Kontrak Diputus, Gugatan Miliaran Mengancam
Pernahkah anda membayangkan bahwa Anda sebagai kontraktor telah mengerjakan proyek konstruksi dengan sebaik mungkin. Tiba-tiba, pemberi kerja secara sepihak memutus kontrak dengan alasan yang tidak jelas. Lebih buruk lagi, Anda dimasukkan ke dalam daftar hitam, kehilangan proyek, dan harus menghadapi beban finansial yang besar.
Permasalahan semacam itu bukan sekadar cerita fiktif tetapi banyak terjadi di industri konstruksi. Salah satu contoh nyata dapat kita pelajari dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1311 PK/Pdt/2024, pemutusan kontrak oleh pemerintah daerah dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum karena tidak didasari alasan yang sah menurut hukum. Kontraktor yang menjadi korban akhirnya menggugat dan memenangkan perkara, pengadilan menyatakan kontraktor berhak atas ganti rugi miliaran rupiah.
Pertanyaannya, apakah setiap pemutusan kontrak bisa dianggap perbuatan melawan hukum? Dan bagaimana force majeure dapat menjadi faktor yang membebaskan tanggung jawab dalam penyelesaian kontrak konstruksi?
Sengketa Konstruksi dan Force Majeure yang Diabaikan
Kasus yang menarik perhatian ini terjadi dalam proyek rekonstruksi dan peningkatan kapasitas struktur jalan Bagan Siapi-api – Teluk Piyai (Kubu) yang dibiayai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2022.
Kontraktor, PT Vetia Delicipta, menghadapi kendala besar di lapangan: kondisi alam ternyata tidak memungkinkan pekerjaan diselesaikan secara tepat waktu. Namun, alih-alih memahami kondisi tersebut, pemerintah daerah malah memutus kontrak sepihak dan menolak membayar sisa prestasi pekerjaan. Atas sikap pemerintah daerah tersebut, Kontraktor tidak tinggal diam. Mereka membawa perkara ini ke pengadilan dengan dasar bahwa pemutusan kontrak tanpa dasar yang sah adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Hasilnya? Mahkamah Agung menegaskan bahwa pemutusan kontrak tersebut tidak sah, mengakui keberadaan force majeure, dan mewajibkan pihak pemerintah daerah membayar ganti rugi serta mengembalikan jaminan pelaksanaan.
Kasus ini memberikan pelajaran penting bahwa pemutusan kontrak tidak bisa dilakukan sembarangan, terutama jika secara faktual terjadi keadaan kahar yang sah.
PMH dalam Pemutusan Kontrak Konstruksi
Dalam kontrak konstruksi, pemutusan perjanjian oleh salah satu pihak tidak serta-merta dianggap sah. Terlebih jika pemutusan dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, maka tindakan tersebut dapat dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Berdasarkan kaidah hukum yang berlaku di Indonesia maupun yurisprudensi mahkamah agung, suatu tindakan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum jika:
- Adanya perbuatan aktif maupun pasif.
- Perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, hak subjektif orang lain, prinsip kepatutan, kehati-hatian, dan/atau keadilan dalam hubungan hukum.
- Ada kerugian yang timbul dari perbuatan tersebut.
- Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian.
Dalam konteks proyek jalan di Riau ini, pemutusan kontrak dilakukan tanpa mempertimbangkan force majeure, yang jelas bertentangan dengan prinsip hukum perdata dan kontrak konstruksi. Padahal, dalam kontrak FIDIC yang menjadi standar dalam industri konstruksi internasional, force majeure adalah alasan yang dapat membebaskan kewajiban kontraktual. Kontraktor tidak bisa dihukum atas keterlambatan atau kegagalan yang terjadi karena keadaan di luar kendali mereka. Selain itu, dalam kasus ini, kontraktor juga mengalami kerugian finansial besar, termasuk masuk daftar hitam (blacklist) yang membuat mereka kehilangan proyek di masa depan. Hal ini menunjukkan kesewenang-wenangan dalam pemutusan kontrak yang justru merugikan iklim usaha dan kepercayaan terhadap kontrak kerja konstruksi di Indonesia.
Force Majeure Yang Secara Faktual Terjadi Harus Diakui
Dalam hukum kontrak, force majeure atau keadaan kahar diatur dalam Pasal 1245 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa seorang debitur tidak wajib membayar ganti rugi jika gagal melaksanakan perjanjian karena keadaan memaksa di luar kendalinya. Namun, ada satu prinsip penting: force majeure harus dapat dibuktikan secara objektif. Tidak semua hambatan dalam proyek konstruksi bisa dikategorikan sebagai keadaan kahar.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Ercolaw tentang force majeure dalam proyek konstruksi, kesulitan mendapatkan material bukanlah force majeure jika kontraktor masih memiliki opsi untuk mengatasi kendala tersebut. Tetapi dalam kasus ini, force majeure berupa kondisi alam yang buruk jelas tidak dapat diatasi oleh kontraktor, sehingga pemutusan kontrak seharusnya tidak terjadi. Dengan demikian, pemutusan kontrak yang mengabaikan force majeure dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, sebagaimana ditegaskan dalam putusan Mahkamah Agung.
Jangan Ambil Risiko, Konsultasikan dengan Ahli
Kasus ini membuktikan bahwa pemutusan kontrak konstruksi bukan sekadar urusan administratif, tetapi memiliki konsekuensi hukum. Jika Anda adalah kontraktor atau pemilik proyek yang menghadapi sengketa konstruksi, penting untuk memahami hak dan kewajiban hukum Anda sebelum mengambil langkah hukum.
Sebagai firma hukum yang berpengalaman dalam litigasi komersial dan sengketa konstruksi, Ercolaw siap membantu Anda menghadapi permasalahan hukum terkait kontrak kerja konstruksi, force majeure, atau perbuatan melawan hukum dalam pemutusan kontrak. Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi lebih lanjut dan lindungi bisnis Anda dari keputusan hukum yang merugikan.
Kesimpulan
Pemutusan kontrak konstruksi bukan hal yang bisa dilakukan sembarangan. Jika dilakukan tanpa alasan yang sah, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum dan berujung pada ganti rugi besar. Force majeure merupakan konsep penting yang harus dipahami dengan benar dalam proyek konstruksi. Tidak semua hambatan bisa dianggap force majeure, tetapi jika ada bukti kuat bahwa proyek memang terganggu oleh keadaan kahar, maka pemutusan kontrak tidak bisa serta-merta dilakukan. Sengketa konstruksi membutuhkan keahlian hukum yang mendalam. Dengan memahami aspek hukum kontrak dan force majeure, Anda dapat menghindari risiko hukum yang merugikan.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw