Dalam bisnis konstruksi, ada satu praktik yang sering kali merugikan kontraktor, yakni penahanan pembayaran retensi tanpa alasan yang sah. Banyak pemilik proyek dengan mudahnya menunda atau bahkan menolak membayar retensi dengan dalih yang mengada – ada, misalnya dengan meminta pemeriksaan tambahan atau pekerjaan baru yang tidak pernah disepakati sebelumnya dalam kontrak. Padahal menurut hukum, retensi bukan hak mutlak pemilik proyek, melainkan bagian dari termin pembayaran atas pekerjaan yang disimpan/ditahan sampai selesainya masa pemeliharaan, dan harus dibayarkan kepada kontraktor setelah pekerjaan melewati masa pemeliharaan.
Sayangnya, meski peristiwa tersebut sudah sering terjadi, namun hingga saat ini masih banyak kontraktor yang terjebak dalam situasi di mana hak mereka untuk menerima pembayaran retensi, justru dipermainkan oleh pemilik proyek yang bertindak tanpa alasan yang sah. Pertanyaannya: Apakah pemilik proyek berhak menahan retensi setelah pekerjaan melewati masa pemeliharaan?
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1955 K/Pdt/2019 telah memberikan jawaban tegas bahwa menahan retensi tanpa dasar yang sah adalah suatu pelanggaran hukum. Tetapi mengapa praktik seperti itu masih sering terjadi? Artikel ini akan menjelaskan penyalahgunaan retensi dalam kontrak konstruksi dan bagaimana hukum melindungi hak kontraktor.
Retensi sebagai Alat Kontrol Pemilik Proyek
Dalam proyek konstruksi, retensi adalah sejumlah uang yang ditahan oleh pemilik proyek sebagai jaminan kualitas pekerjaan selama periode tertentu. Umumnya, besaran retensi mulai dari 5-10% dari nilai kontrak dan akan dibayarkan setelah pekerjaan melewati masa pemeliharaan. Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Pemilik proyek sering menggunakan retensi sebagai alat kontrol untuk menekan kontraktor, misalnya:
- Meminta dilaksanakannya pekerjaan baru yang tidak ada dalam kontrak.
- Menunda pembayaran dengan alasan pemeriksaan tambahan.
- Mengklaim bahwa pekerjaan belum sempurna meski telah diterima.
Kasus yang menjadi preseden terkait pembahasan dalam artikel ini adalah Putusan Mahkamah Agung No. 1955 K/Pdt/2019. Dalam kasus ini, pemilik proyek menolak membayar retensi dengan alasan kontraktor tidak melakukan pemeriksaan HVAC, padahal metode ini tidak pernah diperjanjikan dalam kontrak, dalam kasus tersebut Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan :
“Bahwa Tergugat menghendaki tipe pemeriksaan secara HVAC yang tidak diperjanjikan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan untuk mengerjakan pemasangan under ground cable, maka perbuatan Penggugat bukanlah perbuatan wanprestasi;
Bahwa oleh karena Tergugat telah menerbitkan berita acara penyerahan barang tahap pertama mengandung arti bahwa Tergugat sebagai pengguna barang telah melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan para Penggugat, sehingga Para Penggugat berhak atas uang retensi.“
Putusan tersebut memperjelas bahwa pemilik proyek tidak bisa semena-mena menahan retensi hanya karena merasa perlu melakukan pemeriksaan tambahan di luar kontrak. Retensi hanya boleh ditahan jika ada cacat yang nyata dalam pekerjaan konstruksi, dan kontraktor tidak melaksanakan kewajibannya dalam masa pemeliharaan. Jika pekerjaan sudah diterima dan tidak ada klaim cacat dalam masa pemeliharaan, maka pemilik proyek wajib membayar retensi.
Dampak Penyalahgunaan Retensi terhadap Kontraktor
Penyalahgunaan retensi bukan sekadar masalah keuangan bagi kontraktor, lebih dari itu, ini adalah bentuk eksploitasi dalam industri konstruksi yang menimbulkan berbagai dampak serius:
- Menghambat Arus Kas Kontraktor
Banyak kontraktor bergantung pada pembayaran retensi untuk menjaga stabilitas keuangan mereka. Jika retensi ditahan tanpa alasan yang sah, kontraktor harus mencari sumber dana lain untuk menutup kekurangan kas, yang sering kali berarti berutang atau mengorbankan proyek lain. - Melemahkan Kepercayaan dalam Industri Konstruksi
Jika praktik penahanan retensi yang tidak sah terus dibiarkan, kontraktor akan semakin enggan mengambil proyek dengan skema pembayaran serupa. Akibatnya, hanya kontraktor bermodal besar yang bisa bertahan, sementara yang kecil dan menengah akan semakin terpinggirkan. - Meningkatkan Sengketa Hukum
Seperti yang terlihat dalam Putusan MA No. 1955 K/Pdt/2019, praktik menahan retensi tanpa dasar yang sah bisa berujung pada sengketa hukum. Proses litigasi yang panjang dan biaya hukum yang besar tidak hanya membebani kontraktor, tetapi juga pemilik proyek itu sendiri. - Menurunkan Kualitas Proyek Konstruksi
Jika kontraktor merasa pembayaran mereka tidak aman, mereka akan lebih berhati-hati dalam mengambil proyek dan bahkan mungkin menurunkan kualitas pekerjaan untuk mengurangi risiko kerugian akibat retensi yang tidak dibayar.
Prinsip Hukum dalam Pembayaran Retensi
Secara hukum, pemilik proyek tidak boleh menahan retensi secara sewenang-wenang. Ada beberapa dasar hukum yang melindungi hak kontraktor, antara lain:
- Pasal 1338 KUH Perdata: Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Jika dalam kontrak tidak disebutkan adanya persyaratan tambahan untuk pencairan retensi, maka pemilik proyek tidak boleh menahannya dengan alasan yang dibuat-buat.
- Pasal 1234 KUH Perdata: Jika kontraktor telah memenuhi kewajibannya sesuai kontrak, pemilik proyek wajib membayar tanpa alasan tambahan yang tidak diperjanjikan.
- UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi & PP No. 22 Tahun 2020: Setiap perselisihan dalam kontrak konstruksi harus mengacu pada isi perjanjian yang disepakati. Jika tidak ada perjanjian tentang pekerjaan baru atau pemeriksaan tambahan setelah masa pemeliharaan, pemilik proyek tidak berhak menahan retensi dengan alasan tersebut.
- Putusan MA No. 1955 K/Pdt/2019: Jika pekerjaan telah diterima dan berita acara serah terima telah ditandatangani, pemilik proyek wajib membayar retensi tanpa penundaan.
Jangan Terjebak dalam Permainan Retensi!
Jika Anda adalah kontraktor yang menghadapi permasalahan retensi, Anda tidak boleh diam. Anda memiliki hak hukum untuk menuntut pembayaran sesuai kontrak yang telah disepakati.
- Jangan biarkan pemilik proyek menahan retensi tanpa dasar hukum yang jelas.
- Dokumentasikan setiap proses pekerjaan dan berita acara serah terima.
- Jika retensi tidak dibayar, segera konsultasikan dengan pengacara ahli konstruksi.
Ercolaw siap membantu Anda menyelesaikan sengketa retensi dengan pendekatan hukum yang kuat dan preseden yang mendukung. Dengan pengalaman luas dalam menangani kasus konstruksi, kami memastikan bahwa hak Anda sebagai kontraktor dilindungi dan ditegakkan. Konsultasikan kasus Anda sekarang di Ercolaw dan pastikan Anda mendapatkan pembayaran yang menjadi hak Anda!
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw