Owner Proyek Putus Kontrak Sepihak

Owner Putus Kontrak Sepihak Dihukum Ganti Rugi Puluhan Miliar

Bagikan :

Tulisan kali ini mengangkat pemasalahan hukum dalam industri konstruksi, khususnya terkait proyek bernilai miliaran rupiah yang berhenti bukan karena kelalaian kontraktor, melainkan karena ketiadaan stock material dengan spesifikasi tertentu, akibat produsen tidak melanjutkan produksi karena material tersebut tidak sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI). Terhadap kondisi tersebut, Kontraktor akhirnya mengajukan usulan negosiasi teknis, termasuk penggantian material dengan kualitas yang lebih tinggi sesuai SNI. Sayangnya, pihak pemilik proyek (owner) tidak menanggapi dan justru melakukan pemutusan kontrak sepihak dengan mencairkan jaminan pelaksanaan.

Isu di atas merupakan pokok perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No. 200 PK/Pdt/2025 yang menjadi dinamika dalam sengketa konstruksi. Dalam putusan tersebut, Mahkamah Agung (MA) secara tidak langsung menyatakan bahwa terhadap kondisi tersebut menuntut penyesuaian yang rasional dan profesional dari semua pihak yang terlibat dalam kontrak konstruksi.

Itikad Baik dan Prinsip Proporsionalitas

Dalam industri konstruksi, perubahan spesifikasi teknis dalam kontrak adalah hal yang wajar untuk menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Namun, terkadang konflik yang muncul bukan karena perubahan spesifikasi teknis, melainkan akibat dari kegagalan pihak terkait melakukan penyesuaian kontraktual. Putusan Mahkamah Agung No. 200 PK/Pdt/2025 menegaskan secara implisit tiga prinsip dalam pelaksanaan kontrak konstruksi, mulai dari itikad baik sebagai kewajiban kontraktual, profesionalitas dalam menyikapi penyesuaian dan perubahan teknis, dan kesetaraan dalam negosiasi yang konstruktif. Putusan tersebut secara khusus menyoroti tanggung jawab para pihak disaat menghadapi perubahan kondisi lapangan yang memerlukan modifikasi teknis.

Pada kasus tersebut, Kontraktor telah mengajukan usulan penggantian tiang pancang beton dari mutu K-450 menjadi K-600 yang merupakan material dengan kualitas lebih tinggi sesuai SNI dibuktikan dengan justifikasi teknis yang komprehensif. Namun, owner tetap tidak merespons, dan memilih memutuskan kontrak sepihak dengan mencairkan jaminan pelaksanaan. Tindakan tersebut dinilai oleh Mahkamah Agung bertentangan dengan prinsip dasar pelaksanaan kontrak konstruksi, dan melanggar asas proporsionalitas.

BACA:  Pekerjaan Sudah Diserahterimakan, Retensi Wajib Dibayar!

PMH dan Kewajiban Ganti Rugi

Baik dalam Putusan No. 97/Pdt/2021/PT.PLG Jo. Putusan MA No. 200 PK/Pdt/2025, pengadilan secara implisit menekankan bahwa:

  1. Sikap diam owner tidak merespon usulan perubahan spesifikasi teknis dari kontraktor menunjukkan itikad tidak baik
  2. Perubahan spesifikasi teknis berdasarkan data lapangan harus direspons secara konstruktif melalui negosiasi, bukan dengan pemutusan kontrak
  3. Pemutusan kontrak sepihak tanpa justifikasi hukum dan teknis adalah perbuatan melawan hukum (PMH)
  4. Pencairan jaminan pelaksanaan tanpa dasar valid adalah tindakan yang merugikan dan melanggar asas proporsionalitas

Konsekuensinya, Mahkamah Agung menjatuhkan vonis bahwa pemilik proyek harus mengganti seluruh kerugian kontraktor, yang terdiri dari nilai jaminan pelaksanaan yang dicairkan, biaya-biaya pekerjaan yang sudah dilakukan, hingga potensi keuntungan yang hilang dengan total nilai mencapai puluhan miliar rupiah.

Negosiasi dan Prinsip Itikad Baik

Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya menyatakan bahwa kesulitan memperoleh material tidak termasuk force majeure dalam pengertian Pasal 1244–1245 KUHPerdata (lihat di artikel Ercolaw berikut). Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung No. 200 PK/Pdt/2025, secara tersirat menyatakan bahwa ketiadaan stock material dengan spesifikasi tertentu akibat produsen tidak melanjutkan produksi tidak termasuk force majeure, melainkan suatu kondisi diluar kendali Kontraktor yang memerlukan penyesuaian teknis dan komersial secara wajar. Secara lengkap pertimbangan MA sesuai kutipan berikut:

“Bahwa tidak terlaksananya pekerjaan pembangunan gedung milik Tergugat I oleh Penggugat sesuai dengan adendum perjanjian kontrak diakibatkan oleh keadaan di luar kendali Penggugat yaitu beton tiang pancang sebagaimana ditentukan dalam RAB dengan spek K-450 tidak lagi diproduksi oleh produsen PT Wika Beton maupun produsen lain karena tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI);

Bahwa Tergugat I tidak keberatan atas usul Penggugat untuk menggunakan mutu beton sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) yaitu bentuk bulat (spun pile) diameter 40 mutu beton K-600, tetapi tanpa alasan dan kepastian pihak Tergugat tidak memberikan tanggapan terhadap usulan perubahan harga serta justifikasi teknis, sehingga Penggugat tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan adendum perjanjian kontrak, perbuatan Tergugat I yang menolak menandatangani kontrak dan justru melakukan pemutusan kontrak secara sepihak adalah perbuatan melawan hukum, begitu juga Tergugat II yang menolak memberikan justifikasi teknis, serta Tergugat III yang mencairkan Bank Garansi Jaminan Pelaksanaan dan Bank Garansi Jaminan merupakan perbuatan melawan hukum”

Tindakan kontraktor yang mengajukan substitusi material dengan mutu lebih tinggi (dari K-450 ke K-600) justru dinilai sebagai bentuk adaptasi profesional yang patut diapresiasi, bukan malah di abaikan. Kemudian, apabila owner tetap tidak merespons dan memilih memutus kontrak sepihak dengan mencairkan bank garansi, justru tindakan tersebut dikualifikasi sebagai Perbuatan Melawan Hukum.

BACA:  Kontraktor Wanprestasi? Hati Hati, Jangan Langsung Gugat!

Prinsip Hukum yang Ditegakkan

Putusan-putusan tersebut menegaskan beberapa prinsip hukum fundamental dalam kontrak konstruksi:

  • Sikap diam owner tidak merespon usulan perubahan teknis dari kontraktor menunjukkan itikad tidak baik
  • Ketiadaan stock material dengan spesifikasi tertentu akibat produsen tidak melanjutkan produksi, harus direspons dengan negosiasi bukan pemutusan sepihak
  • Perbuatan melawan hukum bukan hanya dalam bentuk tindakan aktif (pemutusan, pencairan), tetapi juga dalam bentuk kelalaian memberi respons atas usulan perubahan teknis untuk keberlangsungan kontrak

Antisipasi Pelaku Usaha Konstruksi

Agar tidak jatuh dalam sengketa serupa, para pelaku industri konstruksi perlu mengambil langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Cantumkan klausul perubahan material dalam kontrak, termasuk konsekuensi harga dan prosedur persetujuan teknis
  2. Bentuk panel teknis independen yang bisa memberikan justifikasi cepat dalam situasi perubahan spesifikasi
  3. Perkuat tim legal dan teknis untuk bisa mengantisipasi implikasi hukum dari perubahan SNI atau peraturan pemerintah lainnnya
  4. Perioritaskan dokumentasi dan komunikasi tertulis, dalam setiap usulan teknis maupun negosiasi sebagai bukti hukum

Kesimpulan

Pemutusan kontrak sepihak bukan hanya soal hubungan bisnis, tapi juga soal tanggung jawab hukum. Dalam hal terjadi perubahan standar teknis yang mempengarugi kelangsungan proyek, semua pihak wajib mengedepankan prinsip negosiasi, keterbukaan, dan responsif terhadap usulan teknis.

Seperti terlihat dalam Putusan No. 97/Pdt/2021/PT.PLG dan Putusan MA No. 200 PK/Pdt/2025, pengadilan kini semakin tegas memihak pada keadilan substansial dan itikad baik dalam praktik bisnis konstruksi. Kesalahan owner proyek dengan bersikap pasif, dan agresif memutus kontrak dengan mencairkan jaminan tanpa dasar, bukan hanya keliru secara etik, tapi juga fatal secara hukum.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :