Dalam bisnis konstruksi, sengketa antara pemilik proyek (owner) dengan kontraktor adalah hal yang umum terjadi. Salah satu langkah ekstrem yang bisa diambil oleh owner ketika menghadapi kontraktor yang wanprestasi adalah Forfeiture, yaitu pengambilalihan pekerjaan yang belum selesai dan menyerahkannya kepada pihak ketiga dengan membebankan seluruh biaya kepada kontraktor, hal tersebut dapat dikakukan jika dalam kontrak telah mengatur secara tegas mengenai opsi Forfeiture.
Sekilas, Forfeiture kelihatan seperti solusi dalam merespons kontraktor yang wanprestasi, masalahnya, banyak owner yang gegabah dalam menindaklanjuti forfeiture dengan langsung menggugat kontraktor tanpa menyusun strategi hukum yang tepat. Akibatnya malah kontra produktif, Gugatan owner justru tidak diterima pengadilan, biaya tambahan tidak bisa diklaim, dan owner mengalami kerugian berkali-kali.
Peristiwa seperti yang dijelaskan di atas, terjadi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 386 K/Pdt/2013, di mana gugatan owner terhadap kontraktor tidak diterima hanya karena kelalaian menentukan dan menyusun gugatan terhadap kontraktor. Apa yang perlu diperhatikan agar owner bisa mereponse forfeiture dengan benar dan memastikan gugatan terhadap kontraktor tidak blunder? simak penjelasan kami berikut ini:
Sengketa Konstruksi Berujung Gugatan Gagal
Kasus ini bermula ketika PT Mandiri Karya Cipta Indah (owner) mengadakan kontrak dengan PT Nindya Karya (Persero) (kontraktor) untuk pekerjaan struktur dan general finishing proyek Aston Mangga Dua, Jakarta. Sesuai kontrak, pekerjaan seharusnya selesai dalam 365 hari, tetapi berulang kali mengalami keterlambatan. Bahkan setelah beberapa kali perpanjangan waktu, target penyelesaian tetap tidak terpenuhi. Owner akhirnya mengambil alih pekerjaan (forfeiture) dan menyerahkannya kepada pihak ketiga, lalu menggugat kontraktor untuk menuntut biaya tambahan serta kerugian yang ditimbulkan akibat keterlambatan. Namun, Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 386 K/Pdt/2013 justru tidak menerima gugatan owner dengan alasan:
- Owner tidak dapat membuktikan secara jelas nilai pekerjaan yang telah dikerjakan oleh kontraktor dan pihak ketiga.
- Owner tidak mencantumkan secara spesifik siapa pihak ketiga yang mengambil alih pekerjaan tersebut.
- Gugatan dianggap kabur karena tidak merinci perhitungan biaya yang dituntut.
Hasilnya bisa ditebak, owner gagal mendapatkan ganti rugi. Ini adalah kesalahan klasik dalam mereponse tindakan forfeiture, dengan terburu – buru mengajukan gugatan tanpa strategi hukum yang kuat dan perhitungan kerugian yang terstruktur dengan baik.
Risiko Blunder dalam Gugatan Forfeiture
Forfeiture memang merupakan hak owner dalam banyak kontrak konstruksi, terutama jika merujuk pada FIDIC Conditions of Contract, yang mengatur bahwa owner dapat mengambil alih pekerjaan yang belum selesai jika kontraktor wanprestasi. Namun, eksekusi yang ceroboh bisa berujung pada:
- Gugatan Ditolak karena Kurangnya Bukti
- Jika owner tidak bisa membuktikan secara rinci pekerjaan yang telah dilakukan kontraktor sebelum forfeiture, serta nilai pekerjaan yang harus dibayar pihak ketiga, pengadilan bisa menganggap gugatan tidak memiliki dasar yang jelas.
- Owner Justru Harus Menanggung Biaya Sendiri
- Ketika gugatan ditolak, biaya yang seharusnya ditanggung kontraktor malah dibebankan kembali kepada owner. Artinya, owner bisa merugi dua kali: pertama karena keterlambatan proyek, kedua karena kehilangan hak klaim.
- Denda Keterlambatan (Liquidated Damages) Bisa Diperdebatkan
- Berdasarkan FIDIC Clause 8.7 (MDB Harmonised Edition 2006), kontraktor memang bisa dikenakan denda keterlambatan, tetapi jika owner melakukan forfeiture tanpa prosedur yang benar, kontraktor bisa membantah bahwa keterlambatan tersebut bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka.
- Forfeiture Tidak Sesuai dengan Kontrak, Berpotensi Klaim dari Kontraktor
- Jika forfeiture dilakukan tanpa mengacu pada prosedur yang telah ditentukan dalam kontrak, owner justru bisa dianggap melakukan wanprestasi terhadap kontraktor, membuka peluang bagi kontraktor untuk menggugat balik.
Lalu, bagaimana seharusnya owner mereponse forfeiture dan mengajukan gugatan dengan benar?
Strategi Meresponse Forfeiture dan Liquidated Damages
Untuk memastikan forfeiture tidak blunder, owner harus melakukan langkah-langkah berikut sebelum mengajukan gugatan:
- Pastikan Kontrak Memuat Klausul Forfeiture yang Jelas
- Dalam kontrak konstruksi berbasis FIDIC, forfeiture harus dilakukan berdasarkan peringatan resmi kepada kontraktor yang gagal menyelesaikan pekerjaan dalam jangka waktu tertentu. Jika tidak ada peringatan resmi, forfeiture bisa dianggap tidak sah.
- Dokumentasikan Pekerjaan yang Telah dan Belum Diselesaikan
- Sebelum mengambil alih pekerjaan, owner harus membuat laporan detail tentang progres proyek, termasuk volume pekerjaan yang telah diselesaikan kontraktor dan yang belum.
- Rinci Perhitungan Biaya dengan Jelas dalam Gugatan
- Jangan hanya menuntut ganti rugi tanpa perincian yang jelas. Owner harus menyertakan:
- Biaya yang sudah dibayar kepada kontraktor
- Biaya yang harus dibayarkan kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan pekerjaan
- Kerugian akibat keterlambatan proyek (liquidated damages)
- Jangan hanya menuntut ganti rugi tanpa perincian yang jelas. Owner harus menyertakan:
- Sertakan Bukti Pihak Ketiga yang Melanjutkan Pekerjaan
- Dalam kasus PT Mandiri Karya Cipta Indah, gugatan gagal karena owner tidak mencantumkan siapa pihak ketiga yang menyelesaikan pekerjaan. Padahal, ini adalah elemen krusial untuk membuktikan bahwa forfeiture dilakukan dengan benar.
- Gunakan Ahli Hukum yang Berpengalaman dalam Sengketa Konstruksi
- Mengingat gugatan forfeiture dan liquidated damages sangat teknis, melibatkan tim hukum yang menguasai kontrak konstruksi berbasis FIDIC dan hukum perdata Indonesia adalah langkah terbaik.
Pastikan Strategi Hukum Yang Tepat Sebelum Action
Jangan sampai gugatan forfeiture malah merugikan perusahaan Anda! Kesalahan kecil dalam penyusunan gugatan bisa berakibat fatal dan membuat Anda kehilangan hak klaim. Di Ercolaw, kami memiliki pengalaman menangani sengketa kontrak konstruksi, termasuk permasalahan forfeiture, liquidated damages, dan wanprestasi kontraktor. Kami memahami bagaimana menyusun strategi hukum yang kuat agar klaim Anda dapat diterima pengadilan dan memberikan hasil yang optimal.
🔹 Butuh strategi gugatan yang efektif? Konsultasikan kasus Anda dengan tim kami di Ercolaw.
Baca juga: Kontrak Lumpsum: Risiko yang Harus Dipahami Kontraktor
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw