Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Proses KPR Properti

Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Proses KPR

Bagikan :

Proses pembelian rumah dengan skema Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sering kali melibatkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) sebagai langkah awal sebelum transaksi final dilakukan melalui Akta Jual Beli (AJB). Tapi dalam praktiknya, banyak pengembang atau pelaku usaha yang memaksakan konsumen untuk menandatangani PPJB sebelum ada kepastian KPR disetujui oleh bank.

Hal ini sering menimbulkan masalah serius, terutama ketika KPR belum pasti disetujui oleh bank, tetapi pelaku usaha tetap mengarahkan pembayaran atau menahan uang muka yang telah dibayarkan konsumen. Konsumen yang tidak memahami proses KPR sering kali terjebak dalam situasi tersebut tanpa jalan keluar. Apakah praktik tersebut sah secara hukum? dan bagiamana pertanggungjawaban pelaku usaha?

Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1142 PK/Pdt/2024 menegaskan bahwa PPJB yang dibuat sebelum kepastian KPR disetujui bank adalah bentuk perbuatan melawan hukum berupa penyalahgunaan keadaan terhadap konsumen yang awam dalam proses KPR, sehingga dapat dibatalkan dan uang muka harus dikembalikan. Ini merupakan preseden penting dalam perlindungan konsumen di sektor properti.

Perlindungan Konsumen dan Kewajiban Pelaku Usaha

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan tegas memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik bisnis yang merugikan. Pasal 4 huruf a UUPK mengatur bahwa konsumen berhak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan/atau jasa.

Sementara itu, Pasal 18 UUPK melarang pelaku usaha membuat perjanjian yang membebankan syarat-syarat yang merugikan konsumen. Dalam konteks penandatanganan PPJB sebelum KPR disetujui, pelaku usaha seharusnya tidak mengarahkan konsumen menandatangani PPJB tanpa kepastian kredit dari bank, karena perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) sebagaimana Putusan No. 1142 PK/Pdt/2024.

Lebih lanjut, dalam doktrin hukum perlindungan konsumen, terdapat pergeseran dari prinsip caveat emptor (konsumen harus berhati-hati) menjadi caveat venditor (penjual bertanggung jawab atas informasi dan transaksi yang dibuat). Hal tersebut juga ditekankan dalam beberapa artikel termasuk artikel penelitian pada ResearchGate, yang pada pokoknya menjelaskan bahwa prinsip caveat venditor menempatkan beban tanggung jawab lebih besar pada pelaku usaha dalam memastikan transparansi dan kepastian hukum bagi konsumen.

BACA:  Mitigasi Risiko Hukum Proyek Konstruksi Terkendala

Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1142 PK/Pdt/2024

Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung menilai bahwa pengembang sebagai pelaku usaha bertanggung jawab atas kelalaiannya dalam memberikan pemahaman kepada konsumen terkait proses KPR sebelum PPJB ditandatangani. Pengadilan menilai bahwa:

  1. Konsumen tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pengembang.
  2. Pelaku usaha menyalahgunakan keadaan dengan memanfaatkan ketidaktahuan konsumen terkait prosedur KPR.
  3. PPJB yang ditandatangani tanpa kepastian KPR disetujui oleh Bank dapat dibatalkan demi hukum, dan uang muka yang telah dibayarkan wajib dikembalikan kepada konsumen.

Putusan ini menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam menetapkan syarat kontrak yang merugikan konsumen, karena berpotensi melanggar hukum perlindungan konsumen dan dapat dibatalkan di pengadilan.

Solusi dan Langkah Hukum bagi Konsumen

Jika konsumen terlanjur menandatangani PPJB sebelum KPR disetujui bank dan mengalami kerugian, beberapa langkah yang bisa diambil adalah:

  1. Mengajukan keberatan kepada pengembang dengan dasar hukum Pasal 18 UUPK, bahwa klausul yang merugikan dapat dinyatakan batal.
  2. Melaporkan ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) untuk mendapatkan mediasi atau rekomendasi penyelesaian sengketa.
  3. Mengajukan gugatan perdata berdasarkan asas perbuatan melawan hukum (PMH) sesuai dengan Pasal 1365 KUH Perdata, untuk menuntut pengembalian uang muka atau pembatalan perjanjian.
  4. Mengacu pada Putusan Mahkamah Agung No. 1142 PK/Pdt/2024 sebagai preseden hukum yang menguatkan posisi konsumen di pengadilan.

Di sisi lain, pengembang atau pelaku usaha juga harus memperbaiki praktik bisnis mereka agar lebih transparan dan sesuai dengan prinsip caveat venditor, dengan:

  • Menyusun PPJB yang transparan dan memastikan konsumen mendapatkan penjelasan yang jelas mengenai proses KPR sebelum menandatangani PPJB.
  • Memastikan PPJB hanya ditandatangani setelah ada kepastian dari Bank mengenai persetujuan KPR.
  • Mematuhi prinsip good faith contract (perjanjian dengan itikad baik) dalam setiap transaksi dengan konsumen.
BACA:  Sengketa Hak Intelektual: Perlindungan Hukum oleh Pengacara Perusahaan

Reformasi Kontrak PPJB dalam Sektor Properti

Praktik PPJB sebelum KPR disetujui Bank telah banyak merugikan konsumen dan harus dihentikan. Putusan Mahkamah Agung No. 1142 PK/Pdt/2024 telah memberikan dasar hukum yang kuat bagi konsumen untuk menuntut haknya. Pelaku usaha harus memahami bahwa transparansi dan kejujuran dalam kontrak adalah kewajiban hukum, bukan sekadar pilihan bisnis. Di era modern dengan prinsip caveat venditor, pelaku usaha harus lebih bertanggung jawab dalam memberikan informasi dan menjamin kepastian hukum bagi konsumen. Bagi konsumen yang mengalami masalah dalam perjanjian PPJB yang merugikan, konsultasi hukum dengan firma hukum yang kompeten seperti Ercolaw dapat menjadi langkah strategis untuk melindungi hak-hak Anda. Jangan biarkan hak Anda sebagai konsumen dirampas oleh ketidaktahuan atau ketidakadilan kontraktual.

Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi hukum lebih lanjut!. Bagikan artikel ini untuk membantu lebih banyak orang memahami tanggung jawab pelaku usaha dalam proses KPR.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw

 


Bagikan :