Tuntutan Upah Lembur Harus Ada Perintah Tertulis

Tanpa Perintah Lembur, Tuntutan Upah Lembur Tidak Sah

Bagikan :

Banyak pekerja di Indonesia merasa dirugikan ketika pengusaha menolak membayar upah lembur yang telah mereka jalani. Sering kali, alasan yang digunakan adalah kurangnya bukti bahwa lembur tersebut merupakan perintah perusahaan. Di sisi lain, ada pula pengusaha yang tidak menyadari bahwa mempekerjakan karyawan di luar jam kerja normal tanpa prosedur yang benar dapat menimbulkan risiko hukum yang serius.

Apakah seorang pekerja bisa menuntut upah lembur hanya karena merasa telah bekerja lebih lama? Atau sebaliknya, apakah pengusaha berhak menolak membayar lembur jika tidak ada perintah resmi? Artikel ini akan mengupas permasalahan tersebut berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.

Hukum Yang Mengatur Upah Lembur

Undang-Undang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 77 UU 13/2003, mengatur bahwa waktu kerja normal adalah:

  • 7 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk 6 hari kerja
  • 8 jam per hari dan 40 jam per minggu untuk 5 hari kerja

Jika seorang pekerja dipekerjakan lebih dari batas waktu tersebut, maka ia berhak mendapatkan upah lembur, dengan ketentuan yang lebih lanjut dijabarkan dalam PP 35/2021 Pasal 26 dan Pasal 27. Namun, ada satu poin krusial yang sering diabaikan adanya harus adanya perintah lembur dan persetujuan dari pekerja. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28 PP 35/2021, yang menyatakan bahwa lembur hanya sah jika:

  1. Ada perintah dari pengusaha dan persetujuan dari pekerja/buruh
  2. Secara tertulis dan/atau melalui media digital

Tanpa adanya perintah, pekerja yang bekerja melebihi jam kerja normal tidak serta-merta berhak menuntut upah lembur. Inilah celah hukum yang sering menjadi sengketa antara pekerja dan pengusaha.

Tuntutan Upah Lembur Ditolak Jika Tak Ada Perintah Lembur

Kasus mengenai tuntutan upah lembur yang ditolak karena tidak adanya perintah resmi pernah diuji dalam Putusan Mahkamah Agung No. 010 K/Pdt.Sus/2007. Dalam putusan ini, Mahkamah Agung menegaskan bahwa:

  • Jika tidak ada perintah lembur secara tertulis dari pengusaha, maka tuntutan upah lembur tidak dapat dikabulkan.
  • Kesepakatan atau pemahaman lisan antara pekerja dan atasan tidak cukup untuk membuktikan bahwa lembur tersebut sah secara hukum.
BACA:  Solusi Hukum Sengketa Konstruksi Bersama Pengacara Jakarta

Dalam kasus tersebut, para pekerja yang mengajukan tuntutan tidak bisa membuktikan adanya perintah lembur tertulis dari pengusaha, sehingga gugatan mereka ditolak. Ini menjadi preseden penting bahwa hukum tidak serta-merta mengakomodasi klaim upah lembur tanpa dasar yang kuat.

Yang Perlu Dilakukan Jika Upah Lembur Tidak Dibayar

Bagi pekerja yang merasa haknya atas upah lembur tidak dipenuhi, langkah-langkah berikut dapat ditempuh:

  1. Periksa Dokumen Perintah Lembur
    Pastikan Anda memiliki bukti tertulis berupa surat perintah lembur, daftar lembur yang ditandatangani, atau komunikasi digital yang menunjukkan bahwa lembur diperintahkan oleh pengusaha.
  2. Laporkan ke Pengawas Ketenagakerjaan
    Jika pengusaha menolak membayar upah lembur meskipun ada perintah tertulis, pekerja dapat melaporkan kasus ini ke Dinas Ketenagakerjaan setempat.
  3. Gugat ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)
    Jika pengusaha tetap tidak membayar meskipun telah ada teguran dari pengawas ketenagakerjaan, langkah terakhir adalah mengajukan gugatan ke PHI.

Namun, jika tidak ada bukti perintah tertulis, maka sangat sulit bagi pekerja untuk memenangkan gugatan atas upah lembur.

Risiko Pengusaha Mengabaikan Kewajiban Upah Lembur

Sebaliknya, pengusaha yang mempekerjakan pekerja melebihi waktu kerja tanpa membayar upah lembur juga dapat dikenakan sanksi. Berdasarkan Pasal 78 ayat (2) UU 13/2003, pengusaha wajib membayar upah lembur kepada pekerja yang bekerja melebihi jam kerja normal. Jika tidak, perusahaan bisa menghadapi:

  1. Sanksi administratif berupa teguran atau pembekuan izin usaha (vide Pasal 61 ayat (1) PP 35/2021).
  2. Gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial, yang dapat berujung pada kewajiban membayar upah lembur ditambah denda.
  3. Risiko kehilangan kredibilitas di mata pekerja dan publik akibat pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan.

Perintah Lembur Bukan Formalitas, Tapi Syarat Upah Lembur

Berdasarkan ketentuan hukum yang ada, pekerja tidak bisa menuntut upah lembur jika tidak ada perintah resmi dari pengusaha. Demikian juga, pengusaha tidak bisa menghindari kewajiban membayar upah lembur jika telah mengeluarkan perintah tersebut. Oleh karena itu, baik pekerja maupun pengusaha harus memahami hak dan kewajiban mereka agar terhindar dari sengketa yang dapat berujung pada gugatan hukum. Jika Anda sedang mengalami permasalahan hukum terkait upah lembur atau sengketa ketenagakerjaan lainnya, segera konsultasikan dengan tim hukum profesional untuk mendapatkan solusi terbaik. Ercolaw siap membantu Anda menangani kasus-kasus ketenagakerjaan dengan pendekatan hukum yang strategis dan efektif. Hubungi kami sekarang untuk konsultasi lebih lanjut.

BACA:  Peran Direksi dalam Tata Kelola Perusahaan

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :