Kekuatan Hukum Purchase Order dan Proforma Invoice

Purchase Order dan Proforma Invoice Bukti Strategis Gugatan Wanprestasi

Bagikan :

Dalam transaksi komersial semua hal terkadang harus serba cepat, transaksi sering kali terjadi tanpa perjanjian formal yang ditandatangani di atas meterai. Sebuah Purchase Order (PO) dikirim, lalu dibalas dengan Proforma Invoice (PI). Selanjutnya barang dikirim dan pembayaran dilakukan. Meski demikian, apa yang terjadi ketika salah satu pihak tidak melaksanakan transaksi? Banyak pengusaha menganggap PO dan PI tidak penting, terkadang mereka memandangnya hanya sebagai administrasi biasa, bukan sebagai kontrak yang memiliki kekuatan hukum mengikat. Anggapan tersebut sebuah kekeliruan yang berpotensi pada kerugian finansial dan sengketa berkepanjangan.

Masalah Tersembunyi di Balik Transaksi Harian

Beberapa direksi, manajer, dan pemilik usaha terkadang tidak menyadari bahwa praktik pertukaran PO dan PI yang mereka lakukan setiap hari sesungguhnya sedang membentuk sebuah perikatan hukum yang sah. Umunya mereka terjebak dalam keyakinan keliru bahwa tanpa adanya “surat perjanjian” yang formal dan komprehensif, maka tidak ada kewajiban kontraktual. Akibatnya, ketika pemasok atau supplier telat mengirim barang atau mengirim produk tidak sesuai spesifikasi, mereka merasa tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut ganti rugi. Mereka ragu, apakah PO dan PI cukup untuk menjadi “senjata” di pengadilan? Keraguan inilah yang menjadi paint point utama, sebuah celah yang merugikan dan sering kali dieksploitasi.

PO dan PI sebagai Kesepakatan yang Sah

Keraguan tersebut seharusnya sirna apabila kita memiliki pengetahuan hukum kontrak yang mendalam, apalagi setelah mengetahui beberapa putusan penting yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Dua putusan kasasi yang saling menguatkan di bawah ini telah memberikan kaidah hukum yang jelas dalam transaksi komersial dan menjadi preseden penting dalam penyelesaian sengketa bisnis.

Pertama, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 732 K/Pdt/2015, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan hukum yang mengubah lanskap pemahaman transaksi komersial di Indonesia. Dalam perkara ini, PT Pan Brothers menggugat PT Indonesia Taroko Textile karena keterlambatan pengiriman bahan baku kain. Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan:

“Bahwa PO (Purchase Order) merupakan bukti adanya pemesanan barang yang dilakukan oleh pembeli kepada penjual, yang apabila Tergugat menerbitkan PI (Proforma Invoice) harus diartikan pihak penjual telah menyetujui syarat transaksi kedua belah pihak… sedangkan LC adalah hal lain sudah terkait impor ekspor, bukan permasalahan kesepakatan pemesanan barang.”

Kaidah hukum dalam putusan tersebut mengafirmasi bahwa proses penawaran (melalui PO) dan penerimaan (melalui PI) sudah cukup untuk melahirkan sebuah kesepakatan yang mengikat. Argumen Tergugat yang mencoba mengalihkan fokus pada Letter of Credit (LC) sebagai dasar perjanjian dimentahkan oleh Mahkamah AGung, karena LC dipandang sebagai mekanisme pembayaran yang terpisah dari kesepakatan pokok jual beli.

BACA:  Langkah Hukum Jika Bank Tidak Kembalikan Sertifikat Jaminan

Kedua, keyakinan hakim tersebut juga dipertegas dalam Putusan Mahkamah Agung No. 1100 K/Pdt/2016. Perkara ini melibatkan PT Pancaprima Ekabrothers sebagai Penggugat dan PT Indonesia Taroko Textile sebagai Tergugat, yang juga berakar dari masalah wanprestasi terkait pengiriman bahan baku kain. Mahkamah Agung dalam pertimbangannya menyatakan:

“Bahwa dari saksi-saksi persidangan terbukti bahwa Tergugat telah melakukan ingkar janji (wanprestasi) atas kesepakatan mengenai kerjasama jual beli bahan baku kain sebagaimana tercatat di dalam Purchase Order, Proforma Invoice yang ada sehingga pemenuhan kewajiban Tergugat untuk pengiriman bahan baku kain kepada Penggugat telah mengalami keterlambatan lebih kurang 177 kali, yang telah mengakibatkan kerugian pada Penggugat.”

Putusan tersebut sekali lagi menjadi bukti konkret bahwa majelis hakim di tingkat tertinggi mengakui eksistensi PO dan PI, bukan hanya sebagai dokumen administratif, tetapi sebagai fondasi dari sebuah “kesepakatan jual beli”. Keterlambatan pengiriman yang berulang kali, yang tercatat berdasarkan tanggal yang disepakati dalam dokumen-dokumen tersebut, menjadi dasar yang sah untuk menyatakan adanya wanprestasi atau ingkar janji.

Landasan Teori dan Asas Hukum Perdata

Kekuatan hukum PO dan PI ini sejatinya berakar kuat pada prinsip-prinsip dasar hukum perdata Indonesia, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)Asas utama yang berlaku adalah asas konsensualisme, yang termaktub dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal tersebut menetapkan empat syarat sahnya perjanjian:

  1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu hal tertentu; dan
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Dari keempat syarat tersebut, satu yang paling fundamental adalah adanya “sepakat“. KUH Perdata tidak mensyaratkan formalitas tertentu (seperti akta notaris atau bahkan tanda tangan di atas meterai) untuk sebagian besar perjanjian, khususnya perjanjian Innominat. Artinya kesepakatan bisa terjadi secara lisan, tertulis, atau bahkan secara diam-diam.

Dalam konteks transaksi modern, pengiriman PO oleh pembeli adalah bentuk penawaran (aanbod). Ketika penjual merespons dengan menerbitkan PI yang mengkonfirmasi detail pesanan (jenis barang, jumlah, harga, dan jadwal pengiriman), saat itulah terjadi penerimaan (acceptatie). Pertemuan antara penawaran dan penerimaan inilah yang melahirkan “sepakat” dan secara hukum menciptakan perjanjian yang sah (Pasal 1338 KUH Perdata), yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.

Putusan-putusan Mahkamah Agung di atas secara implisit menerapkan asas ini. Mahkamah Agung melihat substansi dari interaksi para pihak, bukan semata-mata pada formalitas dokumen. Ketika PO telah dikirim dan PI telah diterbitkan, para pihak dianggap telah menyetujui hal-hal pokok dari transaksi tersebut, yaitu barang dan harga, sesuai amanat Pasal 1458 KUH Perdata yang menyatakan “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar“.

BACA:  Mengapa MA Batalkan Surat Kuasa dan RUPS-LB Pengalihan Saham? Simak Penjelasannya!

Konsekuensinya, jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban/prestasinya, misalnya penjual gagal mengirim barang tepat waktu, maka pihak tersebut telah melakukan wanprestasi (ingkar janji). Akibatnya, pihak yang dirugikan berhak menuntut pemenuhan perjanjian, ganti rugi (biaya, rugi, dan bunga), sebagaimana diatur dalam Pasal 1239 dan Pasal 1243 KUH Perdata atau pembatalan perjanjian sesuai Pasal 1267 KUH Perdata.

Untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam bagi para pelaku bisnis, berikut perbandingan praktis antara mengandalkan PO dan PI versus menggunakan perjanjian formal yang terpisah.

PO & PI vs. Perjanjian Formal

AspekTransaksi dengan Purchase Order (PO) & Proforma Invoice (PI)Transaksi dengan Perjanjian Formal
Dasar HukumPasal 1320 & 1338 KUH Perdata. Diperkuat dengan Putusan MA No. 732 K/Pdt/2015 & Putusan MA No. 1100 K/Pdt/2016.Pasal 1320 & 1338 KUH Perdata. Diperkuat dengan Perjanjian Formal yang ditandatangani Para Pihak.
Kecepatan & EfisiensiPROS: Sangat cepat dan efisien untuk transaksi rutin. Mendukung kecepatan bisnis dan tidak memerlukan negosiasi panjang untuk setiap transaksi.CONS: Lambat dan tidak efisien untuk transaksi harian. Memerlukan waktu untuk negosiasi, drafting, dan review yang berpotensi menghambat transaksi.
Kekuatan PembuktianPROS: Diakui sebagai bukti kesepakatan yang sah oleh Mahkamah Agung. Efektif jika detail (barang, harga, jumlah, jadwal kirim) tercantum jelas. Apalagi jika ditandatangani oleh Para PihakPROS: Sempurna jika dituangkan dalam Akta Notaril. Perjanjian formal biasanya mencakup klausul penyelesaian sengketa, denda keterlambatan, hukum yang berlaku, yurisdiksi pengadilan, dsb.
CONS: Tidak diakui hukum, jika detail tidak jelas. Pihak lawan mungkin menolak keabsahan karena ketiadaan tanda tangan atau klausul penting lainnya (misalnya, denda).
Lingkup PerlindunganCONS: Umumnya tidak mengatur secara kompleks seperti kerahasiaan, hak kekayaan intelektual, atau mekanisme penyelesaian sengketa yang spesifik.PROS: Dapat dirancang melindungi semua aspek penting bisnis, termasuk yang tidak tercakup dalam transaksi jual beli standar.
Rekomendasi PraktisIdeal untuk: Transaksi jual-beli barang komoditas atau jasa standar yang berulang, dengan mitra bisnis terpercaya.Ideal untuk: Proyek bernilai tinggi, kemitraan jangka panjang, perjanjian lisensi, atau transaksi dengan kerumitan dan risiko yang signifikan.

Menjembatani Teori ke Praktik, Amankan Bisnis Anda

Pemahaman atas kekuatan hukum PO dan PI adalah sebuah keharusan. Dokumen tersebut dalam transaksi komersial bukan lagi sekadar administratif, melainkan fondasi dari pertanggungjawaban hukum dalam setiap transaksi. Bagi para pemimpin perusahaan, pengetahuan ini adalah parameter untuk mengatur dan mengelola risiko yang vital. Anda tidak perlu ragu lagi untuk mengambil tindakan hukum jika pemasok wanprestasi hanya karena tidak ada “surat perjanjian” yang tebal. Namun, mengandalkan PO dan PI saja juga memiliki keterbatasan. Dokumen ini sering kali tidak mencakup klausul-klausul krusial seperti pilihan penyelesaian sengketa (apakah melalui pengadilan atau arbitrase seperti yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1999), denda keterlambatan yang spesifik, atau perlindungan atas hak kekayaan intelektual.

BACA:  Sengketa Bisnis Atau Penggelapan? Ini Pentingnya Audit

Oleh karena itu, strategi menerapkan keduanya adalah solusi terbaik. Untuk transaksi rutin, pastikan PO dan PI Anda dirancang dengan cermat: cantumkan secara eksplisit detail barang, harga, kuantitas, jadwal pengiriman, dan sanksi dasar atas keterlambatan. Anda bahkan bisa merujuk pada “Syarat dan Ketentuan Umum” yang tertera di website perusahaan Anda. Untuk kemitraan strategis atau proyek bernilai besar, investasikan waktu dan sumber daya untuk menyusun perjanjian formal yang komprehensif.

Dari Pengetahuan Menjadi Perlindungan

Dunia bisnis penuh dengan ketidakpastian, namun posisi hukum Anda seharusnya tidak menjadi salah satunya. Mengabaikan kekuatan hukum dari dokumen transaksi harian seperti Purchase Order dan Proforma Invoice adalah seperti berlayar tanpa kompas. Anda mungkin baik-baik saja untuk sementara waktu, tetapi badai hukum bisa datang kapan saja. Jangan biarkan keraguan menghalangi Anda untuk melindungi hak-hak perusahaan. Memahami preseden yang telah ditetapkan Mahkamah Agung dan prinsip-prinsip hukum perdata yang mendasarinya adalah langkah pertama. Langkah selanjutnya adalah memastikan praktik bisnis Anda selaras dengan pengetahuan tersebut.

Apakah PO dan PI Anda sudah cukup kuat? atau Anda memerlukan kerangka perjanjian induk (framework agreement) untuk mengatur transaksi berulang Anda? Hubungi kami di untuk diskusi dan konsultasi lebih lanjut. Kami tidak hanya menawarkan nasihat hukum, tetapi juga kemitraan strategis untuk memastikan setiap langkah bisnis Anda dilandasi oleh kepastian dan perlindungan hukum yang kokoh.

Kami di Ercolaw mengajak Anda untuk melakukan sebuah “Transaction-Risk Health Check”. Izinkan kami, sebagai mitra strategis Anda meninjau kerangka kerja pengadaan dan penjualan. Kami siap membantu Anda mengidentifikasi celah, memperkuat dokumen dan membangun sistem yang memungkinkan Anda bertransaksi dengan cepat, namun tetap terlindungi sepenuhnya. Hubungi Ercolaw Sekarang.


Disclaimer: Artikel ini ditujukan untuk tujuan edukasi umum dan tidak dapat dianggap sebagai nasihat hukum. Setiap situasi hukum bersifat unik dan memerlukan konsultasi langsung dengan praktisi hukum yang kompeten.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :