Ketika pasangan bercerai, salah satu pertanyaan paling kompleks dan emosional adalah: Siapa yang berhak mengasuh anak? Dalam hukum Islam di Indonesia, hak hadhanah (pemeliharaan anak) biasanya diberikan kepada ibu, terutama jika anak masih di bawah usia dua belas tahun (masa mumayyiz). Namun, apakah aturan ini bersifat mutlak? Putusan Mahkamah Agung Nomor 110 K/AG/2007 memberikan perspektif penting bahwa kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi prioritas utama, bukan hanya sekadar aturan normatif. Dalam kasus ini, meskipun anak masih di bawah tujuh tahun, Mahkamah Agung memutuskan hak hak hadhanah diberikan kepada ayahnya. Mengapa demikian? Mari kita bahas lebih lanjut.
Kemaslahatan Anak Mengalahkan Aturan Normatif
Dalam perkara tersebut, pasangan yang telah bercerai bersengketa mengenai hak hadhanah anak mereka yang masih kecil. Secara normatif, hak pengasuhan seharusnya diberikan kepada ibu. Namun, ada fakta penting yang menjadi pertimbangan hukum: sang ibu sering bepergian ke luar negeri, sehingga tidak jelas siapa yang sebenarnya mengasuh anak tersebut dalam kesehariannya. Sebaliknya, selama ini anak telah hidup dalam keadaan tenteram dan stabil bersama ayahnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung akhirnya memutuskan bahwa hak hadhanah diserahkan kepada ayah demi kepentingan terbaik bagi anak.
Implikasi Hukum:
1. Kepentingan Terbaik Anak Prinsip Utama
Putusan tersebut menegaskan bahwa aturan dalam hukum Islam mengenai hak hadhanah tidak bersifat mutlak. Meskipun ibu secara prinsip berhak mengasuh anak yang belum mumayyiz, hal tersebut dapat dikesampingkan apabila ada keadaan yang tidak mendukung kepentingan terbaik anak. Konsep kemaslahatan anak ini sejalan dengan:
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 105 Jo. Pasal 156 huruf c yang pada pokoknya menyatakan ibu berhak atas hadhanah anak yang belum mumayyiz, kecuali ada alasan kuat yang membuktikan sebaliknya.
UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, yang mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak dalam setiap keputusan hukum yang menyangkut pengasuhan.
2. Hak Hadhanah Bisa Beralih
Putusan ini juga menegaskan bahwa meskipun ibu secara normatif mendapat hak pengasuhan, faktor lain seperti ketidakhadiran dalam kehidupan anak dapat menjadi dasar bagi hakim untuk memberikan hak Hadhanah kepada ayah. Bagi para orang tua yang menghadapi sengketa hak asuh, putusan ini memberikan wawasan penting: pengadilan tidak hanya melihat siapa yang “berhak”, tetapi siapa yang benar-benar dapat memberikan kepentingan terbaik bagi anak.
Kesimpulan:
Putusan Mahkamah Agung No. 110 K/AG/2007 memberikan pelajaran berharga bahwa hak asuh bukan sekadar tentang siapa yang berhak, tetapi siapa yang terbaik bagi kepentingan anak. Bagi Anda yang menghadapi sengketa hak asuh, memiliki pengacara berpengalaman sangatlah penting. Seorang pengacara yang memahami hukum Islam dan prinsip kemaslahatan anak dapat membantu Anda menyusun strategi hukum yang kuat berdasarkan preseden seperti putusan ini. Jika Anda sedang menghadapi masalah hukum keluarga, terutama dalam sengketa hak asuh, tim pengacara di Ercolaw siap membantu. Jangan biarkan ketidakpastian hukum mengancam hak Anda dan masa depan anak Anda. Hubungi Ercolaw sekarang untuk konsultasi lebih lanjut!
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw