Beberapa profesional terkadang bermimpi menduduki kursi direksi di suatu korporasi/perusahaan, keinginan tersebut di perjuangkan dengan mengorbankan waktu, energi, dan keahlian, memimpin perusahaan selama bertahun – tahun. Tetapi saatnya menuntut remunerasi, perusahaan justru bungkam seribu bahasa, menolak memberikan remunerasi, gaji dan/atau kompensasi. Satu kasus yang layak dipelajari adalah kasus yang menimpa seorang direktur sekaligus salah satu pendiri PT WOSI, yang bersangkutan disingkirkan tanpa menerima sepeserpun dari hak-hak finansialnya. Kasus ini layak menjadi preseden hukum yang menegaskan bahwa pengabaian hak direksi dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Jabatan Tinggi Tanpa Gaji
Menjabat sebagai direksi perusahaan bukan perkara sepele. Seorang direktur memikul tanggung jawab fiduciary yang besar, termasuk kewajiban loyalitas, kehati-hatian, dan itikad baik. Mereka berhadapan dengan risiko pertanggungjawaban pribadi atas kerugian perusahaan jika terbukti lalai. Dengan tanggung jawab sebesar itu, wajar jika seorang direktur berhak mendapatkan gaji, tunjangan, kompensasi dan/atau remunerasi yang sepadan.
Dalam Putusan MA No. 3164 K/Pdt/2015 dapat dipelajari suatu kasus dimana seorang direktur sekaligus pendiri PT WOSI selama bertahun tahun mengabdi tanpa gaji, tunjangan, dan/atau kompensasi. Ia bahkan harus menghadapi intimidasi dan tuduhan dari internal sampai penonaktifan lisan yang tidak sah. Tidak terima dengan perlakuan perusahaan, akhirnya yang bersangkutan menempuh upaya hukum dengan mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ke pengadilan negeri jakarta selatan, sampai ke tingkat kasasi ke mahkamah agung.
Terhadap gugatan tersebut, Mahkamah Agung dalam Putusan MA No. 3164 K/Pdt/2015 memberikan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa sesuai fakta di persidangan Penggugat adalah Direktur Tergugat tetapi sejak menduduki dan melaksanakan jabatannya Penggugat belum pernah menerima hak keuangan/gaji sebagai Direktur, karena itu telah tepat Tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum sehingga layak dihukum membayar gaji Penggugat sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti”
Kewajiban Perusahaan Terhadap Direksi
Untuk memahami signifikansi putusan tersebut, kita perlu menelaah kerangka normatif yang mengatur hubungan perusahaan dan direksinya.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur adanya gaji terhadap direksi. Pasal 96 ayat (1) UUPT menyatakan bahwa “Ketentuan tentang besarnya gaji dan tunjangan anggota Direksi ditetapkan berdasarkan keputusan RUPS.” Ayat (2) lebih lanjut menyatakan bahwa “Kewenangan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Dewan Komisaris.”
Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa gaji dan tunjangan direksi adalah hak yang diakui secara hukum. Meski jumlahnya harus ditentukan melalui mekanisme korporasi (RUPS atau Dewan Komisaris), eksistensi dari hak itu sendiri tidak bisa dinegasikan.
Selain itu, jika kita merujuk pada Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum, terdapat beberapa unsur yang harus dipenuhi: adanya perbuatan, perbuatan tersebut melawan hukum karena kesalahan atau kelalaian, adanya kerugian, dan yang paling penting adanya kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum. Pengabaian kewajiban membayar gaji/remunerasi terhadap direksi yang telah menjalankan tugasnya dengan baik, jelas memenuhi semua unsur tersebut.
Relasi Direksi dan Perusahaan Tidak Absolut
Kasus ini membuka sisi lain dari pengelolaan korporasi terhadap satu hal “Direksi bukan boneka korporasi“, Mereka adalah organ vital yang, meski memiliki kewajiban terhadap perusahaan, tetapi juga punya hak yang harus dihormati. Tidak menggaji direksi, terlebih terhadap yang aktif menjalankan tugas, dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana Pasal 1365 KUH Perdata.
Kepada para pemegang saham mayoritas dan pemilik usaha, kasus pada artikel ini ini harus menjadi pengingat bahwa kekuasaan atas perusahaan bukan berarti kekuasaan tak berbatas terhadap manusia yang sedang mengelolanya, “hak tidak pernah mati hanya karena tidak tertulis.”
Implikasi bagi Direksi dan Perusahaan
Bagi para direksi yang sedang atau akan menjabat, putusan di atas memberikan perlindungan hukum yang signifikan. Beberapa implikasi praktis yang perlu diperhatikan:
- Dokumentasikan Kesepakatan Remunerasi. Pastikan besaran gaji dan tunjangan direksi tertuang dalam dokumen resmi, baik itu risalah RUPS, keputusan Dewan Komisaris, atau kontrak manajemen/penugasan direksi.
- Perjelas Mekanisme Pembayaran. Tentukan jadwal, metode, dan kondisi pembayaran gaji, tunjangan, kompensasi dan/atau remunerasi untuk menghindari ambiguitas.
- Pisahkan Peran Ganda. Jika seorang direktur juga pemegang saham, pisahkan secara jelas hak-haknya dalam dua kapasitas tersebut untuk menghindari konflik seperti dalam kasus pada artikel ini.
- Tinjau Kebijakan Remunerasi Secara Berkala. Evaluasi dan sesuaikan kebijakan remunerasi direksi dengan perkembangan bisnis dan kontribusi direksi.
Bagi perusahaan, putusan ini menegaskan pentingnya tata kelola korporasi yang baik (good corporate governance) khususnya dalam aspek remunerasi direksi:
- Formalitas RUPS dalam Penetapan Remunerasi. Perusahaan harus memastikan bahwa remunerasi direksi ditetapkan melalui mekanisme formal yang sesuai dengan UUPT dan anggaran dasar.
- Transparansi dan Akuntabilitas. Kebijakan remunerasi harus transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama kepada pemegang saham.
- Keseimbangan antara Kinerja dan Remunerasi. Kaitkan remunerasi direksi dengan kinerja perseroan untuk menciptakan insentif yang tepat.
- Pencatatan Keuangan yang Akurat. Pastikan kewajiban perusahaan terhadap direksi tercatat dengan baik dalam pembukuan perusahaan.
Menyeimbangkan Hak dan Tanggung Jawab
Putusan MA No. 3164 K/Pdt/2015 merupakan langkah maju dalam evolusi hukum perusahaan di Indonesia. Dengan mengakui bahwa pengabaian remunerasi direksi merupakan perbuatan melawan hukum, Mahkamah Agung telah memberikan perlindungan yang lebih baik bagi organ perseroan, yang seringkali berada dalam posisi tawar yang lemah. khususnya jika direksi bukan pemegang saham mayoritas.
Namun, seperti halnya setiap perkembangan hukum, putusan ini perlu diterapkan dengan bijak dan seimbang. Tujuan utamanya bukan untuk menciptakan ketidakseimbangan baru dalam relasi direksi dan perusahaan, melainkan untuk memastikan bahwa hak dan tanggung jawab terdistribusikan secara adil dan proporsional.
Membutuhkan bantuan hukum terkait kompensasi Direksi, sengketa pemegang saham, atau persoalan korporasi lainnya? Tim kami siap membantu dengan analisis mendalam dan pendampingan profesional. Hubungi dan kunjungi kami di www.ercolaw.com untuk konsultasi awal dan diskusi tentang bagaimana kami dapat membantu Anda mewujudkan tata kelola korporasi yang baik dan berkelanjutan.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw