Potensi Pidana Korupsi di Balik Kredit Macet

Risiko Pidana Korupsi di Balik Kredit Macet

Bagikan :

Dalam bisnis perbankan, kredit macet adalah bagian dari risiko yang inheren. Fluktuasi pasar, kegagalan bisnis debitur, atau faktor eksternal lainnya sangat mungkin menyebabkan pinjaman yang awalnya sehat berubah menjadi non-performing loan (NPL). Secara umum, kondisi tersebut menjadi permasalahan antara kreditur dan debitur yang diselesaikan secara perdata melalui restrukturisasi, eksekusi agunan, atau mekanisme PKPU dan kepailitan.

Namun, terhadap debitur peminjam dan para pengambil keputusan yang terkait dengan keuangan negara atau daerah pada Bank BUMN maupun BUMD terkadang memiliki skenario penyelesaian yang berbeda, permasalahan perdata berpotensi berubah menjadi masalah pidana. Keputusan yang dahulu menjadi dasar penyaluran kredit yang kemudian macet dapat dengan mudah dibingkai menjadi dugaan “perbuatan melawan hukum” yang “merugikan keuangan negara,” dua unsur esensial dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibatnya, direksi dan atau pengambil keputusan yang tadinya hanya berhadapan dengan risiko bisnis, harus berhadapan dengan ancaman pidana penjara. Inilah paint point utama yang dihadapi para pengambil keputusan di Bank BUMN dan BUMD, ketidakpastian atas sebuah keputusan bisnis yang salah berpotensi dinilai sebagai kejahatan.

Titik Temu Risiko Bisnis dan Pidana Korupsi

Beberapa problematika kunci yang sering ditemui dari uraian permasalahan di atas antara lain:

  1. Kerugian Bisnis menjadi Kerugian Negara
    Kredit macet yang menjadi kerugian bisnis perbankan umumnya karena kegagalan usaha debitur atau fluktuasi pasar. Meski demikian, apabila dahulu dasar tindakan manajemen bank atau pejabat kredit di hasilkan dari proses yang menyimpangi kebijakan internal dan/atau “mengabaikan” SOP yang menjadi sistem kontrol, maka kondisi tersebut berpotensi dinilai sebagai Perbuatan Melawan Hukum/PMH (actus reus) dan pemenuhan unsur kesalahan (mens rea), yang pada akhirnya menyebabkan kerugian kredit macet dinilai sebagai kerugian negara.

  2. Pengabaian Business Judgment Rule
    Keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik (good faith) dan kehati-hatian, secara teori akan memberikan perlindungan hukum hukum terhadap pengurus Bank BUMN dan BUMD. Namun dalam praktik, aparat penegak hukum seringkali mengabaikan prinsip business judgment rule dan langsung mengkriminalisasi keputusan yang berujung kerugian, setelah mendapati adanya fakta ketidakpatuhan dari para pengambil keputusan di Bank BUMN dan BUMD, sekalipun hal tersebut bersifat administratif.

  3. Standar Ganda Penilaian Agunan
    Penilaian agunan yang dilakukan oleh appraisal independen saat kredit disalurkan pada beberapa kasus ditolak oleh aparat penegak hukum, karena aparat penegak hukum menggunakan penilaian baru yang nilainya lebih rendah, sehingga menciptakan jumlah kerugian yang kemudian menjadi salah dasar tuntutan pidana korupsi.

  4. Perbedaan Waktu Penilaian
    Keputusan kredit macet dinilai dengan informasi pasca-macet bukan dengan informasi yang tersedia saat keputusan dibuat, sehingga menciptakan unfair assessment terhadap para pengambil keputusan. 

BACA:  Tidak Penuhi DMO Bisa Dipidana

Penilaian Mahkamah Agung Kasus Kredit Macet

Untuk memahami pola penilaian aparat penegak hukum dan pengadilan terkait kasus kredit macet, kita dapat meninjau dua putusan Peninjauan Kembali (PK) yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Putusan tersebut dapat menjadi referensi bagi para pengambil keputusan dalam menavigasi kebijakan kredit.

1. Putusan MA No. 116 PK/Pid.Sus/2009: Pelanggaran Prosedur Pintu Masuk PMH

Dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung menegaskan adanya hubungan kausal antara perbuatan terpidana dengan kerugian negara. Poin krusialnya bukan semata-mata pada terjadinya kerugian, melainkan pada fakta bahwa pemberian kredit “menyimpang dari SK Direksi BI No. 27/162/Kep/Dir tanggal 31 Maret 1995 dan kebijakan perkreditan PT. Bank Mandiri tahun 2000.”

Analisis terhadap putusan tersebut menunjukan bahwa perbuatan melawan hukum tidak harus berupa kejahatan dalam bentuk penipuan atau penggelapan. Pelanggaran terhadap prosedur internal (SOP), kebijakan perkreditan, dan regulasi Bank Indonesia sudah cukup untuk memenuhi unsur PMH. Putusan tersebut seolah mengirimkan sinyal kuat bahwa kepatuhan prosedural bukanlah formalitas administratif, melainkan suatu pertahanan hukum yang utama, dan kepatuhan adalah bukti nyata adanya itikad baik dan kehati-hatian.

2. Putusan MA No. 109 PK/PID.SUS/2015: Upaya Pemulihan dan Penilaian yang Sia-sia

Putusan ini memperkuat argumen sebelumnya. Mahkamah Agung menolak novum (bukti baru) yang diajukan terpidana dengan pertimbangan bahwa terpidana selaku pimpinan bank “telah menyetujui kredit … padahal tidak memenuhi persyaratan untuk itu.” Pengajuan bukti pembayaran angsuran atau hasil penilaian agunan yang berbeda setelah penyaluran kredit tidak mampu membebaskan terpidana dari tanggung jawab.

Pesan hukum dalam putusan tersebut menyatakan secara tegas, bahwa cacat yang terjadi sejak proses awal persetujuan kredit tidak dapat “dibenarkan” dengan penilaian dan peristiwa yang terjadi kemudian. Jika analisis kelayakan dan uji tuntas (due diligence) sejak awal sudah tidak memadai atau sengaja diabaikan, maka sajak saat itu risiko pertanggungjawaban pidana terbuka bagi pihak terkait, hal tersebut menggarisbawahi pentingnya integritas pada fase prakredit.

Kedua putusan tersebut membuktikan bahwa pengadilan tidak mengkriminalisasi risiko bisnis. Pengadilan mengkriminalisasi pengabaian proses, pelanggaran prosedur, dan ketiadaan itikad baik dari para pengambil keputusan kredit pada Bank BUMN dan BUMD yang berujung pada kerugian negara. Inilah perbedaan mendasar yang wajib dipahami setiap eksekutif persero.

BACA:  Risiko Membagi Dividen Interim Tanpa Audit Keuangan

Mitigasi Risiko Para Pengambil Keputusan Kredit

Berbekal pemahaman terhadap preseden hukum di atas, persero dapat merancang strategi perlindungan hukum yang proaktif dalam mengelola potensi risiko tindak pidana. Berikut usulan kerangka kerja yang mendasarkan pada penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan asas hukum yang relevan.

AspekRisiko Hukum
(Berdasarkan Putusan MA)
Strategi Mitigasi &
Prinsip Hukum Terkait
1. Uji Tuntas & Analisis Kelayakan (Due Diligence)Analisis yang dangkal atau manipulatif dianggap sebagai pembiaran atau kesengajaan dalam pidana (vide Putusan MA No. 109 PK/PID.SUS/2015).Strategi: Implementasikan sistem penilaian kredit yang objektif, berlapis, dan terdokumentasi (5C/7P analysis). Pastikan setiap asumsi didukung data valid.
Prinsip: Kehati-hatian dan Fiduciary Duty.
2. Kepatuhan Prosedur Internal (SOP & GCG)Penyimpangan dari SOP/kebijakan internal adalah “perbuatan melawan hukum” yang menjadi dasar tuntutan korupsi (vide Putusan MA No. 116 PK/Pid.Sus/2009).Strategi: Perlakukan SOP sebagai “kitab suci” proses kredit. Setiap deviasi harus disertai justifikasi tertulis yang kuat dan disetujui oleh level otoritas yang lebih tinggi.
Prinsip: Asas Legalitas, Lex scripta, lex certa.
3. Penilaian AgunanPenilaian agunan yang tidak independen atau digelembungkan menjadi indikator kuat adanya mens rea (niat jahat) untuk menguntungkan pihak tertentu.Strategi: Wajibkan penggunaan minimal dua penilai independen dengan reputasi kompetensi yang valid. Dokumentasikan dasar perbandingan dan metodologi penilaian secara transparan.
Prinsip: Asas Itikad Baik (Good Faith).
4. Manajemen Benturan Kepentingan (Conflict of Interest)Hubungan terafiliasi yang tidak diungkapkan antara komite kredit dengan debitur dapat ditafsirkan sebagai kolusi.Strategi: Terapkan kewajiban deklarasi benturan kepentingan secara periodik bagi seluruh pengambil keputusan. Lakukan screening hubungan bisnis dan keluarga.
Prinsip: Transparansi, Akuntabilitas (Prinsip GCG).
5.Dokumentasikan Risalah Keputusan (Record Keeping)Tanpa dokumentasi yang lengkap, pembelaan terhadap keputusan yang diambil berdasarkan Business Judgment Rule menjadi lemah dan tidak berdasar.Strategi: Buat risalah rapat komite kredit yang detail. Catat perbedaan pendapat (dissenting opinion) dan dasar pengambilan keputusan. Arsipkan seluruh dokumen analisis sebagai “jejak audit”.
Prinsip: Business Judgment Rule.

Mengubah Teori Menjadi SOP Operasional

Pertama, ubah mindset. SOP dan checklist kepatuhan bukanlah sekedar dokumen formal administratif dan beban birokrasi, melainkan instrumen perlindungan hukum yang paling vital saat risiko pidana terjadi. Dokumentasi tersebut membuktikan implementasi dari itikad baik para pengambil keputusan kredit untuk memenuhi kepatuhan hukum baik internal maupun eksternal.

BACA:  Kontraktor Wanprestasi? Hati Hati, Jangan Langsung Gugat!

Kedua, terapkan prinsip “semua harus tertulis” Setiap diskusi, analisis, dan perdebatan mengenai kelayakan seorang debitur harus tercatat. Adanya dissenting opinion yang tercatat dalam risalah justru menunjukkan bahwa proses pengambilan keputusan berjalan sehat dan tidak ada konflik kepentingan, sekaligus menjadi alat bukti yang mungkin akan meringankan beberapa pihak di kemudian hari.

Ketiga, berinvestasi pada pelatihan pelatihan hukum yang berkelanjutan. Pastikan setiap anggota tim, analis kredit hingga para pengambil keputusan kredit memahami batas tipis antara keputusan bisnis yang berisiko perdata dan kesalahan yang berisiko pidana. Hal tersebut sejalan dengan semangat UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang mengamanatkan direksi untuk menjalankan tugasnya dengan itikad baik dengan penuh tanggung jawab. Pada akhirnya, doktrin Business Judgment Rule hanya akan melindungi direksi yang dapat membuktikan keputusannya telah didasari oleh informasi yang cukup, dilakukan dengan itikad baik, dan tanpa benturan kepentingan, semua elemen harus dapat dibuktikan dengan fakta atas kepatuhan hukum sesuai kerangka kerja di atas.

Ubah Risiko Menjadi Kekuatan

Jangan biarkan keputusan bisnis strategis Anda dibayangi risiko pidana yang tidak perlu. Memahami preseden hukum dan membangun sistem pertahanan internal yang kokoh adalah investasi terbaik yang dapat dilakukan oleh sebuah Bank BUMN maupun BUMD, termasuk perseroan pada umumnya. Hal tersebut bukan karena takut akan risko, melainkan tentang mewujudkan kebijakan dengan prinsip kehati – hatian.

Tim litigasi Ercolaw memiliki pengalaman dalam menavigasi lanskap hukum yang kompleks, mulai dari perancangan kebijakan anti-korupsi hingga pendampingan dalam proses penyelidikan. Hubungi kami untuk konsultasi. Pastikan perlindungan hukum untuk setiap kebijakan anda.


Disclaimer: Artikel ini bertujuan untuk memberikan informasi hukum secara umum dan bukan merupakan nasihat hukum. Setiap tindakan hukum harus didasarkan pada konsultasi dengan profesional hukum yang kompeten yang telah menganalisis fakta spesifik kasus Anda.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :