Kesulitan Material Bukan Overmacht

Kesulitan Material Proyek Bukan Overmacht atau Force Majeure

Bagikan :

Salah Perencanaan Berakhir Sengketa

Dalam proyek konstruksi, keterlambatan sering kali menjadi pemicu utama perselisihan antara kontraktor dan pemilik proyek. Salah satu alasan yang sering diajukan kontraktor untuk membela diri adalah klaim force majeure atau overmacht, yang pada dasarnya berarti adanya kondisi di luar kendali yang menyebabkan kontraktor tidak dapat memenuhi kewajibannya. Meski demikian, apakah semua bentuk kendala dalam pelaksanaan proyek, termasuk dalam hal ini kesulitan mendapatkan material, dapat dikategorikan sebagai overmacht?

Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2017 memberikan penjelasan penting dalam menafsirkan overmacht dalam konteks hukum konstruksi. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa kesulitan mendapatkan material bukan keadaan memaksa yang membebaskan kontraktor dari tanggung jawab. Sebaliknya, hal tersebut dianggap sebagai bagian dari tanggung jawab kontraktor dalam merencanakan dan mengelola proyek secara matang.

Kesulitan Material Bukan Overmacht

Konsep overmacht meski tidak diatur secara tegas dalam KUH Perdata, namun pengertian terhadap keadaan tersebut merujuk pada ketentuan hukum yang diatur dalam Pasal 1244 dan 1245 KUH Perdata. Berdasarkan ketentuan tersebut, seorang debitur (dalam hal ini kontraktor) hanya dapat dibebaskan dari tanggung jawab apabila ia dapat membuktikan bahwa kegagalannya memenuhi kewajiban disebabkan oleh suatu keadaan yang:

  1. Tidak terduga
  2. Di luar kendali kontraktor
  3. Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya

Kesulitan memperoleh material bukanlah sesuatu yang tidak terduga. Dalam perencanaan proyek konstruksi, ketersediaan material adalah faktor yang harus diperhitungkan sejak awal. Jika terdapat potensi kendala dalam mendapatkan bahan baku, kontraktor wajib mencari alternatif atau mengantisipasi dengan melakukan pengadaan lebih awal. Oleh karena itu, apabila proyek terhambat karena keterlambatan pengadaan material, hal tersebut lebih tepat dikategorikan sebagai kegagalan manajemen proyek, bukan sebagai force majeure.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2017 menegaskan bahwa permasalahan pengadaan material harusnya sudah direncanakan sejak awal oleh kontraktor. Mahkamah Agung berpendapat bahwa kesulitan mendapatkan material bukanlah kondisi luar biasa yang tidak dapat diantisipasi, melainkan merupakan tanggung jawab kontraktor dalam memastikan kelancaran proyek. Dengan demikian, alasan ini tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk menghindari kewajiban kontraktual.

Implikasi dalam Kontrak Konstruksi

Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2017 tersebut, kontraktor mengajukan dalih bahwa keterlambatan proyek terjadi akibat sulitnya memperoleh material yang dibutuhkan. Namun, Mahkamah Agung menolak alasan tersebut dengan mempertimbangkan hal-hal berikut:

  • Bahwa alasan Tergugat memutus kontrak dapat dibenarkan:
  • Bahwa alasan terlambat menyerahkan gambar kepada Penggugat, seharusnya sejak dari dulu Penggugat sudah memasukkan dalam perencanaan dan dalam perjanjian;
  • Bahwa salah memotong uang muka, kesalahan tersebut tidak berpengaruh terhadap penyelesaian mengingat jumlah tidak terlalu banyak;
  • Bahwa sulit memperoleh material, seharusnya Penggugat sudah merencanakan lebih dulu dan sudah mempersiapkan sehingga bukan merupakan bencana nasional, maka tanggung jawab tetap pada Penggugat;
  • Bahwa Tergugat  menolak addendum, Bahwa untuk addendum harus dipenuhi syarat tertentu mengingat anggaran adalah dari APBN;
  • Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut maka Penggugat tidak dapat menyelesaikan bangunan bukan karena overmacht sehingga tetap tanggung jawab Penggugat, kerugian tidak dapat dibebankan kepada Para Tergugat selaku penerima/pengguna hasil pekerjaan;

Implikasi dari putusan ini sangat jelas: kontraktor harus lebih berhati-hati dalam merencanakan dan mengelola proyek. Kegagalan dalam mengantisipasi kendala seperti keterlambatan material dapat berujung pada tanggung jawab hukum dan kewajiban membayar ganti rugi.

Overmacht Absolut dan Relatif

Secara hukum, overmacht terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

  1. Overmacht absolut, di mana pemenuhan kewajiban benar-benar tidak mungkin dilakukan oleh siapa pun. Contohnya adalah bencana alam seperti gempa bumi yang menghancurkan lokasi proyek secara total.
  2. Overmacht relatif, di mana pemenuhan kewajiban masih mungkin dilakukan, tetapi dengan pengorbanan yang sangat besar. Misalnya, seorang kontraktor menghadapi kenaikan harga material yang drastis tetapi masih memungkinkan untuk mendapatkan material dengan biaya tambahan.

Dari perspektif ini, sulit memperoleh material lebih tepat dikategorikan sebagai kendala bisnis biasa dan bukan overmacht. Jika penyediaan material masih bisa dilakukan dengan usaha ekstra atau melalui alternatif lain, maka alasan overmacht tidak dapat digunakan sebagai dasar pembelaan hukum.

Mitigasi oleh Kontraktor

Untuk menghindari sengketa hukum terkait keterlambatan proyek, kontraktor perlu mengambil langkah-langkah berikut:

  • Menyusun kontrak yang jelas dengan klausul force majeure yang spesifik dan tidak memberikan celah interpretasi yang merugikan.
  • Melakukan perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan kemungkinan kendala pengadaan material serta alternatif solusinya.
  • Menjaga komunikasi dengan pemilik proyek untuk menghindari kesalahpahaman dan mengajukan perubahan kontrak secara tertulis apabila terjadi kendala yang signifikan.
  • Menggunakan strategi mitigasi risiko, seperti menjalin kerja sama dengan beberapa pemasok agar tidak tergantung pada satu sumber material.

Kesimpulan

Putusan Mahkamah Agung Nomor 585 K/Pdt/2017 memberikan sinyal kuat bahwa kesulitan mendapatkan material tidak dapat dianggap sebagai overmacht. Hal ini semakin memperjelas bahwa dalam hukum konstruksi, perencanaan proyek yang matang adalah kewajiban mutlak bagi kontraktor.

Dengan memahami prinsip ini, kontraktor dapat lebih waspada dalam mengelola proyek, menghindari kesalahan dalam perencanaan, dan mencegah potensi gugatan yang dapat merugikan secara hukum maupun finansial. Jika Anda sedang menghadapi sengketa konstruksi atau ingin memastikan kontrak Anda telah disusun dengan baik, konsultasikan dengan tim hukum profesional yang berpengalaman dalam hukum konstruksi untuk melindungi hak dan kepentingan bisnis Anda.

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :