Dilema Eksekusi Hak Tanggungan
Dalam praktik pembiayaan usaha hari ini, tidak sedikit pemilik usaha yang mengambil fasilitas kredit untuk mengembangkan bisnisnya. Sebagai jaminan, ia menyerahkan propertinya dan mengikatnya dengan Hak Tanggungan. Namun terkadang karena kondisi ekonomi yang kurang baik ataupun oprasional bisnis yang tidak efisien, usaha tersebut mengalami kesulitan dan gagal membayar cicilan kredit. Tak lama berselang, si pemilik usaha menerima pemberitahuan bahwa propertinya akan dilelang oleh Kreditur. Apakah tindakan tersebut sah secara hukum? Hak-hak apa saja yang dimiliki oleh pemilik usaha selaku debitur pada situasi tersebut?
Skenario di atas menggambarkan ketegangan yang sering terjadi dalam praktik hukum di Indonesia, khususnya terkait dengan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT), Kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan berhak menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum atas kekuasaannya sendiri apabila debitur cidera janji. Kutipan lengkap pasal tersebut sebagai berikut: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut“.
Ketentuan tersebut di satu sisi menawarkan proses yang lebih cepat dan efisien bagi kreditur untuk memulihkan piutangnya tanpa harus melalui proses peradilan yang panjang dan mahal. Hal ini tentu menjadi daya tarik tersendiri bagi bank dan lembaga keuangan lainnya yang sering berhadapan dengan kredit macet.
Namun, di sisi lain, ketiadaan pengawasan yudisial dalam eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT menyimpan potensi risiko bagi debitur. Tanpa keterlibatan pengadilan, debitur mungkin merasa memiliki keterbatasan dalam membela diri, jika proses lelang dianggap tidak adil atau terdapat kesalahan dalam penilaian objek Hak Tanggungan. Meskipun Pasal 6 UUHT terlihat sederhana, penerapannya dalam praktik seringkali menimbulkan kompleksitas yang berujung pada sengketa hukum dan ketidakpastian bagi kedua belah pihak.Inti permasalahan terletak pada upaya menyeimbangkan antara efisiensi yang diinginkan oleh kreditur dengan perlindungan yang dibutuhkan oleh debitur dalam sistem yang memungkinkan eksekusi atas kekuasaan sendiri. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai kecukupan mekanisme pengamanan dan interpretasi dari istilah “cidera janji” atau wanprestasi. Potensi terjadinya sengketa menggarisbawahi pentingnya kejelasan dan kepatuhan terhadap persyaratan prosedural yang berlaku terhadap eksekusi objek Hak Tanggungan.
Telaah Putusan MA No. 1122 K/Pdt/2017
Untuk memahami lebih dalam mengenai pelaksanaan Pasal 6 UUHT, kita dapat menelaah salah satu putusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, yakni Putusan Mahkamah Agung No. 1122 K/Pdt/2017 tanggal 11 Juli 2017. Kasus ini bermula ketika seorang debitur dinyatakan wanprestasi atas fasilitas kredit yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Setelah memberikan tiga kali peringatan tertulis kepada debitur yang telah wanprestasi untuk melunasi utangnya, kemudian kreditur menyerahkan proses lelang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
Terhadap tindakan kreditur tersebut, debitur merasa keberatan dengan berbagai alasan dan mengajukan gugatan terhadap kreditur. Meski debitur mengakui adanya perjanjian pinjaman dengan kreditur, namun debitur berdalih tidak pernah mendapat salinan perjanjian, penetapan jumlah utang tidak wajar, tidak merasa memberikan Hak Tanggungan dan sebagainya, serta menyatakan perbuatan kreditur melelang objek Hak Tanggungan batal dan cacat hukum.
Pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, gugatan debitur tersebut ditolak. Kemudian dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung menegaskan bahwa tindakan kreditur yang melelang objek sengketa bukanlah perbuatan melawan hukum, dengan pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Bahwa selanjutnya dalam pokok perkara Penggugat mendalilkan bahwa perbuatan Para Tergugat yang melelang obyek sengketa merupakan perbuatan melawan hukum, batal dan cacat hukum, tidak dapat dibenarkan, karena hubungan hukum antara Penggugat dan Tergugat didasarkan pada pemberian fasilitas kredit, dimana Penggugat selaku debitur dan Tergugat selaku kreditur dengan jaminan obyek sengketa milik Penggugat yang telah diikat dengan hak tanggungan, dan atas kredit tersebut Penggugat ternyata telah berhenti membayar cicilan. Untuk itu Penggugat dinyatakan telah wanprestasi sehingga kredit Penggugat merupakan kredit macet dan untuk itu oleh Tergugat diserahkan kepada Turut Tergugat untuk melakukan lelang atas obyek sengketa atau barang jaminan yang telah diikat dengan hak tanggungan milik Penggugat dan sebelum melakukan lelang, pihak Tergugat telah memperingatkan secara tertulis sebanyak 3 (tiga) kali kepada Penggugat agar melunasi hutang kreditnya, akan tetapi pihak Penggugat tetap tidak menyelesaikan hutang kreditnya kepada Tergugat, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 6 UU Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan pihak Tergugat dengan perantaraan Turut Tergugat telah melakukan lelang eksekusi atas obyek sengketa yang merupakan barang jaminan milik Penggugat yang telah diikat dengan hak tanggungan tersebut, dengan demikian perbuatan hukum Tergugat dengan perantaraan Turut Tergugat melelang obyek sengketa bukan merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga dalil gugatan Penggugat tidak terbukti dan gugatan Penggugat harus ditolak”
Mahkamah Agung dengan demikian menguatkan hak kreditur untuk melaksanakan Hak Tanggungan atas kekuasaannya sendiri tanpa campur tangan pengadilan, dalam kondisi debitur wanprestasi dan telah diperingatkan dengan patut. Putusan tersebut menjadi salah satu preseden yang menegaskan keabsahan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT apabila persyaratan prosedural terpenuhi dan debitur terbukti wanprestasi. Namun, putusan di atas juga secara implisit menyoroti pentingnya prosedur yang benar, yaitu pemberian peringatan, untuk memastikan tindakan kreditur sesuai dengan ketentuan hukum.
Syarat Pokok Eksekusi Hak Tanggungan
Antisipasi dan Mitigasi Risiko
Untuk menghindari permasalahan dan memastikan proses eksekusi Hak Tanggungan berjalan sesuai dengan hukum, baik kreditur maupun debitur perlu mengambil langkah-langkah proaktif.
Bagi Kreditur:
- Lakukan due diligence yang menyeluruh sebelum memberikan kredit, termasuk penilaian kapasitas finansial calon debitur dan jaminan yang ditawarkan.
- Pastikan perjanjian kredit disusun secara jelas dan komprehensif, mendefinisikan secara tegas kondisi wanprestasi dan prosedur eksekusi Hak Tanggungan.
- Patuhi secara ketat semua persyaratan prosedural yang diatur dalam UUHT dan PMK terkait, termasuk pemberitahuan yang benar dan prosedur lelang sesuai PMK No. 122 Tahun 2023.
- Lakukan penilaian jaminan secara adil dan transparan, melibatkan penilai independen terutama untuk properti bernilai tinggi. PMK No. 122 Tahun 2023 secara spesifik mengatur bahwa harga limit (nilai limit) harus didasarkan pada laporan penilaian oleh penilai independen untuk jenis eksekusi Hak Tanggungan tertentu (vide Pasal 56 jo Pasal 57).
- Simpan catatan yang lengkap mengenai semua komunikasi dengan debitur, termasuk surat pemberitahuan wanprestasi dan peringatan.
- Pertimbangkan opsi mediasi atau negosiasi dengan debitur sebelum memulai proses lelang untuk mencapai solusi yang lebih baik.
Bagi Debitur:
- Pahami dengan seksama ketentuan dalam perjanjian kredit, terutama klausul terkait wanprestasi dan Hak Tanggungan.
- Jika menghadapi kesulitan keuangan, segera berkomunikasi dengan kreditur untuk menjajaki opsi restrukturisasi atau penjadwalan ulang pinjaman.
- Segera konsultasikan dengan pengacara jika menerima pemberitahuan wanprestasi atau ancaman lelang untuk memahami hak dan opsi hukum yang dimiliki.
- Jika lelang tetap dilaksanakan, pantau prosesnya dengan cermat untuk memastikan kepatuhan terhadap persyaratan hukum sebagaimana diatur dalam UUHT dan PMK No. 122 Tahun 2023 , termasuk verifikasi pengumuman lelang yang sesuai.
- Jika terdapat alasan untuk meyakini bahwa proses lelang cacat hukum atau melanggar ketentuan, pertimbangkan untuk mengajukan upaya hukum, seperti gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Upaya hukum dapat didasarkan pada kesalahan prosedural atau dugaan PMH, seperti penjualan objek Hak Tanggungan di bawah nilai likuidasi.
Tabel 1: Persyaratan Utama Eksekusi Lelang yang Sah Berdasarkan Pasal 6 UUHT
Pihak | Hak Utama | Kewajiban Utama |
---|---|---|
Kreditur | Mengeksekusi tanpa perintah pengadilan , Menerima pembayaran dari hasil lelang | Memberikan pemberitahuan yang patut, Mengajukan permohonan pelelangan umum |
Debitur | Menerima pemberitahuan yang patut , Mengajukan keberatan atas lelang yang tidak sah , Menerima sisa dana setelah pelunasan utang (jika ada) | Membayar kembali pinjaman, Mengosongkan objek Hak Tanggungan |