Kontrak Lumpsum Bikin Kontraktor Bangkrut

Hati Hati ! Kontrak Lumpsum Bisa Bikin Kontraktor Bangkrut

Bagikan :

Dalam bisnis konstruksi, kontrak lumpsum sering dipilih karena dianggap memberikan kepastian bagi para pihak, khususnya Pengguna Jasa Konstruksi (Owner/Pemilik proyek). Sistem ini menjanjikan transparansi anggaran serta membuat pemilik proyek terhindar dari risiko eskalasi biaya. Namun, di balik keuntungan tersebut, kontrak lumpsum menyimpan risiko besar bagi Penyedia Jasa Konstruksi (kontraktor), Terutama ketika terjadi eskalasi harga material akibat volatilitas pasar atau depresiasi nilai tukar mata uang, kontraktor yang telah menyepakati kontrak lumsum, terikat dengan harga yang telah disepakati di awal.

Pertanyaannya, apakah hukum benar-benar menutup segala kemungkinan bagi kontraktor untuk menyesuaikan harga? Jika seperti itu, apakah ada mekanisme hukum yang dapat digunakan untuk menghindari jebakan finansial tersebut?

Konsekuensi Kontrak Lumpsum dalam Konstruksi

Sebelum membahas solusi, kita perlu memahami dasar hukum dan batasan – batasan kontrak lumpsum. Berdasarkan Pasal 82 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2020 jo. Pasal 27 ayat (5) Perpres No. 12 Tahun 2021, perhitungan hasil pekerjaan pada kontrak lumpsum menggunakan perhitungan harga tetap yang disepakati Owner dan Kontraktor, dan semua risiko ditanggung oleh kontraktor. Ini berarti, sekalipun terjadi eskalasi nilai tukar mata uang atau kenaikan harga material, kontraktor tidak berhak menuntut penyesuaian harga.

Situasi tersebut bisa menjadi lebih buruk jika proyek konstruksi dilakukan dalam jangka waktu yang panjang, di mana ketidakpastian ekonomi semakin tinggi. Misalnya, dalam kasus proyek pembangunan jalan tol yang berlangsung selama tiga tahun, fluktuasi nilai tukar dan inflasi bisa menyebabkan harga material melonjak lebih dari 20%. Jika kontraktor sejak awal tidak memasukkan opsi penyesuaian harga karena faktor eskalasi material ke dalam penawarannya, keuntungan yang diharapkan bisa berubah menjadi kerugian besar.

Tidak hanya itu, kontraktor juga menghadapi risiko wanprestasi apabila tidak menyelesaikan proyek akibat kesulitan keuangan. Menurut Pasal 47 huruf g UU No. 2 Tahun 2017, wanprestasi dalam kontrak konstruksi bisa berakibat pada tuntutan kompensasi, penggantian biaya, hingga pemberian ganti rugi kepada pemilik proyek. Dengan kata lain, bukan hanya kehilangan profit, kontraktor juga bisa menghadapi sengketa hukum yang berlarut-larut.

Bahaya yang Mengintai Kontraktor

Dalam kontrak lumpsum, penyedia jasa wajib menyelesaikan proyek dengan anggaran yang telah disepakati, terlepas dari kondisi eksternal yang berubah. Akibatnya, ketika harga material melonjak, opsi yang tersedia bagi kontraktor sangat terbatas, lalu apa akibatnya?:

  1. Mengorbankan Kualitas
    Beberapa kontraktor memilih untuk mengurangi kualitas material agar tetap bisa menyelesaikan proyek dari pada merugi. Namun, ini berisiko tinggi karena dapat berujung pada gugatan akibat kegagalan konstruksi.
  2. Menanggung Kerugian Finansial
    Jika memilih tetap menggunakan material berkualitas sesuai kontrak, margin keuntungan bisa terkikis, atau bahkan berubah menjadi kerugian. Jika modal kerja tidak cukup, proyek bisa terbengkalai, dan kontraktor terancam gagal bayar, bahkan tidak sedikit yang berakhir dengan kebangkrutan dan pailit.
  3. Mengajukan Negosiasi (Hampir Mustahil)
    Secara hukum, kontraktor sebenarnya dapat mengajukan renegosiasi jika terjadi perubahan lingkup pekerjaan (Pasal 82 ayat (3) PP No. 22 Tahun 2020). Namun, dalam praktiknya, mendapatkan persetujuan dari pemilik proyek bukanlah hal yang mudah.
  4. Gagal Proyek dan Gugatan Hukum
    Jika kontraktor gagal menyelesaikan proyek karena kesulitan finansial, pemilik proyek dapat mengajukan gugatan wanprestasi. Akibatnya, kontraktor tidak hanya kehilangan proyek, tetapi juga bisa berakhir dengan kewajiban membayar ganti rugi yang besar.

Apa yang Bisa Dilakukan Kontraktor?

Dalam hukum perdata, prinsip pacta sunt servanda (kesepakatan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak) memang mengikat kontraktor untuk mematuhi perjanjian. Meski demikian, menghindari jebakan kontrak lumpsum bukanlah hal yang mustahil. Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:

  1. Perjuangkan Klausul Perubahan Harga
    Sebelum menandatangani kontrak, kontraktor perlu memastikan adanya klausul penyesuaian harga karena perubahan kondisi yang signifikan, misalnya karena eskalasi nilai material dan fluktuasi nilai tukar. Dengan begitu, meskipun kontrak lumpsum bersifat tetap, namun perubahan harga masih dimungkinkan jika terjadi perubahan kondisi yang signifikan. Hal tersebut sejalan dengan asas dalam Pasal 1339 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa perjanjian tidak hanya mengikat apa yang tertulis di dalamnya, tetapi juga apa yang secara wajar dapat dituntut berdasarkan keadilan dan kebiasaan. Artinya, jika ada kenaikan harga material dan/atau dan fluktuasi nilai tukar mengancam kelangsungan proyek, kontraktor bisa mengajukan usulan perubahan harga karena perubahan kondisi yang signifikan. Jika Kontrak sudah terlanjur di tandatangani, klausul ini harus dinegosiasikan dengan Pengguna Jasa dan dituangkan dalam addendum kontrak.
  2. Pilih Skema Kontrak yang Lebih Fleksibel
    Jika proyek berisiko tinggi, kontraktor sebaiknya mengusulkan penggunaan kontrak harga satuan atau kontrak gabungan lumpsum dan harga satuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (1) dan (5) PP No. 22 Tahun 2020 Jo. Pasal 27 ayat (6) dan (7) Perpres No. 12 Tahun 2021, Dengan skema ini, pekerjaan yang memiliki risiko fluktuasi tinggi dapat menggunakan sistem harga satuan, sementara pekerjaan dengan kepastian harga tinggi tetap menggunakan lumpsum.
  3. Gunakan Hedging atau Lindung Nilai
    Untuk proyek jangka panjang dengan risiko nilai tukar yang tinggi, kontraktor bisa mempertimbangkan strategi hedging untuk mengurangi risiko perubahan nilai tukar mata uang mengcover pembelian material impor.
  4. Lakukan Negosiasi Distribusi Risiko di Awal
    Sebelum menyetujui kontrak, kontraktor harus aktif mendiskusikan kemungkinan eskalasi harga dengan pemilik proyek dan mengajukan solusi bersama, seperti mekanisme eskalasi harga bertahap atau pembagian risiko antara pihak.
  5. Libatkan Ahli Kontrak Konstruksi
    Berdasarkan Pasal 79 PP No. 22 Tahun 2020, kontrak konstruksi yang berisiko tinggi dapat ditelaah oleh ahli sebelum ditandatangani. Langkah ini sangat penting untuk memastikan kontraktor tidak terjebak dalam klausul yang merugikan.

Jadi Kontraktor Perlu Strategi, Bukan Sekadar Berani

Kontrak lumpsum memang memberikan kepastian bagi Pengguna Jasa, tetapi bagi kontraktor, ini bisa menjadi pedang bermata dua. Tanpa perencanaan matang dan strategi hukum yang kuat, kontraktor bisa terjebak dalam krisis finansial yang berujung pada kebangkrutan. Kontraktor harus memahami bahwa meskipun skema kontrak lumpsum tampak final dan mengikat, masih terdapat opsi yang dapat diperjuangkan dalam ruang negosiasi. Oleh karena itu, bersikap proaktif dalam menegosiasikan kontrak, menyusun klausul perlindungan, serta memahami strategi hukum kontrak konstruksi merupakan langkah krusial untuk memastikan keberlanjutan bisnis.

Jika Anda adalah kontraktor yang sedang menghadapi negosiasi kontrak atau ingin menghindari risiko besar dalam proyek konstruksi, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan tim hukum kami di Ercolaw. Kami memiliki pengalaman dalam membantu kontraktor merancang kontrak yang lebih adil, melindungi bisnis Anda dari risiko finansial, dan memastikan proyek berjalan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :