Pengalihan Saham di Bawah Tekanan

Pengalihan Saham di Bawah Tekanan

Bagikan :

Saham dalam sebuah perseroan terbatas bukan sekadar angka di laporan keuangan; saham merupakan bukti atas hak dan kendali yang dapat menentukan nasib perusahaan. Namun, bagaimana jika pengalihan saham terjadi di bawah tekanan, intimidasi, atau bahkan penipuan? Apakah perjanjian semacam itu tetap sah atau batal demi hukum? Kasus Goenarni Goenawan vs. PT Pacific Royale Airways dapat menjadi salah satu preseden penting dalam hukum perdata dan korporasi di Indonesia.

Ketidaksahan Pengalihan Saham

Dalam kasus ini, Goenarni Goenawan, selaku pemegang saham mayoritas (51%), dipaksa mengalihkan sahamnya kepada pihak lain dalam kondisi penuh tekanan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 3219 K/Pdt/2016, pengalihan tersebut dinyatakan batal demi hukum karena:

  1. Tidak Memenuhi Syarat Sah Perjanjian
    Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, kesepakatan tidak sah jika dibuat dalam keadaan paksaan, penipuan, atau kekhilafan. Dalam perkara ini, pengalihan saham dilakukan dengan ancaman fisik dan psikologis, sehingga tidak ada “kesepakatan” yang sah antara para pihak.
  2. Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh Para Tergugat
    Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa perbuatan melawan hukum terjadi jika suatu tindakan melanggar hukum, menyalahi hak orang lain, bertentangan dengan kepatutan, atau menyebabkan kerugian. Dalam kasus ini, tindakan pemaksaan, intimidasi, dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para tergugat jelas merupakan PMH.
  3. Pelanggaran terhadap Undang-Undang Perseroan Terbatas
    Pengalihan saham dalam sebuah perseroan terbatas harus mengikuti mekanisme yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 87, Pasal 125 ayat (7), Pasal 126 ayat (2), dan Pasal 127 ayat (2) UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Dalam perkara tersebut, proses pengalihan dilakukan tanpa melalui prosedur RUPS yang sah dan tanpa memberikan kesempatan kepada pemegang saham untuk menyatakan ketidaksetujuannya.

Prinsip Kesepakatan Yang Sah

Mahkamah Agung dalam putusannya menegaskan bahwa pengalihan saham dalam kondisi intimidasi adalah tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ini sejalan dengan prinsip hukum yang berlaku, yaitu bahwa suatu perjanjian yang dibuat di bawah tekanan dapat dibatalkan. Hal ini diperkuat oleh berbagai preseden hukum yang telah menegaskan bahwa paksaan dalam kontrak membatalkan unsur kesepakatan yang merupakan elemen esensial dari perjanjian. Dari sisi hukum bisnis, putusan ini menegaskan bahwa pemegang saham yang dirugikan oleh pengalihan saham secara tidak sah dapat menuntut pembatalan transaksi dan meminta ganti rugi. Dalam perkara ini, Goenarni mengalami kerugian sebesar Rp218,3 miliar secara materiil, serta Rp500 miliar sebagai kerugian immateriil akibat rusaknya reputasi bisnisnya.

Pelajaran Penting

Kasus ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi pemegang saham dan pengelola perusahaan:

  1. Perjanjian yang Dibuat dalam Kondisi Paksaan Adalah Batal Demi Hukum
    Tidak hanya dalam hukum perdata, dalam konteks bisnis dan perseroan terbatas, setiap transaksi yang dilakukan dengan cara intimidasi atau ancaman adalah cacat hukum dan tidak dapat dipertahankan.
  2. Kepatuhan Prosedur Pengalihan Saham adalah Kunci
    Setiap pengalihan saham dalam perseroan terbatas harus memenuhi ketentuan RUPS dan pengumuman yang sah, sebagaimana diatur dalam UUPT. Jika tidak, pengalihan tersebut dapat dianggap tidak sah dan dapat dibatalkan di pengadilan.
  3. Pentingnya Notaris Melakukan Pengawasan Transaksi Saham
    Notaris memiliki peran krusial dalam memastikan bahwa setiap transaksi sah dan dilakukan tanpa paksaan. Dalam kasus ini, notaris (Tergugat III) justru memfasilitasi pengalihan saham yang tidak sah, sehingga ikut bertanggung jawab dalam perbuatan melawan hukum.

Antisipasi Situasi Serupa

Jika Anda mengalami tekanan untuk menandatangani suatu perjanjian, termasuk pengalihan saham, berikut langkah yang perlu dilakukan :

  1. Segera Konsultasikan dengan Pengacara
    Jangan pernah menandatangani dokumen dalam kondisi di bawah tekanan. Konsultasikan dengan pengacara bisnis atau korporasi yang memahami hukum perdata dan perseroan terbatas.
  2. Laporkan ke Pihak Berwenang
    Jika Anda merasa diintimidasi atau dipaksa, laporkan kejadian tersebut ke kepolisian. Seperti dalam kasus ini, laporan kepolisian terhadap Tergugat II dan IV berujung pada status mereka sebagai tersangka tindak pidana.
  3. Ajukan Gugatan Perdata untuk Pembatalan
    Jika perjanjian sudah terlanjur ditandatangani, Anda tetap bisa mengajukan gugatan ke pengadilan untuk meminta pembatalan perjanjian dan restitusi atas kerugian yang dialami.
  4. Pastikan Setiap Transaksi Saham Mengikuti Prosedur
    Jika Anda pemegang saham atau direksi perusahaan, pastikan setiap transaksi saham dilakukan sesuai UUPT dan diawasi oleh penasihat hukum profesional untuk menghindari risiko hukum di kemudian hari.

Integritas dalam Transaksi Saham

Kasus Goenarni Goenawan vs. PT Pacific Royale Airways bukan hanya sekadar sengketa bisnis, tetapi juga pengingat pentingnya hukum dalam menjaga keadilan bagi pemegang saham. Perjanjian yang dibuat dalam kondisi tekanan atau intimidasi tidak sah dan dapat dibatalkan oleh pengadilan. Jika Anda menghadapi permasalahan serupa atau ingin memastikan transaksi bisnis Anda bebas dari risiko hukum, tim hukum kami di Ercolaw siap membantu Anda. Konsultasikan segera agar hak dan kepentingan Anda tetap terlindungi.


Bagikan :