Dalam dinamika hubungan industrial, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sering kali menjadi momok yang menakutkan, baik bagi pekerja maupun pengusaha. Proses yang penuh ketidakpastian dan berpotensi sengketa tersebut biasanya diupayakan dengan mekanisme yang lebih damai dan disepakati bersama, salah satunya melalui Perjanjian Bersama (PB). Ide dasarnya dari penyelesaian melalui PB sebenarnya sangat mulia, semata mata ingin mencapai mufakat untuk mengakhiri perselisihan secara kekeluargaan. Meski demikian, benarkah PB selalu menjadi benteng kepastian hukum, atau justru dapat menjadi jebakan yang membatasi hak dan upaya hukum para pihak? Dua putusan penting Mahkamah Agung, Nomor 1029 K/Pdt.Sus-PHI/2017 dan Nomor 1134 K/Pdt.Sus-PHI/2017, memberikan pandangan yang krusial terkait pertanyaan tersebut.
Ketika Kesepakatan PB Digugat Kembali
Seringkali, setelah melalui perundingan yang intensif, pekerja dan pengusaha sepakat mengakhiri hubungan kerja dan menuangkannya dalam sebuah PB. Di dalamnya, tercantum hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk besaran kompensasi yang diterima pekerja. Akan tetapi, apa jadinya jika salah satu pihak, merasa dirugikan di kemudian hari, mencoba untuk menggugat kembali kesepakatan PB yang telah ditandatangani tersebut? Apakah PB yang telah disepakati dapat dianulir melalui proses gugatan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI)? Di sinilah letak permasalahan yang seringkali membingungkan dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Banyak pihak, terutama pekerja yang mungkin merasa berada dalam posisi yang lemah saat menandatangani PB, mempertanyakan keabsahan dan kekuatan mengikat dari kesepakatan tersebut jika kemudian hari ditemukan adanya hak-hak lain yang belum terpenuhi atau perhitungan kompensasi yang dianggap tidak adil.
Analisis Putusan Mahkamah Agung
Dua putusan Mahkamah Agung di atas memberikan jawaban yang tegas terhadap permasalahan ini.
Putusan MA Nomor 1029 K/Pdt.Sus-PHI/2017 – Kekuatan Mengikat Pasal 7 UU PPHI
Dalam kasus ini, sengketa PHK antara pekerja dan perusahaan telah menghasilkan Perjanjian Bersama. Namun, alih-alih melaksanakan PB, para pekerja justru mengajukan gugatan ke PHI. Mahkamah Agung, dalam pertimbangannya, secara eksplisit menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banda Aceh telah salah menerapkan hukum. Berkaitan dengan itu pertimbangan yang dikemukakan MA sangat fundamental:
- Kesepakatan dalam Perjanjian Bersama: Para pihak telah mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam PB terkait dengan perselisihan PHK.
- PB Sebagai Hukum yang Mengikat: Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (https://jdihn.go.id/files/4/2004uu002.pdf), Perjanjian Bersama mengikat dan menjadi hukum bagi para pihak serta wajib dilaksanakan.
- Eksekusi Bukan Gugatan: Jika salah satu pihak tidak melaksanakan PB, maka sesuai dengan Pasal 7 ayat (5) dan (6) UU Nomor 2 Tahun 2004, upaya hukum yang seharusnya ditempuh adalah permohonan eksekusi kepada pengadilan yang berwenang, bukan melalui prosedur gugatan baru.
Dengan demikian, MA membatalkan putusan Judex Facti (pengadilan tingkat pertama) dan menolak gugatan para pekerja, menegaskan bahwa PB yang telah disepakati harus dilaksanakan dan upaya hukumnya adalah melalui mekanisme eksekusi jika terjadi wanprestasi.
Putusan MA Nomor 1134 K/Pdt.Sus-PHI/2017 – Finalitas Perjanjian Bersama
Kasus ini memperkuat prinsip yang sama. Para pekerja dan pengusaha telah membuat dan menandatangani Perjanjian Bersama terkait pengakhiran hubungan kerja dan penerimaan pembayaran uang pesangon. Namun, kemudian para pekerja kembali menuntut hak-hak lain, seperti insentif kinerja, bantuan akhir tahun, dan bantuan biaya perjalanan cuti, melalui gugatan ke PHI. Terhadap hal tersebut, lagi-lagi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Samarinda telah salah menerapkan hukum. Pertimbangan hukum MA sangat jelas:
- Adanya Kesepakatan: Para pihak telah membuat dan menandatangani PB mengenai pengakhiran hubungan kerja dan penerimaan kompensasi.
- Berakhirnya Hubungan Kerja Sah: Dengan adanya PB, hubungan kerja secara sah telah berakhir.
- Tidak Ada Lagi Tuntutan di Kemudian Hari: Sesuai dengan maksud Pasal 7 ayat (2) UU Nomor 2 Tahun 2004, PB yang mengikat dan menjadi hukum menghapuskan hak para pihak untuk menuntut hak apapun di kemudian hari terkait dengan PHK tersebut.
Putusan di aats semakin mempertegas bahwa ketika Perjanjian Bersama telah ditandatangani dan mengatur secara komprehensif mengenai pengakhiran hubungan kerja dan hak-hak yang timbul daripadanya, maka para pihak tidak lagi memiliki dasar hukum untuk mengajukan tuntutan baru terkait dengan hal yang sama.
Pacta Sunt Servanda dan Implikasinya
Kedua putusan di atas secara konsisten menunjukkan bahwa Mahkamah Agung menjunjung tinggi prinsip pacta sunt servanda dalam konteks Perjanjian Bersama di bidang ketenagakerjaan dan hubungan industrial. Artinya, perjanjian yang telah dibuat dan disepakati secara sah oleh para pihak mengikat dan harus ditepati.
Finalitas PB dan Konsekuensi yang Tidak Boleh Diabaikan
Dari kedua putusan Mahkamah Agung tersebut, dapat ditarik sebuah insight penting mengenai kekuatan mengikat Perjanjian Bersama dalam konteks sengketa PHK. Berikut adalah perbandingan antara kondisi sebelum dan sesudah adanya PB:
Aspek Hukum | Sebelum PB ditandatangani Para Pihak | Setelah PB ditandatangani Para Pihak | Dasar dan Prinsip Hukum |
---|---|---|---|
Status Hubungan Kerja | Masih Berlangsung / Dalam Proses PHK | Secara Hukum Berakhir | Pasal 7 Ayat (2) UU No. 2/2004 (PPHI); Putusan MA 1029/2017 & 1134/2017 |
Hak Menuntut | Pekerja berhak menuntut hak normatif terkait PHK melalui gugatan ke PHI | Hak Menuntut Hapus (Final & Mengikat) | Putusan MA 1134/2017 (“tidak ada hak… menuntut hak apapun dikemudian hari“); Jo. Pasal 1338 KUH Perdata jo. Asas Pacta Sunt Servanda |
Upaya Hukum | Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi, Arbitrase (jika disepakati), dan/atau Gugatan ke PHI | Permohonan Eksekusi PB (Jika PB Tidak Dipenuhi); | Pasal 7 Ayat (5) & (6) UU No. 2/2004 (PPHI); Putusan MA 1029/2017 |
Ruang Lingkup Penyelesaian | Mencakup semua hak yang dituntut/disengketakan | Mencakup seluruh hak dan kewajiban terkait PHK yang disepakati dalam PB (Prinsip “Ita Scripta Manent“) | Pasal 1338 KUHPerdata (Kebebasan Berkontrak); Asas Ita Scripta Manent (Apa yang Tertulis, Itu yang Berlaku) |
Kepastian Hukum | Rendah; Potensi sengketa lanjutan tinggi | Tinggi (Bagi Kedua Belah Pihak); Mengakhiri sengketa PHK secara definitif | Tujuan UU PPHI (Menciptakan Kepastian Hukum & Keadilan); Asas Legalitas |
Risiko Utama Pekerja | Tidak mendapatkan hak yang seharusnya | Kehilangan Hak Menuntut Lebih Lanjut, meskipun ada hak lain yang mungkin terlewat | Prinsip Kehati-hatian; Pentingnya Konsultasi Hukum Sebelum Menandatangani |
Risiko Utama Pengusaha | Gugatan PHK dengan segala biaya dan reputasi | Gugatan Tambahan/Baru yang seharusnya tidak dapat diajukan (Tapi tetap harus menghadapi proses) | Pentingnya Perancangan PB yang Komprehensif & Eksplisit |
Catatan Penting:
Meskipun PB memiliki kekuatan mengikat yang besar, hal ini tidak berarti bahwa PB dapat menjadi alat bagi pengusaha untuk menghindari kewajiban yang seharusnya dipenuhi berdasarkan peraturan perundang-undangan. Jika dalam proses pembuatan PB terdapat unsur paksaan, penipuan, atau penyalahgunaan keadaan, maka PB tersebut dapat saja dibatalkan oleh pengadilan. Namun, di luar kondisi tersebut, prinsip kesepakatan adalah yang utama. Sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1338 secara tegas menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Prinsip ini juga berlaku dalam konteks PB di bidang ketenagakerjaan.
Konsultasi Hukum Pendampingan PB
Kedua putusan Mahkamah Agung di atas memberikan pelajaran berharga bagi para pengusaha dan pekerja. Bagi pengusaha, PB dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mengakhiri sengketa PHK secara final dan mengikat, sehingga memberikan kepastian hukum dan menghindari potensi gugatan di kemudian hari. Namun, penting untuk memastikan bahwa proses pembuatan PB dilakukan secara transparan, adil, dan tanpa adanya paksaan atau tekanan terhadap pekerja. Sebaliknya, bagi pekerja, putusan tersebut memberikan pemahaman yang jelas mengenai konsekuensi dari penandatanganan PB. Sebelum menyepakati dan menandatangani PB, pekerja harus benar-benar memahami isi dan konsekuensi hukum dari kesepakatan tersebut, termasuk hak-hak apa saja yang mereka lepaskan. Jika merasa ada ketidaksesuaian atau potensi kerugian, pekerja memiliki hak untuk tidak menyetujui PB dan menempuh jalur hukum sesuai peraturan yang berlaku.
Sebagai firma hukum yang berpengalaman selama lebih dari 12 tahun mendampingi berbagai klien dalam sengketa ketenagakerjaan, Erco Law Office memahami betul kompleksitas permasalahan PHK dan pentingnya Perjanjian Bersama. Kami hadir untuk memberikan konsultasi hukum yang komprehensif, membantu dalam proses negosiasi pembuatan PB yang adil dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, serta memberikan pendampingan hukum jika terjadi sengketa atau wanprestasi atas PB yang telah disepakati.
Amankan Kepentingan Hukum Anda
Apakah Anda seorang pengusaha yang sedang menghadapi potensi sengketa PHK dan membutuhkan bantuan dalam menyusun Perjanjian Bersama yang kuat dan mengikat? Atau Anda seorang pekerja yang ingin memahami lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Anda dalam menghadapi PHK dan proses pembuatan Perjanjian Bersama? Jangan ragu untuk menghubungi tim ahli kami di Erco Law Office. Kami siap membantu Anda dalam setiap langkah, memberikan solusi hukum yang tepat dan efektif untuk mengamankan kepentingan Anda. Kunjungi website kami di https://ercolaw.com/ untuk informasi lebih lanjut atau jadwalkan konsultasi dengan tim pengacara ketenagakerjaan kami hari ini. Lindungi hak-hak Anda dan pastikan setiap kesepakatan memiliki kekuatan hukum yang jelas.
Artikel ini merupakan analisis hukum berdasarkan putusan pengadilan dan regulasi yang berlaku. Untuk situasi spesifik, konsultasikan dengan pengacara yang berkompeten.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw