Dalam pengelolaan perusahaan, keputusan direksi terkait aset perusahaan sering kali menjadi sumber konflik antara pemegang saham, komisaris, dan pihak ketiga. Salah satu kasus menarik yang patut menjadi perhatian adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 310 K/Pid/2021, di mana seorang direktur perusahaan mengalihkan aset tanpa persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan tanpa mengumumkannya di media massa. Kasus ini menimbulkan pertanyaan hukum yang fundamental: Apakah tindakan tersebut merupakan tindak pidana atau sekadar pelanggaran hukum perdata?
Sering kali, terjadi kekeliruan dalam memahami ruang lingkup hukum pidana dan perdata dalam kasus-kasus korporasi. Banyak pemegang saham atau bahkan penegak hukum yang langsung menempuh jalur pidana tanpa memahami bahwa hukum perdata justru lebih tepat untuk menyelesaikan sengketa semacam itu. Lalu, bagaimana seharusnya hukum menilai tindakan direksi yang mengalihkan aset secara sepihak?
Pendapat Mahkamah Agung
Dalam Putusan MA No. 310 K/Pid/2021, Mahkamah Agung secara tegas menyatakan bahwa tindakan terdakwa (Direktur PT. Petudungan) yang menghibahkan aset perusahaan berupa tanah dan bangunan tanpa persetujuan RUPS bertentangan dengan Anggaran Dasar perusahaan serta Pasal 102 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun, yang menarik dari putusan ini adalah Mahkamah Agung menegaskan bahwa perbuatan tersebut seharusnya diselesaikan melalui mekanisme peradilan perdata, bukan pidana. Mengapa demikian?
- Judex Facti Tidak Salah dalam Menerapkan Hukum
MA menolak kasasi jaksa karena pengadilan tingkat sebelumnya telah benar dalam menerapkan hukum. Artinya, keputusan untuk menganggap kasus ini sebagai sengketa perdata telah tepat secara hukum. - Pelanggaran Bersifat Perdata, Bukan Pidana
Terdakwa melanggar Pasal 11 Ayat (4) dan (5) Anggaran Dasar PT. Petudungan dan Pasal 102 UU Perseroan Terbatas yang mengatur bahwa pengalihan aset dalam jumlah tertentu memerlukan persetujuan RUPS. Namun, undang-undang perseroan terbatas tidak mengatur sanksi pidana atas pelanggaran tersebut. - Pertanggungjawaban Hukum Selaku Direksi, Bukan Secara Pidana
Menurut MA, jika direksi melakukan pelanggaran seperti ini, pemegang saham harus menggugatnya di Pengadilan Negeri dalam ranah perdata, bukan melaporkannya sebagai tindak pidana.
Restorative Justice dalam Sengketa Korporasi
Pendekatan hukum pidana dalam kasus korporasi harus mempertimbangkan prinsip restorative justice, yaitu penyelesaian yang lebih mengutamakan pemulihan hak-hak korban dibanding sekadar pemidanaan. Dalam konteks kasus ini, tujuan utama seharusnya adalah pemulihan aset perusahaan, bukan sekadar memenjarakan direksi. Sebab, pemidanaan direksi tidak secara otomatis mengembalikan aset yang telah dialihkan, sementara mekanisme gugatan perdata justru lebih efektif untuk memperoleh ganti rugi atau pembatalan pengalihan aset. Selain itu, pendekatan restorative justice juga relevan dengan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana, yang menegaskan bahwa hukum pidana hanya boleh digunakan sebagai upaya terakhir setelah mekanisme hukum lainnya (seperti hukum perdata) telah ditempuh.
Hindari Kriminalisasi Kasus Perdata
Putusan MA ini menjadi preseden penting untuk mencegah kriminalisasi direksi yang melakukan pelanggaran perdata. Banyak pemegang saham yang sering menggunakan laporan pidana sebagai alat tekanan terhadap direksi atau komisaris yang dianggap merugikan mereka. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, terdapat perbedaan mendasar antara perbuatan melawan hukum perdata dan tindak pidana:
Aspek | Hukum Perdata | Hukum Pidana |
---|---|---|
Fokus Utama | Pemulihan hak & ganti rugi | Hukuman & efek jera |
Sanksi | Ganti rugi, pembatalan perbuatan hukum | Penjara, denda |
Beban Pembuktian | Lebih fleksibel | Harus tanpa keraguan |
Subjek Hukum | Antar individu atau perusahaan | Negara vs pelaku |
Berdasarkan tabel di atas, jelas bahwa kasus direksi yang melanggar ketentuan pengalihan aset lebih tepat diselesaikan dalam ranah perdata. Pemegang saham memiliki hak untuk menggugat ke pengadilan guna memperoleh ganti rugi atau pembatalan transaksi, bukan langsung membawa kasusnya ke ranah pidana.
Pelajaran bagi Direksi dan Pemegang Saham
Kasus ini memberikan beberapa pelajaran penting bagi pelaku bisnis dan profesional hukum:
- Direksi harus memahami batas kewenangannya
Tidak semua keputusan direksi dapat dilakukan tanpa persetujuan RUPS. Jika melanggar, bukan hanya risiko gugatan perdata yang muncul, tetapi juga potensi tanggung jawab pribadi atas kerugian perusahaan. - Pemegang saham harus menggunakan jalur hukum yang tepat
Jangan terburu-buru menggunakan jalur pidana untuk sengketa bisnis. Gugatan perdata adalah instrumen yang lebih efektif untuk melindungi kepentingan pemegang saham dan memulihkan kerugian perusahaan. - Pentingnya kepatuhan terhadap Anggaran Dasar dan UU PT
Sebagai dokumen fundamental perusahaan, Anggaran Dasar dan UU No. 40 Tahun 2007 menjadi pedoman utama dalam tata kelola perusahaan. Mengabaikan aturan ini dapat berakibat pada tuntutan hukum yang merugikan semua pihak.
Bagaimana Mencegah Kasus Serupa
Untuk menghindari kasus serupa di masa depan, perusahaan harus menerapkan strategi mitigasi risiko yang lebih kuat.
1. Memperkuat Tata Kelola Perusahaan
Perusahaan harus memiliki sistem tata kelola yang ketat, termasuk:
- Mekanisme persetujuan internal yang jelas untuk transaksi aset.
- Peningkatan transparansi dalam pengambilan keputusan direksi.
- Pengawasan lebih aktif dari Komisaris dan Pemegang Saham.
2. Menerapkan Kebijakan Kepatuhan (Compliance Policy)
Kebijakan kepatuhan harus diterapkan untuk memastikan bahwa direksi memahami batasan hukum dan prosedur yang wajib diikuti sebelum mengambil keputusan bisnis besar.
3. Meningkatkan Edukasi Hukum
Kasus ini menunjukkan bahwa banyak direksi yang mungkin tidak sepenuhnya memahami konsekuensi hukum dari keputusan mereka. Oleh karena itu, pelatihan dan edukasi hukum bagi direksi dan pemegang saham sangat penting untuk menghindari pelanggaran di masa depan.
Pahami Hukum, Hindari Kesalahan
Putusan Mahkamah Agung Nomor 310 K/Pid/2021 memberikan preseden penting bahwa kesalahan direksi dalam mengelola aset perusahaan adalah ranah perdata, bukan pidana. Direksi yang melanggar ketentuan perusahaan tetap bisa dimintai pertanggungjawaban, tetapi melalui jalur perdata dengan gugatan ke Pengadilan Negeri. Bagi pemegang saham dan direksi, pelajaran utama dari kasus ini adalah memahami dan mematuhi hukum perusahaan agar tidak terjebak dalam sengketa hukum yang berlarut-larut. Dengan menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, transparansi, dan edukasi hukum yang memadai, perusahaan dapat menghindari kasus serupa di masa depan.
Butuh Bantuan Hukum? Hubungi Ercolaw !
Jika Anda menghadapi sengketa bisnis atau ingin memastikan keputusan direksi tidak melanggar hukum, Ercolaw siap membantu Anda. Tim pengacara kami berpengalaman dalam penyelesaian sengketa korporasi dan akan memastikan hak-hak Anda terlindungi secara hukum. Bagikan artikel ini untuk membantu lebih banyak orang memahami strategi efektif penyelesaian kerugian perusahaan ! 📞 Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi hukum lebih lanjut!
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw