Kejahatan Finansial Berkedok Koperasi

Kejahatan Finansial Bertopeng Koperasi: Lindungi Investasi Anda!

Bagikan :

Sempat lolos dengan skema PKPU dan Pailit, Mahkamah Agung Bongkar Kejahatan Finansial Triliunan Rupiah

Saat ini, di tengah akselerasi ekonomi digital dan kemudahan akses terhadap produk keuangan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada paradoks: semakin banyak pilihan investasi, namun semakin besar pula risiko terperangkap dalam skema penipuan finansial. Kasus Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta yang terbongkar melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 2113 K/Pid.Sus/2023 memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana kejahatan ekonomi bisa beroperasi di balik kedok legalitas sebuah badan hukum. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung telah mengoreksi kekeliruan fatal pengadilan tingkat pertama, yang sebelumnya melepaskan Terdakwa Henry Surya dari segala dakwaan meski terang-benderang terjadi kejahatan finansial lintas sektor senilai lebih dari Rp106 triliun.

Kejahatan di Balik Topeng Koperasi

Koperasi, yang seharusnya menjadi pilar ekonomi kerakyatan dan wadah kesejahteraan bersama, justru disalahgunakan sebagai kedok untuk menghimpun dana masyarakat secara ilegal dalam skala besar. Kasus Koperasi Simpan Pinjam (Kospin) Indosurya Inti/Cipta, yang berhasil mengumpulkan dana sedikitnya Rp106,6 triliun dari 23.362 nasabah, menjadi contoh nyata pengkhianatan terhadap esensi koperasi.

Isu hukum sentral dalam kasus ini adalah pergeseran fundamental fungsi koperasi. Alih-alih menjadi perkumpulan orang yang bekerja sama secara sukarela demi kepentingan bersama, Kospin Indosurya menjalankan praktik penghimpunan dana layaknya bank tanpa izin yang sah. Praktik ini terbukti dari tindakan mereka yang secara aktif menawarkan produk simpanan berjangka kepada masyarakat non-anggota, membagi simpanan menjadi divisi Primer dan ISP, serta menjanjikan bunga tinggi (7-11%) yang jelas menyimpang dari mekanisme pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang lazim.

Lebih lanjut, dana yang berhasil dihimpun tersebut kemudian dialirkan ke rekening perusahaan afiliasi, digunakan untuk pembelian aset pribadi, dan disamarkan melalui laporan keuangan fiktif. Tindakan ini jelas memenuhi unsur pidana pencucian uang, yaitu “menempatkan, mentransfer, membelanjakan, menyembunyikan, dan menyamarkan asal-usul dana”.

Ironisnya, pengadilan tingkat pertama sempat keliru dalam memahami pokok perkara. Mereka menyatakan bahwa penghimpunan dana dari “anggota” koperasi tidak memerlukan izin dari Bank Indonesia, dan membebaskan terdakwa dari tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Kesalahan prinsipil tersebut kemudian dikoreksi oleh Mahkamah Agung (MA) melalui Putusan Nomor 2113 K/Pid.Sus/2023.

Dalam putusannya, MA menemukan fakta bahwa mayoritas nasabah Indosurya tidak pernah menjadi anggota koperasi yang sebenarnya. Mereka tidak memiliki kartu anggota dan tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan koperasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. MA juga menegaskan bahwa penghimpunan dana dari masyarakat oleh koperasi tanpa izin Bank Indonesia bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan tindak pidana perbankan yang memiliki konsekuensi hukum pidana.

BACA:  Risiko Pemegang Saham Yang Tidak Setor Modal

Putusan Mahkamah Agung tersebut secara gamblang mengungkap bahwa kasus Indosurya bukanlah sekadar persoalan koperasi yang mengalami kesulitan likuiditas. Ini adalah kejahatan terencana dengan mens rea (niat jahat) yang kuat sejak awal pendiriannya, yang dengan sengaja memanfaatkan badan hukum koperasi untuk melakukan penipuan dan pencucian uang dalam skala masif.

Fakta-fakta Yang Terungkap

Berdasarkan putusan tersebut, terdapat sejumlah fakta menarik yang patut menjadi perhatian para pelaku bisnis dan masyarakat :

  1. Skala Operasi yang Masif: Terdakwa (Henry Surya) melalui Koperasi Indosurya berhasil menghimpun dana sebesar Rp106,6 triliun dari 23.362 nasabah dalam rentang waktu 2012-2020.
  2. Janji Imbal Hasil Tidak Wajar: Terdakwa menjanjikan bunga sebesar 7% hingga 11% per tahun, jauh di atas rata-rata bunga Bank Indonesia. Imbal hasil ini bukan berdasarkan Sisa Hasil Usaha (SHU) sebagaimana lazimnya dalam koperasi.
  3. Penyalahgunaan Dana: Dari dana yang berhasil dihimpun, sebesar Rp10,5 triliun disalurkan ke 30 perusahaan yang terafiliasi dengan Indosurya Grup, dan Terdakwa sendiri menerima aliran dana sebesar Rp2,5 triliun.
  4. Modus Operandi Skema Ponzi: Dana yang terhimpun digunakan untuk membayar kembali nasabah lain sebagai pemenuhan janji pemberian keuntungan atau pelunasan pokok simpanan yang telah jatuh tempo.
  5. Kerugian Masyarakat yang Signifikan: Setidaknya 6.193 orang mengalami kerugian karena kehilangan uangnya dengan jumlah sekitar Rp16 triliun.

Penyimpangan Operasional Koperasi

Putusan MA mengungkap beberapa penyimpangan mendasar yang menunjukkan bahwa Koperasi Indosurya sejak awal memang dirancang sebagai instrumen kejahatan:

  1. Penunjukan key person dilakukan oleh Terdakwa tanpa melalui Rapat Anggota Koperasi Indosurya.
  2. KSP Indosurya tidak pernah melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT).
  3. Terdapat anggota Koperasi berbentuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas dan CV, yang tidak sesuai dengan prinsip koperasi.
  4. Nama yang digunakan dalam akta pendirian adalah nomine, karena merupakan karyawan Indosurya Finance yang KTP-nya dikumpulkan seolah-olah mereka pendiri Koperasi.
  5. Berita Acara (Notulen Rapat) fiktif yang “seolah-olah” terlaksana rapat pendirian Koperasi.
  6. Nasabah tidak pernah mendaftar menjadi anggota koperasi dan tidak pernah menerima kartu maupun nomor anggota koperasi.

Pertanggung Jawaban Perdata vs. Pidana

Salah satu aspek menarik dari kasus ini adalah pertentangan antara putusan perdata dan pidana. Pengadilan tingkat pertama melepaskan Terdakwa dari seluruh dakwaan dengan pertimbangan bahwa:

  1. Koperasi Simpan Pinjam Indosurya Inti/Cipta tidak melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, melainkan dari para anggotanya sendiri.
  2. Telah ada Putusan PKPU Nomor 66/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Niaga. Jkt.Pst., juncto Nomor 15/Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/2022/ PN.Niaga.Jkt.Pst, juncto Nomor 1493/K/Pdt.Sus/Pailit/2022.
  3. Merujuk pada Pasal 31 Ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan “Debitor yang sedang dalam penahanan harus dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan”.
BACA:  Langkah Hukum Penyelesaian Sertifikat Ganda

Namun, Mahkamah Agung membantah argumentasi tersebut dengan tegas. MA menyatakan bahwa pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan hukum. Berdasarkan Pasal 46 Ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, siapapun yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia diancam dengan pidana penjara.

Prinsip Hukum yang Perlu Dipahami

Kasus ini memberikan beberapa pelajaran penting tentang prinsip hukum yang perlu dipahami:

1. Prinsip Pemisahan Hukum Perdata dan Pidana

Meskipun terdapat hubungan antara hukum perdata dan pidana, keduanya adalah domain hukum yang terpisah dengan tujuan berbeda. Proses PKPU atau kepailitan tidak serta-merta menghapuskan tanggung jawab pidana seseorang. Ini sesuai dengan asas concursus realis dalam hukum, di mana pertanggungjawaban sipil dan pidana dapat berjalan bersamaan.

2. Prinsip “Piercing the Corporate Veil”

Dalam kasus ini, MA menerapkan prinsip “menyingkap tabir perusahaan” untuk melihat bahwa di balik kedok koperasi, terdapat niat jahat (mens rea) untuk melakukan penipuan. Prinsip ini penting dalam menentukan tanggung jawab personal pengurus atau pemilik suatu badan usaha.

3. Prinsip “Follow the Money”

Investigasi terhadap aliran dana merupakan elemen krusial dalam pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam kasus ini, aliran dana dari koperasi ke perusahaan-perusahaan terafiliasi dan akhirnya ke rekening pribadi Terdakwa menjadi bukti kuat adanya TPPU.

Implikasi Putusan bagi Dunia Usaha dan Masyarakat

Putusan MA ini memiliki implikasi signifikan bagi berbagai pihak:

Bagi Pelaku Usaha

  1. Kepatuhan Regulasi: Usaha penghimpunan dana masyarakat harus memiliki izin dari otoritas berwenang (BI/OJK). Tidak ada “zona abu-abu” dalam hal ini.
  2. Corporate Governance: Tata kelola yang baik menjadi kunci untuk menghindari liability pribadi. Pengurus perusahaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas keputusan bisnis yang melanggar hukum.
  3. Due Diligence: Memastikan bahwa setiap transaksi bisnis, terutama yang melibatkan afiliasi, dilakukan dengan prinsip kewajaran dan transparansi.

Bagi Masyarakat Investor

  1. Waspada Iming-iming: Imbal hasil terlalu tinggi di atas rata-rata pasar merupakan indikator skema Ponzi.
  2. Verifikasi Legalitas: Pastikan lembaga keuangan memiliki izin resmi dari otoritas yang berwenang (BI/OJK).
  3. Kenali Perbedaan: Pahami beda antara koperasi, bank, dan lembaga penghimpun dana lainnya beserta batasan operasionalnya.

Bagi Regulator

  1. Pengawasan Terintegrasi: Perlu koordinasi yang lebih baik antara Kementerian Koperasi, BI, dan OJK dalam mengawasi lembaga keuangan non-bank.
  2. Edukasi Publik: Meningkatkan literasi keuangan masyarakat untuk mengenali investasi bodong.
  3. Sistem Peringatan Dini: Mengembangkan sistem untuk mendeteksi potensi skema Ponzi dan penipuan investasi lainnya.
BACA:  Menolak Klaim Pekerjaan Yang Sudah di Nikmati, Perbuatan Melawan Hukum

Preseden Hukum yang Dibangun

Putusan MA ini memperkuat beberapa preseden hukum penting:

  1. Konflik Yurisdiksi: Putusan ini memperjelas bahwa ranah perdata (PKPU/pailit) dan pidana adalah terpisah dan dapat berjalan secara paralel.
  2. Penafsiran Ketentuan Pasal 46 UU Perbankan: MA menegaskan bahwa penghimpunan dana dalam bentuk simpanan tanpa izin dari BI tetap merupakan tindak pidana meskipun dilakukan oleh koperasi.
  3. Penerapan UU TPPU: Putusan ini memperkuat penerapan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang terhadap kejahatan asal di bidang perbankan.

Langkah Preventif yang Perlu Diambil

Berdasarkan pembelajaran dari kasus ini, beberapa langkah preventif yang bisa diambil antara lain:

  1. Bagi Pelaku Usaha:
    • Memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku
    • Menjalankan tata kelola perusahaan yang baik
    • Mendokumentasikan proses pengambilan keputusan bisnis
    • Berkonsultasi dengan ahli hukum sebelum melakukan ekspansi usaha
  2. Bagi Investor:
    • Melakukan due diligence sebelum berinvestasi
    • Memverifikasi legalitas institusi keuangan
    • Berhati-hati terhadap janji imbal hasil yang tidak realistis
    • Memahami risiko investasi dan aspek legalnya
  3. Bagi Regulator:
    • Memperkuat koordinasi antar lembaga pengawas
    • Meningkatkan kapasitas pengawasan
    • Memperbaiki sistem deteksi dini terhadap lembaga keuangan bermasalah
    • Menindak tegas pelanggaran sedini mungkin

Pelajaran Berharga

Kasus Koperasi Indosurya memberikan pelajaran berharga bagi semua pihak. Kejahatan ekonomi terus berkembang menjadi semakin canggih, menggunakan celah-celah hukum dan memanfaatkan keterbatasan pengawasan. Putusan MA Nomor 2113 K/Pid.Sus/2023 menjadi tonggak penting yang menegaskan bahwa kejahatan keuangan akan tetap ditelusuri meskipun bersembunyi di balik kedok legalitas badan hukum atau proses kepailitan.

Bagi para profesional hukum, eksekutif perusahaan, dan pelaku usaha, kasus ini seharusnya menjadi pengingat bahwa kepatuhan terhadap regulasi bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk perlindungan terhadap stakeholders dan diri sendiri. Selalu berkonsultasi dengan ahli hukum sebelum mengambil keputusan bisnis yang memiliki implikasi hukum signifikan.

Jika Anda sedang menghadapi permasalahan hukum terkait aspek korporasi, perbankan, atau investasi, tim kami siap membantu memberikan pendampingan hukum komprehensif untuk memastikan kepatuhan regulasi dan melindungi kepentingan Anda. Hubungi kami untuk konsultasi awal dan temukan solusi hukum terbaik untuk bisnis Anda.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :