Menolak Klaim Pekerjaan Perbuatan Melawan Hukum

Menolak Klaim Pekerjaan Yang Sudah di Nikmati, Perbuatan Melawan Hukum

Bagikan :

Sebuah proyek konstruksi selesai dibangun, masyarakat telah menikmati manfaatnya, tetapi ketika kontraktor menagih pembayaran, pihak yang memberikan pekerjaan justru menolak membayar. Ini bukan sekadar cerita fiktif, tetapi realitas yang dialami CV. Jeri Prima selaku kontraktor dalam kasus Pembuatan Parit Pas Batu dan Jalan Tari Jepen di Bontang.

Pada tahun 2007, CV. Jeri Prima ditunjuk sebagai kontraktor oleh Dinas Pekerjaan Umum Kota Bontang untuk mengerjakan Pembuatan Parit Pas Batu dan Jalan Tari Jepen di Bontang berdasarkan penunjukan lisan. Setelah CV. Jeri Prima mengerjakan proyek tersebut hingga tuntas dan mengajukan tagihan, Pemerintah Kota Bontang justru menolak melakukan pembayaran. Dalam kondisi tersebut apakah Pemerintah Kota Bontang wanprestasi, atau perbuatan melawan hukum?, berikut pelajaran singkat dari kasus CV. Jeri Prima.

Eksistensi Hak Ketika Kontrak Tidak Tertulis

Dalam sengketa ini, pemerintah berargumen bahwa tidak ada kontrak tertulis yang mengikat mereka untuk membayar pekerjaan CV. Jeri Prima. Padahal, pengerjaan proyek telah disetujui secara lisan, bahkan diawasi oleh pengawas dari Dinas Pekerjaan Umum. Di sisi lain, CV. Jeri Prima mengalami kerugian besar:

  1. Kerugian Materil: Proyek yang dikerjakan senilai Rp425.464.000,00 didanai dari pinjaman bank dengan bunga 5% per bulan selama 60 bulan, yang mengakibatkan total kerugian materiil mencapai Rp1.276.392.000,00.
  2. Kerugian Immaterial: Kredibilitas perusahaan tercoreng, waktu dan tenaga terkuras, serta dampak reputasi yang tak ternilai.

Mahkamah Agung dalam Putusan No. 2741 K/Pdt/2014 akhirnya memenangkan gugatan CV. Jeri Prima. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menegaskan bahwa Pemerintah Kota Bontang tidak hanya mengetahui adanya proyek tersebut, tetapi juga membiarkan pelaksanaan tanpa ada keberatan. Bahkan, publik telah menikmati manfaatnya. Oleh karena itu, pemerintah dihukum membayar ganti rugi senilai Rp936.020.800,00.

Lalu, pelajaran apa yang bisa diambil dari kasus tersebut?

Celah Hukum dalam Kontrak Konstruksi

Kasus ini membuka perdebatan besar mengenai kontrak dalam proyek konstruksi. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian sah apabila memenuhi empat syarat:

  1. Kesepakatan para pihak,
  2. Kecakapan untuk membuat perikatan,
  3. Suatu objek tertentu, dan
  4. Sebab yang halal.

Secara teori, kontrak lisan memenuhi unsur kesepakatan, tetapi bagaimana dengan bukti pelaksanaan? Di dalam industri konstruksi, Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi mengatur bahwa kontrak harus berbentuk tertulis. Namun, dalam praktiknya, proyek sering kali berjalan dengan kesepakatan lisan karena adanya urgensi pekerjaan atau adanya pekerjaan tambah.

Dilema ketiadaan kontrak tertulis juga terkait dengan konsep unjustified enrichment (pengayaan tanpa sebab yang sah) sebagaimana dibahas dalam berbagai literatur hukum. Jika salah satu pihak memperoleh manfaat dari pekerjaan pihak lain tetapi menolak membayar, apakah itu dapat dibenarkan? Dalam hukum internasional, termasuk dalam ketentuan FIDIC (Fédération Internationale des Ingénieurs-Conseils), prinsip quantum meruit berlaku—yaitu hak untuk dibayar sesuai manfaat yang diterima.

Apa yang Perlu Dilakukan Kontraktor

Kasus ini memberikan pelajaran berharga bagi kontraktor, terutama yang berhadapan dengan instansi pemerintah. Ada beberapa langkah mitigasi risiko yang dapat diterapkan:

  1. Selalu Dokumentasikan Kontrak Secara Tertulis
    Sebaik apa pun hubungan dengan pemberi kerja, kontrak tertulis adalah senjata utama dalam melindungi hak hukum. Jangan pernah bergantung pada janji lisan, meskipun jika ada saksi atau pengawas.
  2. Gunakan Bukti Alternatif Jika Kontrak Tertulis Tidak Ada
    Jika sudah terlanjur bekerja tanpa kontrak tertulis, kumpulkan bukti alternatif seperti:
    • Bukti komunikasi (surat/email/percakapan resmi),
    • Laporan pengawasan proyek,
    • Bukti pembayaran material dan tenaga kerja,
    • Foto/video perkembangan proyek.
  3. Gunakan Prinsip Quantum Meruit & Unjustified Enrichment
    Jika terjadi sengketa, gunakan prinsip hukum unjust enrichment dan Quantum Meruit dalam pengajuan klaim atas hak yang seharusnya diterima oleh Kontraktor. Dalam beberapa putusan mahkamah agung, termasuk dalam kasus CV. Jeri Prima, pengadilan melihat aspek manfaat yang sudah diterima oleh pemberi kerja, untuk meneguhkan hak kontraktor.
  4. Gunakan Jalur Hukum yang Tepat
    Jika menghadapi penolakan pembayaran, opsi yang tersedia antara lain:
    • Mengajukan gugatan wanprestasi (jika ada bukti kontrak),
    • Gugatan perbuatan melawan hukum (jika tidak ada kontrak tertulis),
    • Arbitrase jika disepakati dalam kontrak atau regulasi konstruksi.

Perlindungan Hukum dalam Bisnis Konstruksi

Sengketa seperti ini bukan hal yang langka. Banyak kontraktor yang mengalami permasalahan serupa tetapi tidak mengetahui cara melindungi haknya. Jika Anda sedang menghadapi kasus sengketa konstruksi, konsultasikan dengan tim hukum yang berpengalaman untuk memastikan Anda tidak dirugikan. Hubungi kami di Ercolaw untuk mendapatkan solusi terbaik bagi bisnis Anda.

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :