Sengketa PHK Direksi

Mengapa Gugatan PHK Direksi Selalu Kandas di Pengadilan Hubungan Industrial?

Bagikan :

Sebagai praktisi hukum yang telah berpraktik lebih dari 12 tahun di ruang sidang dan mendalami aspek hukum bisnis serta korporasi, saya sering menemukan kesalahan fatal yang sama terjadi berulang kali dalam beberapa kasus yang kami kumpulkan untuk menjadi bahan riset, tidak sedikit penyelesaian sengketa perusahaan dengan direksi yang diberhentikannya terjebak dalam labirin hukum yang keliru, menghabiskan waktu, energi, dan biaya menjalani sengketa yang sejak awal sudah “salah kamar”. Pemicunya adalah asumsi sederhana yang mengandung kesalahan fundamental dengan menganggap bahwa pemberhentian seorang direktur sama dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) seorang karyawan.

Biasanya, sengketa antara perusahaan dengan direksi terjadi lantaran seorang direktur yang telah mengabdi bertahun-tahun, secara tiba tiba diberhentikan melalui keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Merasa haknya sebagai “pekerja” dilanggar, langkah pertama yang terlintas adalah mengajukan gugatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), menuntut pesangon, penghargaan masa kerja, dan ganti rugi. Skenario ini sepintas terdengar logis, namun dalam realitas hukum korporasi Indonesia (baca: perseroan terbatas), hal tersebut adalah kekeliruan fatal. Sebuah langkah yang hampir pasti berujung pada putusan “gugatan tidak dapat diterima”.

Hal tersebut bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan kesalahan konseptual mendasar yang dapat meruntuhkan seluruh argumentasi hukum Anda di pengadilan. Anda mungkin merasa memiliki dalil yang kuat, bukti yang lengkap, namun semuanya akan sia-sia apabila mengetuk pintu pengadilan yang salah.

Asumsi Keliru Membawa Petaka

Paint point utama yang dihadapi banyak korporasi dan mantan direksi adalah kaburnya batas antara hubungan kerja berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dan hubungan korporasi berdasarkan Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Paint point tersebut seringkali menjebak para eksekutif puncak (direksi/direktur) dan bahkan praktisi hukum yang kurang waspada: menyamakan posisi seorang direktur dengan karyawan. Asumsi tersebut lahir dari pemahaman yang kurang mendalam terhadap dualisme rezim hukum yang mengatur keduanya. Direksi dianggap sebagai “pekerja” dalam arti luas karena menerima gaji (atau honorarium) dan menjalankan perintah dari entitas perusahaan.

Namun, kekeliruan fundamental tersebut mengabaikan esensi dari kedudukan seorang direktur. Konsekuensinya bukan hanya penolakan gugatan di PHI. Lebih dari itu, upaya tersebut juga berakibat pemborosan waktu, energi, dan biaya yang signifikan. Reputasi profesional dipertaruhkan dalam sengketa yang sejak awal sudah salah kamar. Pertanyaannya, mengapa PHI secara konsisten menolak untuk mengadili sengketa pemberhentian direksi? Di mana seharusnya sengketa ini diselesaikan?

BACA:  Peran Direksi dalam Tata Kelola Perusahaan

Konsistensi Yurisprudensi Mahkamah Agung

Jawabannya bukan berupa opini, melainkan mengacu pada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yang selama bertahun-tahun telah membangun sebuah kaidah hukum yang jelas dan tegas. Mari kita bedah beberapa putusan kunci yang menjadi preseden penting dalam isu ini. Secara seragam, MA telah menggarisbawahi demarkasi yang jelas antara rezim Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) sebagaimana telah diubah oleh UU Cipta Kerja.

  1. Putusan MA No. 555 K/Pdt.Sus/2012: MA menyatakan bahwa karena direksi diangkat oleh RUPS, hubungan hukumnya tunduk pada UUPT, bukan UU Ketenagakerjaan. Secara eksplisit, MA menyebutkan bahwa direksi adalah bagian dari “Pengusaha”, oleh karenanya PHI tidak berwenang mengadili.

  2. Putusan MA No. 775 K/Pdt.Sus/2012: Kasus ini mempertegas bahwa seorang direktur, bahkan yang memegang saham minoritas, tidak memiliki hubungan kerja sebagaimana dimaksud Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan. Pemberhentian oleh RUPS adalah mekanisme korporasi, sehingga hak-hak yang timbul (atau tidak timbul) harus diuji berdasarkan UUPT, bukan pasal kompensasi PHK dalam UU Ketenagakerjaan.

  3. Putusan MA No. 788 K/Pdt.Sus-PHI/2012: MA kembali menegaskan bahwa direksi adalah organ perseroan yang mewakili perusahaan (Pasal 1 angka 5 UUPT). Status ini menempatkannya sebagai “pengusaha”, bukan “pekerja”. Dengan demikian, sengketa yang timbul bukanlah objek perselisihan hubungan industrial.

  4. Putusan MA No. 15 K/Pdt.Sus-PHI/2015: Argumen serupa diulang dengan presisi. MA menyatakan bahwa direksi adalah organ perseroan yang wewenang dan tanggung jawabnya diatur khusus. Perselisihan terkait pemberhentiannya tidak termasuk dalam kategori perselisihan hubungan industrial yang menjadi kewenangan PHI menurut UU No. 2 Tahun 2004.

  5. Putusan MA No. 2127 K/Pdt/2016 & Putusan MA No. 1288 K/Pdt/2018: Kedua putusan ini terdaftar sebagai perkara perdata umum (Pdt) bukan perdata khusus (Pdt.Sus-PHI), semakin mengukuhkan yurisprudensi. MA menyatakan bahwa pemberhentian direksi adalah ranah UUPT dan merupakan kewenangan RUPS. Oleh karena itu, forum yang tepat untuk mempersoalkan keabsahan atau akibat hukum dari pemberhentian tersebut adalah Pengadilan Negeri, bukan Pengadilan Hubungan Industrial.

BACA:  Pemberhentian Direksi oleh RUPS Tanpa Pembelaan Diri

Kaidah hukum dari serangkaian putusan di atas bersifat absolut dan konsisten: hubungan antara perseroan dan direksinya adalah hubungan korporasi, bukan hubungan ketenagakerjaan.

Membedah DNA Direksi vs. Karyawan

Untuk memahami mengapa Mahkamah Agung begitu teguh pada pendiriannya, kita perlu membedah “DNA” hukum dari kedua entitas ini. Perbedaan mendasar tidak hanya bersifat prosedural, tetapi juga filosofis dan yuridis. Prinsip hukum yang diterapkan dalam isu di atas adalah lex specialis derogat legi generali. UUPT sebagai hukum yang khusus mengatur organ perseroan (termasuk direksi) mengesampingkan UU Ketenagakerjaan yang bersifat umum. Berikut adalah tabel perbandingan yang merangkum perbedaan krusial tersebut:

Aspek PembedaDireksiKaryawan (Pekerja/Buruh)
Dasar Hukum HubunganUndang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan TerbatasUU No. 13 Tahun 2003 jo. UU No. 6 Tahun 2023 (Cipta Kerja)
Mekanisme PengangkatanDiangkat dan diberhentikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).Diangkat berdasarkan Perjanjian Kerja (PKWT/PKWTT).
Sifat HubunganHubungan Korporasi sebagai Organ Perseroan (Pasal 1 ayat (5) UUPT).Hubungan Kerja dengan unsur pekerjaan, upah, dan perintah (Pasal 1 ayat (15) UU Ketenagakerjaan).
Kedudukan HukumDianggap sebagai “Pengusaha” atau perpanjangan tangan Perseroan.Dianggap sebagai “Pekerja/Buruh”.
Mekanisme PemberhentianPemberhentian sementara oleh Dewan Komisaris, keputusan final oleh RUPS.Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan mengikuti prosedur UU Ketenagakerjaan.
Kompensasi PemberhentianHak atas kompensasi (jika ada) diatur dalam Anggaran Dasar, keputusan RUPS, atau perjanjian terpisah (kontrak manajemen).Berhak atas Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan Uang Penggantian Hak sesuai ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Forum Penyelesaian SengketaPengadilan Negeri (Perkara Perdata Biasa, misal: gugatan atas RUPS yang tidak sah).Diawali Bipartit, Mediasi/Konsiliasi, dan berujung di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Tabel ini secara gamblang menunjukkan bahwa direksi dan karyawan berada di dua orbit hukum yang sama sekali berbeda. Mencoba menerapkan hukum yang satu pada yang lain adalah seperti memaksakan kunci yang salah pada sebuah gembok.

Pentingnya Pemahaman dan Strategi yang Tepat

Pemahaman mendalam atas perbedaan tersebut adalah jembatan menyusun strategi hukum yang tepat dan efektif.

  • Bagi Perseroan dan Pemegang Saham: Pastikan proses pengangkatan dan pemberhentian direksi selalu mematuhi Anggaran Dasar dan UUPT, termasuk Board Manual (jika ada). Dokumentasikan seluruh proses RUPS dengan cermat. Jika menghadapi gugatan dari mantan direksi di PHI, eksepsi mengenai kewenangan absolut pengadilan (exceptio de non-competentie) adalah senjata utama yang harus diajukan.

  • Bagi Direksi: Sadari bahwa posisi Anda adalah posisi kepercayaan yang diatur oleh hukum korporasi. Perlindungan Anda tidak terletak pada UU Ketenagakerjaan. Jika merasa diberhentikan secara tidak adil atau hak-hak finansial yang dijanjikan berdasarkan RUPS tidak dipenuhi, jalur hukum yang harus ditempuh adalah mempersoalkan RUPS atau menuntut pemenuhan kewajiban korporasi melalui gugatan perdata di Pengadilan Negeri. Fokus gugatan bukan pada “PHK tidak sah”, melainkan pada “Keputusan RUPS yang cacat hukum” atau “wanprestasi” atas perjanjian yang telah disepakati.

BACA:  Strategi Mencegah dan Mengatasi Konflik Pemegang Saham

Jangan Bertaruh dalam Ketidakpastian, Amankan Posisi Anda

Sengketa hukum korporasi, terutama yang menyangkut organ perusahaan, memiliki kompleksitas yang tinggi. Salah langkah di awal dapat berakibat fatal dan menutup pintu untuk mencari keadilan yang sesungguhnya. Yurisprudensi Mahkamah Agung telah memberikan peta jalan yang sangat jelas, namun menavigasinya membutuhkan keahlian dan pengalaman. Sebelum mengambil langkah hukum terkait pemberhentian jabatan direksi, baik dari sisi perusahaan maupun dari sisi direksi, berhentilah sejenak. Pastikan fondasi hukum Anda kokoh dan strategi Anda ditempatkan di arena yang tepat.

Menavigasi persimpangan antara hukum korporasi dan ketenagakerjaan membutuhkan keahlian dan pengalaman. Jika Anda menghadapi dilema ini atau ingin memperkuat tata kelola perusahaan Anda untuk mencegah sengketa di masa depan, kami di Ercolaw siap mendampingi Anda. Hubungi kami untuk konsultasi strategis dan pastikan setiap langkah korporasi Anda dilindungi oleh hukum. Hubungi Ercolaw Sekarang.


Disclaimer: Artikel ini ditujukan untuk tujuan edukasi umum dan tidak dapat dianggap sebagai nasihat hukum. Setiap situasi hukum bersifat unik dan memerlukan konsultasi langsung dengan praktisi hukum yang kompeten.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :