Dilema Notaris dalam Transaksi
Dalam beberapa perkara yang melibatkan profesi notaris, ada satu kasus yang cukup menyita perhatian. Kali ini menimpa seorang Notaris/PPAT Ketut Neli Asih, S.H., beliau nyaris menjalani hukuman pidana akibat kelalaian administratif dalam proses pembuatan kuasa jual beli tanah. Namun melalui Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 20 PK/Pid/2020, kita menyaksikan bagaimana ketidakjelasan batas ranah administratif dan pidana hampir saja menghancurkan karir seorang notaris, di manakah sebenarnya batas antara kelalaian administratif dan kesalahan pidana dengan niat jahat bagi seorang notaris?
Niat Baik Berujung Tuduhan Pidana
Isu utama yang sering muncul adalah potensi salah mengklasifikasikan kesalahan administratif notaris sebagai tindak pidana, khususnya dugaan penipuan (penipuan) sebagaimana Pasal 378 KUHP atau turut serta melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 56 KUHP. Terkadang, kesalahan dalam penyusunan akta, kegagalan memverifikasi setiap detail dengan teliti, atau bahkan kesalahan penilaian dapat diinterpretasikan sebagai tindakan kriminal. Hal tersebut dapat memicu penyidikan dan penuntutan terhadap yang bersangkutan. Situasi seperti itu menimbulkan ketakutan bagi para notaris dalam menjalankan profesinya, membuat mereka menjadi terlalu berhati-hati dan berpotensi menghambat efisiensi transaksi yang perlu dilakukan melalui Notaris. Selain itu, permasalahan tersebut juga dapat merusak reputasi profesional mereka dan mengikis kepercayaan publik terhadap profesi notaris.
Putusan MA No. 20 PK/Pid/2020
Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/Pid/2020 merupakan salah satu preseden yang memperjelas perbedaan antara tanggung jawab administratif dan pidana bagi notaris. Kasus ini bermula ketika seorang notaris, Ketut Neli Asih, S.H., diproses secara pidana atas kerugian yang diderita seorang saksi akibat kegagalan saksi lain memenuhi kewajibannya dalam perjanjian jual beli tanah. Notaris tersebut dituduh terlibat penipuan berkaitan pembuatan surat kuasa untuk penjualan tanah.
Fakta krusialnya adalah, laporan polisi diajukan terhadap pihak yang secara langsung mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut, bukan terhadap notaris. Kesaksian di persidangan juga menguatkan bahwa notaris tidak memperoleh keuntungan apa pun dari transaksi tersebut. Bahkan, saksi lain dalam persidangan merasa heran mengapa notaris yang diproses secara hukum. Meskipun ada dugaan kelalaian dalam penyusunan surat kuasa, Mahkamah Agung menekankan bahwa transaksi inti terjadi di antara dua pihak lain (bukan notaris).
Pada tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, notaris tersebut awalnya dinyatakan bersalah. Namun, Mahkamah Agung membatalkan putusan sebelumnya, menekankan bahwa dugaan kelalaian notaris dalam pembuatan kuasa jual beli tanah termasuk dalam ranah hukum administratif, karena notaris bertindak sebagai pejabat publik (Notaris/PPAT). MA menunjuk fakta bahwa notaris bukanlah pihak yang bertransaksi langsung dengan korban dan tidak menerima keuntungan apa pun.
Lebih lanjut, MA menyoroti penerapan Pasal 56 KUHP tentang “pembantuan” yang keliru, karena pelaku utama hadir sebagai saksi, bukan sebagai buronan. Seharusnya, pelaku utama diproses terlebih dahulu. MA menyatakan bahwa dakwaan jaksa penuntut umum, meskipun terbukti secara faktual mengenai tindakan notaris, tidak memenuhi unsur tindak pidana penipuan atau tindak pidana lainnya. Notaris hanya menjalankan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris. Atas dasar tersebut, MA menemukan adanya “kekeliruan nyata dan kekhilafan Hakim” dalam penerapan hukum oleh pengadilan tingkat bawah dan menyatakan putusan Pengadilan Tinggi batal demi hukum. Pertimbangan lengkap Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/Pid/2020 adalah sebagai berikut:
Menimbang bahwa terhadap alasan peninjauan kembali yang diajukan Pemohon Peninjauan Kembali/Terpidana tersebut, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:
- Bahwa berdasarkan hukum secara fakta hukum dan fakta yuridis permohonan peninjauan kembali beralasan untuk dikabulkan;
- Bahwa sesuai fakta hukum, maka tentang kerugian saksi korban Marhendro Anton Inggriyono yang dirugikan oleh saksi Gunawan Priambodo yang tidak melakukan prestasi/kewajibannya atau wanprestasi ternyata Terdakwa yang diproses hukum pidana, padahal sesuai fakta persidangan Terdakwa sama sekali tidak memperoleh keuntungan atas transaksi pembuatan surat kuasa akte jual beli tanah di Paradise Loft, melainkan yang memperoleh keuntungan adalah saksi Gunawan Priambodo, hal ini sesuai laporan polisi yang dibuat oleh saksi korban yang melaporkan saksi Gunawan Priambodo, bukan melaporkan Terdakwa;
- Bahwa fakta persidangan saksi Gunawan Priambodo juga merasa heran kenapa Terdakwa yang diproses hukum, padahal yang bertransaksi jual beli tanah adalah saksi Gunawan Priambodo dengan saksi korban Marhendro Anton Inggriyono dan walaupun ada kelalaian Terdakwa dalam proses pembuatan surat kuasa akta jual beli antar para saksi tersebut, maka penyelesaiannya bukan jalur pidana melainkan jalur administratif karena Terdakwa adalah selaku pejabat publik yaitu Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT);
- Bahwa dalam kasus a quo, penerapan hukum formil sama pentingnya dengan hukum materiil, artinya dari proses penyidikan Terdakwa sama sekali tidak dilaporkan oleh saksi korban, tetapi yang dilaporkan adalah saksi Gunawan Priambodo, karena pihak yang bertransaksi dengan saksi korban adalah saksi Gunawan Priambodo bukan Terdakwa;
- Bahwa dalam penerapan Pasal 56 KUHP tentang “pembantuan” maka proses hukumnya adalah pelaku utama dulu diproses sebagaimana dilaporkan oleh saksi korban, bukan “pembantuan” sebagaimana dalam kasus a quo, karena saksi Gunawan Priambodo hadir sebagai saksi di persidangan sebagai pihak yang merugikan saksi korban, pembantuannya dapat disidangkan kecuali bila pelaku utama (pihak yang dibantu) statusnya dalam Daftar Pencarian Orang (DPO);
- Bahwa walaupun Terdakwa diduga telah lalai dalam proses membuat akte kuasa penjual tanah antara saksi korban dengan saksi Gunawan Priambodo, hal tersebut merupakan ranah administratif selaku Notaris/PPAT bukan ranah pidana;
- Bahwa berdasarkan dan beralasan hukum untuk menyatakan bahwa perkara permohonan peninjauan kembali atas nama Ketut Neli Asih, S.H., haruslah dikabulkan demi hukum dan dinyatakan putusan Pengadilan Tinggi Denpasar yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Denpasar adalah “batal demi hukum”; – Bahwa walaupun telah ada putusan-putusan judex facti yang kini dimohonan peninjauan kembali (PK) oleh Pemohon PK Ketut Neli Asih, S.H., pekerjaan Notaris/PPAT Denpasar, Bali, ternyata setelah ditelusuri fakta hukumnya dan dianalisa secara yuridis maka ditemukan dakwaan dakwaan Penuntut Umum yang mendasari putusan judex facti adalah terbukti faktanya tetapi bukan merupakan tindak pidana penipuan ataupun tindak pidana lainnya, atas dasar perbuatan Terdakwa termasuk sebagai pihak yang menjalankan kewenangannya sebagai Notaris/PPAT sesuai dengan Undang-Undang Jabatan Notaris;
- Bahwa alasan-alasan peninjauan kembali telah memenuhi ketentuan Pasal 263 Ayat (1) dan Pasal 263 Ayat (2) KUHAP dengan ditemukan adanya kekeliruan nyata dan kekhilafan Hakim sehingga berdasarkan hukum untuk mengabulkan permohonan peninjauan kembali dari Terpidana Ketut Neli Asih, H., selaku pemohon peninjauan kembali yang diatur oleh hukum sehingga berdasarkan hukum untuk dikabulkan permohonan peninjauan kembali;
- Bahwa oleh karena alasan-alasan peninjauan kembali memenuhi syarat undang-undang sehingga karenanya putusan-putusan yang dimohonkan peninjauan kembali haruslah dinyatakan tidak berlaku dan beralasan untuk di batalkan serta tidak menurut hukum.
Batasan Tanggung Jawab Notaris
Putusan MA di atas didasari oleh beberapa prinsip hukum penting. Pertama, adanya perbedaan mendasar antara tanggung jawab administratif dan pidana. Tidak setiap kesalahan yang dilakukan oleh notaris merupakan tindak pidana. Undang-Undang Jabatan Notaris (UU No. 30 Tahun 2004 sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 2014) mengatur tanggung jawab dan sanksi administratif untuk kelalaian atau pelanggaran tugas selaku pejabat umum yang berwenang membuat akta. Sanksi tersebut beragam, mulai dari peringatan tertulis hingga pemberhentian.
Kedua, Pasal 378 KUHP tentang penipuan memiliki persyaratan yang jelas, termasuk niat untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kebohongan untuk menggerakkan seseorang menyerahkan barang, membuat utang, atau menghapus piutang. Unsur mens rea (niat jahat) dalam pasal tersebut tidak terbukti dalam kasus notaris di atas.
Ketiga, Pasal 56 KUHP tentang “pembantuan” mensyaratkan bahwa pelaku utama diproses terlebih dahulu, kecuali jika berstatus buronan. Dalam kasus di atas, pihak yang dilaporkan oleh korban atau diduga sebagai “pelaku utama” justru hadir di persidangan dan tidak diproses secara hukum, sehingga penerapan pasal perbantuan kepada notaris yang di dakwa sebagai pembantu tidak dapat diterapkan.
Keempat, notaris merupakan pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta autentik, dan tindakan mereka diatur oleh hukum administratif. Meskipun kesalahan dapat menimbulkan tanggung jawab atas kerugian, penuntutan pidana harus diperuntukkan hanya terhadap kasus-kasus yang secara jelas didasari niat jahat (mens rea) dalam membantu atau menghendaki terjadinya tindak pidana. Terakhir, dalam ketiadaan bukti yang jelas terkait apa yang dituduhkan, seharusnya notaris dianggap bertindak dengan itikad baik dalam menjalankan tugasnya (kecuali bisa di buktikan sebaliknya secara terang).
Pendapat ahli hukum juga mendukung pandangan MA dalam putusan di atas. Beberapa analisis menekankan bahwa kelalaian notaris umumnya termasuk dalam ranah hukum administratif, kecuali ada bukti kuat tentang perbuatan pidana yang didasari dengan niat jahat (mens rea) dari yang bersangkutan. Ada juga pandangan yang menyoroti pentingnya melindungi notaris dari kriminalisasi yang tidak berdasar, agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara efektif dan tanpa rasa takut yang berlebihan. Selain itu, beberapa ahli memperingatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika setiap kesalahan notaris selalu diperlakukan sebagai tindak pidana.
Tabel Perbandingan Kelalaian Administratif Vs Kesalahan Pidana Bagi Notaris
Aspek | Kelalaian Administratif | Kesalahan Pidana |
---|---|---|
Sifat | Pelanggaran administratif/prosedural/etik | Pelanggaran hukum pidana (unsur kesengajaan/Mens Rea) |
Contoh | Kesalahan ketik, kelalaian prosedur, kurang teliti | Pemalsuan akta, keterangan palsu, penipuan |
Sanksi | Teguran, pembekuan, pencabutan izin | Penjara, denda |
Proses | Pemeriksaan internal (Majelis Pengawas/Dewan Kehormatan) | Proses peradilan pidana (penyidik, jaksa, hakim) |
Dasar Hukum | UU Jabatan Notaris, kode etik | KUHP, UU Pidana |
Unsur | Kelalaian, kurang hati-hati, tidak ada niat jahat | Terdapat unsur kesengajaan/niat jahat |
Tabel Perbandingan Tanggung jawab Notaris
Jenis Tanggung Jawab | Hukum yang Mengatur | Dasar Tanggung Jawab | Potensi Sanksi | Otoritas Mengadili |
Administratif | UU Jabatan Notaris | Kelalaian, pelanggaran kewajiban | Peringatan tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian dengan hormat/tidak | Majelis Pengawas |
Perdata | Kitab Undang-Undang Hukum Perdata | Perbuatan melawan hukum, wanprestasi | Ganti rugi, pembatalan perjanjian | Pengadilan Negeri |
Pidana | Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | Niat jahat, tindakan pidana seperti penipuan, pemalsuan, turut serta melakukan | Pidana penjara, denda | Pengadilan Negeri |
Implikasi bagi Dunia Hukum dan Bisnis
Bagi para profesional hukum, penting untuk memberikan nasihat kepada klien bahwa kesalahan notaris, meskipun berpotensi menimbulkan tuntutan perdata, tidak secara otomatis berarti adanya tindak pidana. Perlu dilakukan penilaian yang cermat terhadap fakta dan niat sebelum mengajukan tuntutan pidana terhadap notaris. Putusan MA No. 20 PK/Pid/2020 menjadi preseden penting bagi kasus-kasus serupa. Jalur hukum yang tepat untuk mengatasi kelalaian notaris biasanya melibatkan pengaduan administratif kepada Majelis Pengawas atau gugatan perdata untuk ganti rugi.
Bagi dunia bisnis dan korporasi, Putusan MA di atas memberikan kepastian bahwa notaris diatur oleh hukum administratif yang menawarkan kerangka akuntabilitas tanpa implikasi pidana langsung untuk kesalahan yang tidak disengaja. Bagi perusahaan yang menggunakan jasa notaris didorong untuk melakukan uji tuntas dalam memilih notaris dan memastikan komunikasi yang jelas mengenai detail transaksi untuk meminimalkan kesalahan. Jika muncul situasi kompleks yang melibatkan potensi kesalahan notaris, penting untuk mencari nasihat hukum guna memahami langkah hukum yang tepat.
Menavigasi Tanggung Jawab Notaris
Para profesional hukum dan pelaku bisnis yang membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai tema di atas dapat berkonsultasi dengan Ercolaw untuk mendapatkan panduan lengkap mengenai masalah yang melibatkan tanggung jawab notaris. Ercolaw memiliki keahlian mendalam dalam hukum perdata dan pidana Indonesia, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan profesi notaris. Kami siap membantu Anda menavigasi transaksi yang kompleks, memahami peran dan tanggung jawab notaris, dan mengatasi segala kekhawatiran terkait akta notaris.
Penutup
Memahami nuansa tanggung jawab notaris adalah hal yang krusial dalam sistem hukum kita. Putusan Mahkamah Agung No. 20 PK/Pid/2020 memberikan kejelasan penting dalam membedakan antara kelalaian administratif dan tindakan pidana. Ercolaw berkomitmen untuk menyediakan nasihat hukum ahli dan membantu klien memahami dan menavigasi kompleksitas hukum ini.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw