawaran Bank dalam waktu yang sangat singkat (2 hari), padahal Terdakwa mengetahui perusahaannya tidak memiliki dana yang cukup (Rp2,63 Miliar) untuk pekerjaan tersebut.
Analisis Kritis MA:
- Jalan Pintas adalah Indikasi Niat: MA berpendapat, kondisi perusahaan yang tidak memiliki dana dan jangka waktu yang “tidak rasional” (2 hari), menjadi faktor utama yang membuktikan Terdakwa menyadari sepenuhnya risiko, namun tetap menggunakan pihak ketiga tanpa verifikasi bank.
- Kelalaian Prosedural Menjadi Niat Pidana: Tindakan Terdakwa yang tidak berurusan langsung dengan bank yang bersangkutan, dan memilih jalur non-prosedural, dianggap MA sebagai pemenuhan unsur “dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai” surat palsu (Pasal 263 Ayat (2) KUHP).
Dua putusan di atas menjadi sinyal tegas bagi para pebisnis, maupun Direksi perseroan tidak dapat berlindung di balik dalih business judgment rule atau ketidaktahuan terkait pengurusan BG melalui “jasa konsultan” instan, jika fakta-fakta menunjukkan adanya indikasi tindakan non-prosedural, dengan motivasi untuk menutupi kelemahan finansial perseroan, atau adanya keuntungan yang dicairkan dari dokumen palsu. Hal tersebut menjadi tanggung jawab pidana pribadi yang melekat pada pengurus (Direksi) sebagaimana diatur dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Untuk melindungi para Direksi atau pihak terkait dari jerat pidana tersebut, perseroan harus menggeser fokus dari kepatuhan administratif ke pengelolaan risiko hukum berbasis preseden.
Kerangka Mitigasi Risiko Hukum Bank Garansi
Aspek Risiko | Risiko (Hukum & Finansial) | Strategi Mitigasi (Proaktif) | Asas Hukum Relevan |
---|---|---|---|
Prosedural | BG Ditolak/Palsu. Pelanggaran Perpres PBJP, Perlem LKPP, dan Peraturan Lainnya, diskualifikasi tender. | Zero-Tolerance Policy: Wajib melakukan verifikasi Bank (Issuer) secara mandiri dalam waktu cepat untuk menghindari distorsi informasi. Dokumen harus diurus langsung oleh In-House Legal atau pejabat berwenang, bukan konsultan pihak ketiga. | Asas Kepastian Hukum (Certainty), Asas Itikad Baik (BW 1338) |
Individual | Direksi/Pengurus tersangkut Pasal 263 KUHP (Pemalsuan) dan UU TPPU. | Delegasi Wewenang yang Jelas: Membentuk Komite Kepatuhan Hukum yang wajib mencatat dan melaporkan setiap tindakan non-prosedural dalam pengurusan BG. | Tanggung Jawab Pribadi Direksi (Pasal 97 UU 40/2007) |
Finansial | Adanya potensi Kerugian Kreditor dan potensi tuntutan Ganti Rugi. | Hanya gunakan BG yang diterbitkan Bank Umum di Indonesia yang memiliki rekam jejak yang solid, sesuai kriteria Peraturan OJK (Otoritas Jasa Keuangan) terkait Bank Pelaksana. | Prinsip GCG (Good Corporate Governance) |
Tata Kelola | Indikasi fraud dalam internal audit. | Audit Kepatuhan: Setiap pengajuan dan penerimaan BG harus memiliki audit log yang mencantumkan financial capacity statement dari CFO/Komisaris, memastikan perusahaan mampu melaksanakan proyek sekalipun tanpa BG. | Prinsip GCG (Good Corporate Governance) |
Prinsip Lex Specialis Derogat Legi Generali mengingatkan kita bahwa meskipun sengketa jaminan dalam kontrak pengadaan dapat diselesaikan secara perdata, namun UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo UU 20/2001) dan UU TPPU dapat di fungsikan sebagai ketentuan hukum yang lebih spesifik (lex specialis) jika dalam pengadaan atau proyek BUMN/Pemerintah, terdapat kasus penggunaan BG palsu.
Menyusun Kebijakan Operasional
Implementasi strategi ini memerlukan perubahan fundamental dalam kultur pengadaan. berikut usulan tiga pilar kebijakan yang perlu dipertimbangkan dan diterapkan:
1. Mekanisme Triple-Check Due Diligence (LDD)
Setiap BG yang diterima atau dikeluarkan harus melewati tiga tahap verifikasi ketat sebelum dimasukkan ke dalam dokumen tender atau kontrak:
- Verifikasi Fisik (Legal/Compliance): Membandingkan format BG dengan spesimen resmi Bank Penerbit dan memeriksa legalitas tanda tangan pihak Bank.
- Verifikasi Langsung (Finance): Pejabat/Bagian Keuangan harus menghubungi langsung Head Office Bank Penerbit (Issuer) melalui jalur resmi (bukan cabang atau kontak yang tertera di BG) untuk konfirmasi keaslian dan ketersediaan dana cadangan (jika covered BG).
- Verifikasi Kebutuhan (Audit/Komisaris): Memastikan nilai BG sesuai kebutuhan dan ketentuan finansial proyek dan pastikan tidak ada upaya untuk menutupi kekurangan modal, yang mana dapat menjadi bukti mens rea seperti dalam Putusan MA 807 K/Pid/2018.
2. Implementasi AUP (Agreed-Upon Procedures) for BG
Bagi korporasi Jasa Konstruksi (sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi), libatkan auditor independen untuk membuat Agreed-Upon Procedures (AUP) khusus untuk proses pengurusan dan perolehan BG. AUP ini berfungsi sebagai protokol baku yang wajib dipatuhi dan akan menjadi bukti kuat dalam pembelaan hukum bahwa Direksi telah bertindak dengan itikad baik dan kehati-hatian (duty of care).
3. Pemisahan Wewenang Berbasis UU PT
Direksi wajib memastikan bahwa pendelegasian wewenang pengadaan jaminan tidak terpusat pada satu individu. Hal ini sejalan dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dalam UU PT. Tujuannya adalah memecah rantai mens rea (niat jahat) dan menyulitkan terjadinya konspirasi pemalsuan, sehingga pertanggungjawaban pidana terhadap perseroan dan individu dalam perseroan dapat dihindari, dan tanggung jawab beralih menjadi kelalaian operasional yang dapat diselesaikan secara internal.
Pahami Risiko, dan Ambil Kendali Penuh
Bagi para Direksi dan perseroan yang bergerak di sektor Pengadaan dan Konstruksi, hukum tidak lagi memaafkan kelalaian dalam pengurusan BG secara instan. Risiko menggunakan BG palsu bukan sekadar sanksi administratif atau sanksi perdata, sanksnya berupa pidana penjara yang merupakan ancaman nyata terhadap kebebasan individu dan kelangsungan bisnis Anda melalui jerat Pidana Pemalsuan dan TPPU. Strategi hukum yang proaktif adalah investasi, bukan sekedar biaya. Ercolaw, dengan keahlian mendalam di bidang Hukum Pengadaan, Jasa Konstruksi, dan Mitigasi Risiko Pidana Korporasi, siap membantu Anda:
- Mereview dan merumuskan ulang Kebijakan Pengadaan (Procurement Policy) internal yang dapat mengantisipasi risiko BG palsu.
- Melakukan Legal Due Diligence dan Forensic Audit untuk mendeteksi potensi kecurangan yang tersembunyi.
- Menyusun skema GCG yang menjamin kepatuhan Direksi sesuai amanat UU Perseroan Terbatas.
Jangan biarkan “jasa instan” tender yang menjanjikan kecepatan menukar masa depan bisnis Anda dengan potensi risiko hukum dan finansial yang tidak terkendali. Ambil kendali penuh atas kepastian hukum perusahaan Anda hari ini.
Konsultasikan strategi mitigasi risiko hukum korporasi Anda. Kunjungi kami di https://ercolaw.com/ atau hubungi tim ahli kami untuk jadwal pertemuan eksklusif. Masa depan bisnis yang aman secara hukum adalah prioritas kami.
Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi hukum secara umum dan bukan merupakan nasihat hukum. Setiap tindakan hukum harus didasarkan pada konsultasi dengan profesional hukum yang kompeten yang telah menganalisis fakta spesifik kasus Anda.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw