Permasalahan krusial dalam bisnis konstruksi seringkali berakar pada interpretasi yang keliru terhadap penyelesaian pekerjaan. Tidak sedikit kontraktor yang mengerjakan turn key project menganggap ketika pekerjaan fisik mencapai 100%, maka kewajiban kontraktual telah selesai. Pandangan tersebut nyatanya tidak dibenarkan saat berhadapan dengan realitas hukum. Dalam kasus yang di ulas pada artikel ini, kontraktor mengklaim telah menyelesaikan pekerjaan fisik mencapai 100%. Namun Berita Acara Serah Terima Kedua (BAST II)/Final Hand Over (FHO) dan pembayaran tahap akhir justru ditahan oleh pemilik proyek (owner).
Bagi kontraktor, permasalahan tersebut adalah mimpi buruk yang mengganggu likuiditas keuangan. Namun bagi pemilik proyek, tindakan menahan BAST II merupakan pelaksanaan hak kontraktual untuk memastikan seluruh detail pekerjaan diselesaikan sesuai kontrak. Terkait hal itu, bagaimana Mahkamah Agung menarik garis batas antara wanprestasi dan pelaksanaan hak?, simak lebih lanjut dalam penjelasan singkat di bawah ini.
“Penyelesaian” dalam Kontrak Konstruksi
Masalah fundamental yang kerap dihadapi pengusaha, baik sebagai kontraktor maupun pemilik proyek, terletak pada definisi “selesai”. Apakah sebuah pekerjaan konstruksi dapat dianggap selesai saat fisik telah rampung?, atau saat seluruh kewajiban kontraktual, termasuk pengujian, perizinan, dan penyerahan dokumen (bila ada) telah terpenuhi semuanya?
Terkadang demi menjaga arus kas dan likuiditas keuangan, Kontraktor cenderung mendefinisikan “selesai” berdasarkan progres fisik. Sementara itu, pemilik proyek memiliki kepentingan yang lebih besar terhadap hasil dan fungsi, dengan memastikan aset yang dibangun tidak hanya berdiri, tetapi juga berfungsi sempurna, aman, dan bebas dari potensi kegagalan di kemudian hari. Ketegangan inilah yang seringkali memuncak pada momen krusial saat penerbitan BAST II, sebuah dokumen yang menjadi penanda berakhirnya tanggung jawab kontraktor secara final dan pelepasan retensi.
Putusan Mahkamah Agung No. 1640 K/Pdt/2017
Dalam putusan mahkamah agung nomor: 1640 K/Pdt/2017 yang mengadili sengketa antara PT. PLN (Persero) sebagai pemilik proyek dan PT. Dwipa Konektra sebagai kontraktor pelaksana pekerjaan pemasangan kabel bawah tanah, telah memberikan garis batas yang jelas antara wanprestasi dan pelaksanaan hak. Dalam perkara tersebut, Kontraktor menggugat PLN atas tuduhan wanprestasi karena tidak menerbitkan BAST II, yang berakibat pada tertahannya pembayaran. Namun Mahkamah Agung menolak gugatan Kontraktor dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat: Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum;
Bahwa terbukti pengetesan transmission line 150 Kv belum juga dilakukan oleh Penggugat;
Bahwa dengan demikian terbukti Penggugat belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana kontrak atas perjanjian Nomor 206.Pj/131/PIKITRING SULMAPA/2008 tanggal 8 April 2008, sehingga Pekerjaan pemasangan under ground cable dan accessories T/L 150 belum dapat dinyatakan selesai dengan baik;
Bahwa tindakan Tergugat tidak menerbitkan Serah Terima II bukan tindakan wanprestasi;”
Putusan tersebut menegaskan bahwa penyelesaian pekerjaan tidak diukur semata-mata dari capaian progres fisik, melainkan dari pemenuhan seluruh kewajiban yang tertuang dalam kontrak. Dalam kasus tersebut, dengan belum dilaksanakannya satu kewajiban krusial yaitu pengetesan, sudah cukup menjadi dasar bagi pemilik proyek untuk menyatakan pekerjaan “belum selesai dengan baik”. Konsekuensinya, tindakan menahan BAST II tidak dapat dikualifikasi sebagai wanprestasi, melainkan pelaksanaan hak yang sah oleh pemilik proyek berdasarkan kontrak.
Mengurai Risiko Melalui Kerangka Hukum
Dengan menganalisis singkat Putusan 1640 K/Pdt/2017 di atas dan menyandingkan dengan kerangka hukum yang berlaku, dapat ditarik suatu insight yang relevan dipertimbangkan dalam praktik bisnis dan konstruksi. Penegasan oleh Mahkamah Agung pada kasus tersebut relevan dengan beberapa asas dan peraturan, antara lain:
- Asas Pacta Sunt Servanda (Pasal 1338 KUH Perdata): Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jika kontrak mensyaratkan “pengetesan”, maka kewajiban tersebut setara dengan kekuatan hukum undang-undang bagi kontraktor dan PLN. Mengabaikan ketentuan tersebut berarti melanggar “undang-undang” yang mereka “ciptakan sendiri”.
- Asas Exceptio Non Adimpleti Contractus: Ini adalah asas hukum yang membenarkan salah satu pihak dalam perjanjian timbal balik untuk menangguhkan pemenuhan kewajibannya, jika pihak lain tersebut tidak memenuhi kewajibannya. Tindakan PLN menahan BAST II adalah manifestasi dari asas tersebut. PLN menangguhkan kewajibannya (menerbitkan BAST II dan membayar sisa) karena kontraktor belum memenuhi prestasinya (melakukan pengetesan).
- Undang-Undang Jasa Konstruksi (UU No. 2/2017 jo. UU Cipta Kerja): UU ini menekankan tanggung jawab penyedia jasa terhadap mutu pekerjaan dan pencegahan kegagalan bangunan. Pengetesan fungsional seperti pada kasus PLN adalah bagian esensial dari penjaminan mutu dan keamanan, bukan sekadar formalitas administratif.
Sebagai mitigasi potensi sengketa dan risiko serupa, perusahaan dapat mengadopsi strategi dan mitigasi berikut sebagai bagian dari manajemen risiko yang dapat diimplementasikan, antara lain:
Risiko | Perspektif Kontraktor | Perspektif Pemilik Proyek | Strategi Mitigasi & Klausul Penting |
---|---|---|---|
Ambiguitas Definisi “Penyelesaian Pekerjaan” | Pembayaran tertunda meski pekerjaan fisik sudah 100%. | Menerima aset yang belum teruji dan berpotensi cacat fungsi. | Klausul Lingkup Pekerjaan & Serah Terima: Definisikan “Penyelesaian Pekerjaan” secara eksplisit, antara lain mencakup: (a) penyelesaian fisik, (b) keberhasilan seluruh tes (commissioning), (c) penyerahan dokumen as-built drawing, dan (d) diperolehnya semua sertifikat/perizinan yang diperlukan. |
Penundaan Penerbitan BAST II | Arus kas terganggu, potensi klaim dari sub-kontraktor, dan biaya pemeliharaan yang terus berjalan. | Risiko bahwa kontraktor akan meninggalkan proyek sebelum semua kewajiban diselesaikan. | Klausul Prosedur Serah Terima: Tetapkan jadwal dan prosedur yang jelas untuk inspeksi bersama, daftar perbaikan (defect list), dan jangka waktu perbaikan. Kaitkan setiap tahapan pembayaran dengan penyelesaian item-item tersebut. |
Kewajiban Kontraktual yang Terlewat (Contoh: Tes, Dokumen) | Dianggap wanprestasi meski telah bekerja keras menyelesaikan fisik/bangunan proyek. | Terpaksa menanggung biaya untuk menyelesaikan kewajiban yang ditinggalkan kontraktor. | Completion Checklist: Buat lampiran kontrak berupa “Daftar Periksa Penyelesaian Proyek” yang harus ditandatangani oleh kedua belah pihak pada setiap tahap. Ini menjadi bukti pemenuhan setiap kewajiban. |
Sengketa Wanprestasi | Menghabiskan biaya dan waktu untuk litigasi/arbitrase yang belum pasti hasilnya. | Reputasi proyek terganggu dan potensi biaya hukum yang signifikan. | Klausul Penyelesaian Sengketa: Tentukan mekanisme penyelesaian sengketa secara berjenjang, mulai dari mediasi oleh ahli (dispute adjudication board) sebelum menempuh jalur arbitrase (sesuai UU No. 30/1999) atau pengadilan. |
Dari Sengketa Menjadi Strategi
Pelajaran dari Putusan MA 1640 K/Pdt/2017 harus menjadi agenda utama dalam setiap rapat perencanaan proyek. Bagaimana menerjemahkannya point penting tersebut menjadi kebijakan korporasi?
- Bagi Kontraktor:
Checklist administratif kontraktual dan pengujian bukan sebuah “kewajiban sekunder”. Jadikan Checklist administratif kontraktual dan pengujian sebagai bagian dari core business yang sama pentingnya dengan pekerjaan utama dalam bisnis konstruksi. Tunjuk seorang Manajer Proyek yang tidak hanya ahli teknis, tetapi juga detail dalam administrasi kontrak. Dokumentasikan setiap pemenuhan kewajiban dan komunikasikan secara proaktif kepada Direksi Pekerjaan. - Bagi Pemilik Proyek:
Kekuatan Owner terletak pada kejelasan kontrak. Investasikan waktu dan sumber daya untuk menyusun kontrak yang jelas dan hindari ambiguitas, terutama pada klausul lingkup pekerjaan dan kriteria serah terima. Jangan ragu untuk menjalankan hak dengan menahan BAST II, jika ada kewajiban yang belum terpenuhi. Tindakan tersebut bukan pelanggaran kontrak, melainkan bagian dari good corporate governance dan manajemen risiko untuk melindungi investasi jangka panjang Anda.
Ubah Risiko Menjadi Keunggulan
Ambiguitas dalam kontrak konstruksi adalah sebuah liabilitas. Sebaliknya, kejelasan adalah aset. Putusan Mahkamah Agung di atas telah memberikan panduan yang tegas bahwa pemenuhan prestasi secara absolut adalah hal yang esensial dan kruisial. Jangan biarkan proyek bernilai miliaran rupiah tersandera oleh klausul yang multitafsir dan ambigu. Segera lindungi nilai investasi dan reputasi bisnis Anda mulai dari kontrak yang kokoh dan strategi hukum yang antisipatif. Tim ahli hukum konstruksi kami di Ercolaw siap membantu Anda dalam menyusun kontrak yang presisi, memberikan pendampingan selama proyek berlangsung, dan merumuskan strategi penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien.
Butuh panduan lebih lanjut atau menghadapi sengketa konstruksi yang rumit? Tim pengacara berpengalaman di Ercolaw siap membantu Anda menavigasi kompleksitas hukum dan memperjuangkan hak-hak Anda. Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi !
Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi hukum secara umum dan bukan merupakan nasihat hukum. Setiap tindakan hukum harus didasarkan pada konsultasi dengan profesional hukum yang kompeten yang telah menganalisis fakta spesifik kasus Anda.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw