Hukum Konstruksi, Dispute Settlement, Risiko dan Mitigasi Terminasi Kontrak

Bagikan :

Secara umum, Pengertian konstruksi sangat luas meliputi segala benda yang didirikan di atas tanah. Dalam beberapa literatur hukum, yang dimaksud Hukum Konstruksi adalah seluruh perangkat peraturan perundang-undangan yang bertalian dengan bangunan, meliputi pendirian, perawatan, pembongkaran, penyerahan, baik yang bersifat perdata maupun publik/administratif.[1] Sedangkan pengertian Konstruksi Gedung menurut hukum dapat merujuk pada definisi Bangunan Gedung sebagaimana dijelaskan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (UU No. 28/2002) yakni, wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukan, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di dalam tanah/air yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus.[2]

Berkaitan dengan itu, pelaksanaan pekerjaan konstruksi umumnya diatur dalam suatu Kontrak, pengertian mengenai Kontrak Kontruksi itu sendiri dapat merujuk pada definisi yang diatur dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017) yang menjelaskan bahwa Kontrak Kerja Konstruksi adalah keseluruhan dokumen kontrak yang mengatur hubungan hukum antara pengguna Jasa dan Penyedia Jasa dalam penyelenggaraan Jasa Konstruksi. Selain diatur pada undang – undang tersebut, ketentuan pokok dapat pula memperhatikan ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata sebagaimana disebutkan pada Pasal 1604 sampai Pasal 1615 Buku Ke Tiga Tentang Perikatan, mengenai Pemborongan Pekerjaan. dalam KUHPerdata digunakan istilah perjanjian pemborongan untuk kontrak kerja konstruksi.

Lebih lanjut, kontrak kerja konstruksi menurut Pasal 47 UU No. 2/2017 paling sedikit harus mencakup uraian mengenai: a) para pihak; b) rumusan pekerjaan; c) masa pertanggungan; d) hak dan kewajiban yang setara; e) penggunaan tenaga kerja konstruksi; f) cara pembayaran g) wanprestasi; h) penyelesaian perselisihan; i) pemutusan kontrak kerja Konstruksi; j) keadaan memaksa; k) kegagalan Bangunan; l) pelindungan pekerja; m) perlindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja; n) aspek lingkungan; o) jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; p) pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.

Jenis Kontrak Konstruksi

Adapun Jenis kontrak konstruksi menurut Pasal 27 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perpres 12/2021) terdiri atas:

Lumsum

Kontrak Lumsum merupakan Kontrak dengan ruang lingkup pekerjaan dan jumlah harga yang pasti dan tetap dalam batas waktu tertentu, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. semua risiko sepenuhnya ditanggung oleh Penyedia;
  2. berorientasi kepada keluaran; dan
  3. pembayaran didasarkan pada tahapan produk/keluaran yang dihasilkan sesuai dengan Kontrak.

Sistem Kontrak Lumsum ini lebih tepat digunakan untuk:[3]

  • Jenis pekerjaan borongan yang perhitungan volumenya untuk masing-masing unsur/jenis item pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti, berdasarkan gambar rencana dan spesifikasi teknisnya;
  • Jenis pekerjaan dengan anggaran biaya (budget) tertentu yang terdiri dari banyak sekali jenis/item pekerjaan atau Multi paket pekerjaan, yang sangat berisiko bagi pemberi tugas atas terjadinya biaya-biaya yang tidak diperkirakan (“unpredictable cost”). Seperti misalnya, adanya tuntutan (claim) dari penyedia jasa akibat adanya ketidaksempurnaan dari batasan lingkup pekerjaan, gambar lelang, spesifikasi teknis, atau daftar kuantitas (bill of quantity) yang ada. Dengan sistem kontrak ini diharapkan dapat meminimalisir terjadinya biaya-biaya yang tidak diperkirakan (unpredictable cost) tersebut, karena harga yang mengikat adalah total penawaran harga (volume yang tercantum dalam daftar kuantitas bersifat tidak mengikat).

Kontrak Harga Satuan

Kontrak Harga Satuan merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dengan harga satuan yang tetap untuk setiap satuan atau unsur pekerjaan dengan spesifikasi teknis tertentu atas penyelesaian seluruh pekerjaan dalam batas waktu yang telah ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. volume atau kuantitas pekerjaannya masih bersifat perkiraan pada saat Kontrak ditandatangani;
  2. pembayaran berdasarkan hasil pengukuran bersama atas realisasi volume pekerjaan; dan
  3. nilai akhir Kontrak ditetapkan setelah seluruh pekerjaan diselesaikan.

Sistem Kontrak Unit Price/Harga Satuan ini lebih tepat digunakan untuk :[4]

  1. Jenis pekerjaan yang untuk mendapatkan keakuratan perhitungan volume pekerjaan dengan pasti memerlukan:
  • Survey dan penelitian yang sangat dalam.
  • Detail dan sampel yang sangat banyak.
  • Waktu yang lama sehingga biaya sangat besar. Sementara di lain pihak pengukuran volume, akan lebih mudah dilakukan dalam masa pelaksanaan. Pekerjaan bersifat sangat mendesak dan harus segera dilaksanakan.
  1. Jenis pekerjaan yang mana volume pekerjaan yang pasti sama sekali tidak dapat diperoleh sebelum pekerjaan selesai dilaksanakan. Sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan sistem Kontrak Lumsum.

Kontrak Gabungan Lumsum dan Harga Satuan

merupakan Kontrak Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/jasa Lainnya gabungan Lumsum dan Harga Satuan dalam 1 (satu) pekerjaan yang diperjanjikan.

Sistem Kontrak gabungan ini pada umumnya digunakan pada:[5]

  1. Jenis pekerjaan borongan yang terdiri dari gabungan antara:
  • Komponen pekerjaan yang perhitungan volumenya untuk masing-masing unsur/jenis/item pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti berdasarkan gambar rencana dan spesifikasi teknisnya; dan
  • Komponen pekerjaan yang perhitungan volumenya belum dapat diketahui dengan pasti sebelum pelaksanaan pekerjaan dilakukan.
  1. Jenis pekerjaan borongan yang sebagian perhitungan volumenya untuk masing-masing unsur/jenis/item pekerjaan sudah dapat diketahui dengan pasti berdasarkan gambar rencana, namun terdapat bagian-bagian tertentu pekerjaan yang masih memerlukan adanya tambahan gambar/detail/sampel sedangkan pekerjaan sudah sangat mendesak dan harus segera dilaksanakan.

Kontrak Putar Kunci (Turn Key)

merupakan suatu perjanjian mengenai pembangunan suatu proyek dalam hal Penyedia setuju untuk membangun proyek tersebut secara lengkap sampai selesai termasuk pemasangan semua perlengkapannya sehingga proyek tersebut siap dioperasikan atau dihuni.

Sistem Kontrak ini pada umumnya digunakan pada :

  1. Pembelian suatu barang atau industri jadi yang hanya diperlukan sekali saja, dan tidak mengutamakan kepentingan untuk alih (transfer) teknologi selanjutnya.
  2. Jenis pekerjaan spesifik yang hanya bisa dilaksanakan oleh penyedia jasa tertentu baik dari segi perencanaan ataupun konstruksinya. Dalam sistem kontrak Terima Jadi. Pemberi Tugas tidak diharuskan menyiapkan dokumen perencanaan berupa gambar detail dan spesifikasi teknis tetapi dapat cukup membuat suatu standar requirement/TOR (Term of Reference)

Kontrak ini dapat dilakukan pada Kontrak Lumsum maupun Kontrak Harga Satuan.

  1. Kontrak Biaya Plus Imbalan (Cost plus fee)

Kontrak yang digunakan untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya dalam rangka penanganan keadaan darurat dengan nilai Kontrak merupakan perhitungan dari biaya aktual ditambah imbalan dengan persentase tetap atas biaya aktual atau imbalan dengan jumlah tetap.

Sistem Kontrak ini pada umumnya digunakan pada Kontrak Jasa Konsultasi bidang konstruksi atau pekerjaan pemborongan, dimana konsultan yang bersangkutan menerima imbalan jasa berdasarkan presentasi tertentu dari nilai fisik konstruksi/pemborongan tersebut. Namun demikian tidak semua pekerjaan jasa Konsultansi menggunakan sistem kontrak ini tetapi dapat pula menggunakan sistem Billing Rate.[6]

Jenis Permasalahan Kontrak Konstruksi

Pasal 46 UU No. 2/2017 menyatakan pengaturan hubungan kerja antara Pengguna Jasa dan Penyedia Jasa harus dituangkan dalam Kontrak Kerja Konstruksi dan bentuk Kontrak Kerja Konstruksi dapat mengikuti perkembangan kebutuhan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Permasalahan yang sering terjadi di lapangan dalam hal pelaksanaan kontrak kerja konstruksi antara lain: isi dokumen kontrak yang multi tafsir; kurangnya pemahaman baik oleh pengguna maupun penyedia jasa; kurang tepat dalam pemilihan jenis kontrak; dan desain yang tidak sesuai dengan kondisi lapangan.[7]

Faktor penyebab permasalahan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga aspek yang saling terkait satu dengan yang lainnya:[8]

  1. Aspek Teknis
  2. Faktor perubahan lingkup pekerjaan;
  3. Faktor perbedaan kondisi lapangan;
  4. Faktor kekurangan material dan/atau peralatan yang sesuai dengan spesifikasi teknis;
  5. Faktor keterbatasan personil;
  6. Faktor kurang jelas atau kurang lengkapnya gambar rencana dan/atau spesifikasi teknis.
  7. Aspek Waktu
  8. Faktor penundaan waktu pelaksanaan pekerjaan;
  9. Faktor percepatan waktu penyelesaian pekerjaan;
  10. Faktor keterlambatan waktu penyelesaian pekerjaan.
  11. Aspek Biaya
  12. Faktor penghematan anggaran;
  13. Faktor keterlambatan pembayaran.

Dispute Settlement Kontrak Konstruksi

Dalam suatu kontrak kerja konstruksi, selalu ada kemungkinan timbulnya sengketa. Salah satu klausul yang wajib dibuat adalah tentang penyelesaian perselisihan/sengketa sebagaimana Pasal 47 huruf p UU No. 2/2017.

Dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi kemungkinan timbulnya perselisihan/persengketaan (disputes) bisa sangat besar. Kondisi ideal bagi pelaksana konstruksi adalah apabila seluruh lingkup kerja dalam kontrak kerja konstruksi dengan pengguna jasa terinci secara jelas yang tercakup dalam kontrak. Pelaksana konstruksi biasanya berasumsi bahwa seluruh informasi yang ada dalam kontrak sesuai dengan kondisi aktual, namun kondisi pekerjaan selama masa pelaksanaan sering kali tidak sesuai dengan asumsi tersebut.[9]

Dispute settlement atau penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 88 UU No. 2/2017, penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui:

Mediasi[10]

Mediasi adalah cara musyawarah untuk mufakat, yaitu masing-masing pihak menunjuk juru runding yang sering disebut negosiator. Hasil kesepakatan juru runding dituangkan secara tertulis. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui seorang penengah atau yang biasa disebut sebagai mediator, yang ditunjuk oleh para pihak. Mediator tidak memutuskan sengketa tapi membimbing para pihak dalam berunding mencari suatu penyelesaian.

Konsiliasi[11]

Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa dengan cara mempertemukan keinginan para pihak dengan menyerahkannya kepada suatu komisi/pihak ketiga yang ditunjuk atas kesepakatan dari pihak yang ditunjuk atas kesepakatan para pihak yang bertindak sebagai konsiliator. Dalam cara ini konsiliator tidak harus melakukan perundingan masing-masing dengan salah satu pihak secara bergantian. Berbeda dengan cara mediasi, di sini konsiliator dapat memaksakan pengusulan/resolusi yang diambil. Jadi pada saat berakhirnya tugas konsiliator, dia akan membuat perjanjian tertulis yang ditandatangani para pihak atau dapat pula konsiliator membuat suatu laporan yang memuat hal-hal mengenai kegagalan atau suatu pernyataan bahwa proses konsiliasi terhenti.

Dewan Sengketa

Selain penyelesaian sengketa melalui mediasi dan konsiliasi para pihak juga dapat membentuk Dewan Sengketa yang pemilihan keanggotaannya dilaksanakan dengan prinsip profesionalitas dan tidak menjadi bagian dari salah satu pihak. Dalam Pasal 1 angka 30 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2020 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi Dewan Sengketa adalah perorangan atau tim yang dibentuk berdasarkan kesepakatan para pihak, sejak awal pelaksanaan kontrak kerja konstruksi untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa.

Arbitrase[12]

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Apabila pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase sudah tercantum dalam perjanjian maka menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase (UU No. 30/1999) Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Pengertian mengenai Lembaga Arbitrase tercantum pada Pasal 1 angka 8 UU Arbitrase yang menyatakan “Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.

Pengadilan

Penyelesaian sengketa juga dapat diselesaikan melalui pengadilan. Oleh karena itu, apabila pilihan penyelesaian sengketa melalui pengadilan maka prosedur dan prosesnya mengikuti ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAPerdata). Menurut Djamanat Samosir hukum acara ini menganut beberapa asas sebagai dari ketentuannya. Asas yang penting dalam hukum acara perdata adalah asas hakim bersifat menunggu, asas hakim bersifat pasif, asas persidangan terbuka untuk umum, asas mendengar kedua belah pihak, asas ketidakharusan mewakilkan, asas putusan harus disertai alasan, asas beracara dikenakan biaya, asas pemeriksaan dalam dua instansi, asas peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, asas Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.[13]

Risiko dan Mitigasi Terminasi Kontrak Konstruksi

Menurut Asiyanto[14] beberapa peristiwa dalam proyek konstruksi yang dapat menyebabkan terjadinya risiko, misalnya pembengkakan biaya, diantaranya adalah:

  1. Perbedaan kondisi aktual lapangan dengan yang tercantum dalam kontrak;
  2. Pengadaan pekerjaan tambah kurang (change order);
  3. Lingkup kerja yang tidak lengkap, tidak sesuai dengan gambar dan spesifikasi, misalnya batas-batas lingkup kerja yang kurang jelas dalam hal material;
  4. Sifat proyek dalam lingkup kerja yang masih baru atau belum pernah dilaksanakan sebelumnya, dengan tingkat kesulitan konstruksi tertentu;
  5. Perubahan, penundaan jadwal pekerjaan atas permintaan atau interupsi penyedia jasa (owner);
  6. Kelemahan dalam pengendalian penerimaan pembayaran, misalnya pembayaran pekerjaan yang tidak tepat pada waktunya;
  7. Kenaikan harga-harga di pasar;
  8. Pekerjaan ulang (rework) yang disebabkan oleh perubahan desain;
  9. Kelebihan jumlah material yang didatangkan (waste) lebih besar dari perkiraan;
  10. Perubahan ruang lingkup pekerjaan.

Dengan demikian untuk memitigasi terminasi kontrak konstruksi diperlukan pembagian risiko yang seimbang diantara pihak-pihak yang terlibat.

Beberapa hal yang paling penting dalam pembagian risiko menurut Singh & Goel (2006) dari hasil kajiannya terhadap sejumlah praktek di Inggris dan sebagian besar Austria serta negara-negara Eropa, yaitu:[15]

  1. Umumnya atribut penerimaan risiko kepada pihak-pihak yang terlibat paling baik adalah kemampuan mengendalikan insiden yang terjadi (kontraktor) atau, untuk risiko kecil, membuat ketentuan yang wajar untuk biayanya;
  2. Memberikan dorongan untuk menggunakan metode konstruksi yang menunjukkan prospek yang paling baik, dengan pengetahuan yang dapat diakses setiap saat, dan ekonomis;
  3. Memberikan fleksibilitas terhadap perubahan metode konstruksi mengikuti kisaran variasi pada kondisi tanah dan kondisi lain yang dapat diperkirakan oleh seorang ahli rekasaya (engineer); dan
  4. Pengaturan yang sederhana dan seimbang untuk penyelesaian sengketa.

Kemudian pembagian risiko yang baik dan dituangkan dalam klausul Kontrak diperlukan dalam hal:[16]

  1. Meminimalisasi sesuatu yang tidak pasti; atau
  2. Menyediakan mekanisme untuk tindakan tertentu ketika terdapat ketidakpastian sebagai solusi.
Semoga Bermanfaat.
Muhammad Sajad S.H
Asisten Lawyer Ercolaw
Referensi:

[1] Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, “Hukum Kontrak Konstruksi Dapat Dioptimalkan” bpsdm.pu.go.id, 2016, diakses di https://bpsdm.pu.go.id/berita?id=429, pada tanggal 16 Juni 2022

[2] Sugiarto Raharjo Japar, “Asas Kepastian Hukum Dalam Kontrak Konstruksi Indonesia” kliklegal.com, 2020. Diakses di https://kliklegal.com/asas-kepastian-hukum-dalam-kontrak-konstruksi-indonesia/ pada tanggal 16 Juni 2022.

[3] Susy K. Ariestianty, S.T, dkk. Bentuk Kontrak dan Analisa Risiko Kontrak dalam Pekerjaan Penggalian Terowongan JalanBandung, PUPR, 2011. Hlm. 22 – 23

[4] Ibid. hlm. 23

[5] Ibid. hlm. 26

[6] Ibid. hlm. 27

[7] Sekretariat Direktorat Jendral PUPR, “Kurangi Resiko Sengketa Konstruksi, Kontraktor harus Pahami Hukum Kontrak Konstruksi” Kementrian PUPR, 2018. Diakses di https://binakonstruksi.pu.go.id/informasi-terkini/sekretariat-direktorat-jenderal/kurangi-resiko-sengketa-konstruksi-kontraktor-harus-pahami-hukum-kontrak-konstruksi/#:~:text=Permasalahan%20yang%20terjadi%20di%20lapangan,yang%20tidak%20sesuai%20kondisi%20lapangan. Pada tanggal 16 Juni 2022.

[8] Direktorat Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, “Permasalahan Kontrak Konstruksi”, hlm. 3 diakses di https://sibima.pu.go.id/pluginfile.php/31199/mod_resource/content/1/2016-09-Permasalahan%20Kontrak%20Konstruksi.pdf pada tanggal 16 Juni 2022.

[9] Suntana S. Djatnika, “Tata Cara Berkontrak Konstruksi dan Penyelesaian Sengketa”, 2018. Hlm. 10 Diakses di https://sibima.pu.go.id/pluginfile.php/53250/mod_resource/content/1/10072018-02-ARTIKEL%20PENYELESAIAN%20SENGKETA%20KONSTRUKSI-BANJARMASIN.pdf pada tanggal 15 Juni 2022.

[10] Ibid. hlm. 12

[11] Ibid

[12] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase

[13] Djamanat Samosir, Hukum Acara Perdata, Tahap-Tahap Penyelesaian Perkara Perdata, (Jakarta: Nuansa Aulia, 2011), 12.

[14] Susy K. Ariestianty, S.T, dkk, supranote 1, hlm. 10

[15] Ibid. hlm. 28

[16] Ibid. hlm. 29


Bagikan :