Sebuah tanda tangan di atas kontrak bernilai miliaran rupiah acapkali menjadi momen perayaan bagi korporasi. Namun, dalam senyapnya ruang direksi, tanda tangan tersebut juga juga mengandung awal dari sebuah risiko yang luar biasa dan harus dikelola. Tidak sedikit dari kita yang berasumsi bahwa risiko terbesar dari sebuah proyek konstruksi yang gagal hanyalah peristiwa wanprestasi atau cidera janji. Sebuah preseden hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung menunjukkan sebuah kondisi yang jauh lebih dalam dan berbahaya: Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Ilusi Aman di Balik Kontrak Konstruksi
Pernahkah terbayangkan perusahaan Anda memenangkan tender pemerintah yang prestisius. Kontrak telah ditandatangani, tim proyek telah dibentuk dan pendanaan aman. Fokus utama selanjutnya adalah efisiensi, margin keuntungan, dan penyelesaian tepat waktu. Di tengah tekanan tersebut, muncul godaan untuk “mengoptimalkan” sumber daya dengan mengurangi sedikit volume material di area yang tidak terlihat, atau mungkin melaporkan kemajuan pekerjaan yang sedikit lebih cepat dari realitas lapangan untuk memperlancar arus kas atau tagihan.
Dalam benak manajer proyek, tindakan seperti itu mungkin dianggap sebagai “fleksibilitas operasional” atau, paling buruk, sebuah pelanggaran kontrak minor yang bisa diselesaikan melalui negosiasi atau denda. Namun, realitas hukumnya jauh lebih berbahaya. Tindakan yang dianggap sebagai optimalisasi internal tersebut dapat bertransformasi menjadi suatu Perbuatan Melawan Hukum, membuka pintu bagi tuntutan ganti rugi yang melampaui nilai kontrak, dan bahkan menyeret direksi secara pribadi ke dalam pusaran tanggung jawab pidana.
Analisis Preseden Mahkamah Agung
Dua putusan Mahkamah Agung yang saling terkait, yakni Putusan Kasasi No. 151 K/Pdt/2012 yang dikuatkan dengan Putusan Peninjauan Kembali No. 473 PK/Pdt/2015, menjadi rambu peringatan yang tidak bisa diabaikan oleh setiap pelaku usaha di sektor konstruksi.
Kedua putusan tersebut membahas kasus yang sama, yakni: Pemerintah Kabupaten Kepahiang (Penggugat) melawan seorang kontraktor, Raden Jhon Kanedy Latif (Tergugat), terkait pelaksanaan proyek dana Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) pada tahun 2005. Proyek ini melibatkan pembangunan infrastruktur “pembangunan jalan atau prasarana air bersih” di 25 desa.
Fakta hukum yang terungkap di persidangan sangat jelas. Tergugat, yang bekerjasama dengan 25 Organisasi Masyarakat Setempat (OMS), telah mencairkan seluruh dana proyek sebesar Rp6,25 miliar. Namun, audit investigatif oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menemukan adanya penyimpangan serius berupa kekurangan volume pekerjaan dan adanya pekerjaan fiktif yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp1.840.100.864,43.
Yang paling fundamental dari kasus tersebut adalah landasan gugatan yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Kepahiang. Mereka tidak mendalilkan Tergugat telah cidera janji (wanprestasi) karena tidak menyelesaikan pekerjaan sesuai kontrak. Lebih dari itu, mereka menggugat Tergugat atas dasar Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Mahkamah Agung, dalam putusannya di tingkat kasasi (No. 151 K/Pdt/2012), secara tegas menyatakan bahwa judex facti (pengadilan tingkat bawah) tidak salah dalam menerapkan hukum. Berdasarkan keterangan 9 orang saksi dan ahli, Penggugat telah berhasil membuktikan dalil gugatannya bahwa Tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dan telah merugikan Penggugat.Upaya hukum luar biasa yang diajukan Tergugat pun kandas.
Dalam Putusan Peninjauan Kembali (No. 473 PK/Pdt/2015), Mahkamah Agung menolak permohonan PK dengan pertimbangan bahwa novum (bukti baru) yang diajukan tidak bersifat menentukan, dan menegaskan kembali bahwa Tergugat terbukti telah merugikan Penggugat dengan mengurangi volume pekerjaan dan melaporkan pekerjaan fiktif.
Perbedaan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum
Kedua putusan tersebut menggarisbawahi perbedaan krusial yang wajib dipahami oleh setiap direksi dan pemilik bisnis. Mengapa Penggugat bersikeras menggunakan dalil PMH dan mengapa Mahkamah Agung mengamininya? Jawabannya terletak pada konsekuensi hukum yang fundamental berbeda.
Dalam kasus tersebut, tindakan mengurangi volume dan membuat laporan fiktif tidak lagi dipandang sebagai sekadar “tidak memenuhi spesifikasi kontrak”. perbuatan tersebut telah melintasi batas menjadi sebuah perbuatan yang secara inheren melanggar hukum dan kepatutan (duty of care), sehingga memenuhi kualifikasi PMH berdasarkan Pasal 1365 KUHPer.
Ini sejalan dengan amanat Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (sebagaimana diubah UU Cipta Kerja) yang menekankan standar keamanan, keselamatan, kesehatan, dan keberlanjutan. Kegagalan memenuhi standar ini bukan hanya soal mutu, tetapi juga soal tanggung jawab hukum yang lebih luas. Bahkan, dalam konteks perseroan, direksi yang dengan sengaja atau lalai membiarkan praktik ini terjadi dapat dimintai pertanggungjawaban hingga harta pribadi, sesuai dengan prinsip piercing the corporate veil yang diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Dari Preseden Menuju Kebijakan Internal
Analisis atas Putusan MA No. 151 K/Pdt/2012 dan No. 473 PK/Pdt/2015 bukanlah sekadar masukan dari sisi akademis. preseden tersebut merupakan cetak biru untuk membangun benteng pertahanan hukum bagi korporasi Anda. Perusahaan tidak bisa lagi hanya mengandalkan tim legal untuk meninjau kontrak. Diperlukan sebuah pergeseran paradigma dari manajemen risiko kontraktual menjadi manajemen risiko kepatuhan holistik.
Berikut adalah langkah-langkah praktis yang harus diintegrasikan ke dalam kebijakan internal Anda:
- Penguatan Sistem Pengawasan Internal: Implementasikan mekanisme check-and-balance yang ketat pada setiap tahapan proyek. Laporan kemajuan harus diverifikasi silang oleh tim independen (misalnya, unit audit internal atau konsultan pengawas eksternal) sebelum diserahkan kepada pemberi kerja.
- Pelatihan Berbasis Risiko Hukum: Lakukan sosialisasi kepada seluruh jajaran, mulai dari manajer proyek di lapangan hingga direksi, mengenai perbedaan konsekuensi antara wanprestasi dan PMH. Tim harus paham bahwa “efisiensi” yang melanggar hukum akan membawa perusahaan ke jurang kehancuran.
- Dokumentasi yang Disiplin: Ciptakan budaya dokumentasi yang tanpa celah. Setiap material yang masuk, setiap pekerjaan yang diselesaikan, dan setiap pembayaran harus tercatat dengan bukti yang kuat. Ini adalah amunisi utama Anda jika terjadi sengketa. Pelajari bagaimana Pentingnya Legal Due Diligence dalam Transaksi Bisnis dapat diterapkan dalam konteks proyek.
- Klausul Anti-Fraud dalam Kontrak: Saat menyusun kontrak, tidak hanya dengan pemberi kerja tetapi juga dengan sub-kontraktor, masukkan klausul yang secara eksplisit melarang praktik-praktik yang mengarah pada PMH dan menetapkan konsekuensi tegas, termasuk pemutusan kontrak sepihak dan tuntutan ganti rugi. Pahami Peran Penting Pengacara Perusahaan dalam merancang klausul pelindung ini.
Jangan Tunggu Somasi, Segera Perkuat Perlindungan Hukum Anda
Kasus yang menimpa Raden Jhon Kanedy Latif adalah sebuah pelajaran pahit yang berharga. Kerugian finansial yang masif, reputasi yang hancur, dan proses hukum yang berjalan bertahun-tahun adalah konsekuensi dari tindakan yang mungkin pada awalnya dianggap sepele. Di era transparansi dan penegakan hukum yang semakin kuat, tidak ada lagi ruang untuk abu-abu.
Setiap proyek yang dijalankan adalah pertaruhan reputasi dan kelangsungan bisnis Anda. Memastikan setiap langkah sesuai koridor hukum bukan suatu pengeluaran tanpa urgensi, melainkan investasi paling krusial. Jangan biarkan kontrak kerja sama yang Anda banggakan hari ini menjadi sumber malapetaka hukum di kemudian hari.
Jika Anda ingin memahami lebih dalam bagaimana cara membentengi perusahaan Anda dari risiko Perbuatan Melawan Hukum dan memastikan setiap proyek berjalan di atas landasan kepatuhan yang kokoh, tim kami di Ercolaw siap membantu. Kami tidak hanya merancang kontrak, kami membangun strategi pertahanan hukum yang komprehensif.
Butuh panduan lebih lanjut atau menghadapi sengketa konstruksi yang rumit? Tim pengacara berpengalaman di Ercolaw siap membantu Anda menavigasi kompleksitas hukum dan memperjuangkan hak-hak Anda. Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi !
Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi hukum secara umum dan bukan merupakan nasihat hukum. Setiap tindakan hukum harus didasarkan pada konsultasi dengan profesional hukum yang kompeten yang telah menganalisis fakta spesifik kasus Anda.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw