Alat Bukti Konvensional dan Kontemporer Dalam Praktik Peradilan Perdata

Bagikan :

Secara Etimologi dan Terminologi, Pembuktian (Indonesia) / Evidentiary (Inggris) / Bewijs (Belanda) berasal dari kata dasar “Bukti” yang berarti “Keterangan yang nyata”.  Sebagaimana diketahui, terdapat 9 Alat Bukti dalam Praktik Perdata, masing-masing berada dalam hierarki yang merepresentasikan tingkat kekuatan pembuktiannya yaitu:

Alat Bukti Konvensional

  1. Surat
    1. Akta
      • Akta Otentik
      • Akta Bawah Tangan
    2. Surat Biasa
  2. Saksi
  3. Persangkaan
  4. Kesaksian
  5. Sumpah.

Alat Bukti Kontemporer

  1. Pemeriksaan Setempat
  2. Pemeriksaan Ahli
  3. Alat Bukti Elektronik
    • Informasi Elektronik
    • Bukti Elektronik
    • Alat Bukti Ilmiah[1]

Alat Bukti Konvensional nomor 1 sampai 5 merupakan alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, serta Pasal 284 Rbg. Perbandingannya sebagai berikut:

Pasal 1866 KUH Perdata Alat-alat bukti, Yaitu:

– bukti tertulis,

– bukti saksi,

– persangkaan,

– pengakuan,

– sumpah.

Pasal 164 HIR Alat pembuktian meliputi:

– bukti tertulis;

– bukti saksi;

– persangkaan;

– pengakuan;

– sumpah.

Pasal 284 Rbg. Alat-alat bukti terdiri dari:

– bukti tertulis;

– bukti dengan saksi-saksi;

– persangkaan;

– pengakuan-pengakuan;

– sumpah.

Tabel 1. Perbandingan Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, serta Pasal 248 Rbg.

Terkait hirarki bukti di atas, Alat bukti yang dikenal dalam hukum acara perdata adalah Alat Bukti Konvensional sebagaimana nomor 1 sampai 5, sedangkan Alat Bukti Kontemporer nomor tidak digolongkan sebagai alat bukti. Meski demikian, seiring berkembangnya zaman, praktik peradilan perdata mulai mengakui Alat Bukti Kontemporer. Sehubungan dengan itu, berikut disampaikan penjelasan lebih lanjut mengenai Legitimasi Pemeriksaan Setempat, Pemeriksaan Ahli, Alat Bukti Elektronik, dan Alat Bukti Ilmiah sebagai Alat Bukti dalam Praktik Peradilan Perdata.

Pemeriksaan Setempat

Pemeriksaan Setempat tidak disebutkan sebagai alat bukti di dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 248 Rbg. Meskipun begitu, karena tujuan pemeriksaan setempat adalah untuk memberikan deskripsi yang jelas bagi hakim mengenai objek sengketa, maka fungsinya sama dengan alat bukti.[2]

Pemeriksaan Ahli

Berdasarkan Pasal 154 HIR, Pengadilan Negeri dapat mengangkat Ahli untuk membuat terang suatu perkara. Oleh karena itu, nilai pembuktian Pemeriksaan Ahli adalah untuk memperjelas . Ahli sendiri tidak digolongkan sebagai Bukti, tapi M. Natsir Asnawi berpendapat bahwa Ahli dapat digolongkan sebagai alat bukti karena fungsinya ditujukan untuk memperjelas pokok permasalahan dalam suatu sengketa.

Alat Bukti Elektronik

Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 11/2008 yang diubah dengan UU 19/2016 mengatur sebagai berikut:

Pasal 5

  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
  • Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
  • …..
  • …..

Aturan ini dijadikan dasar untuk Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik beserta hasil cetaknya diakui sebagai alat bukti hukum yang sah dalam Peradilan di Indonesia.

Alat Bukti Ilmiah

Menurut Poedjawijatna dalam buku “Tahu dan Pengetahuan” (2004), syarat-syarat sebagai ilmu pengetahuan meliputi obyektivitas, metodologis, sistematis, dan universal.[3] Ciri-ciri ilmu pengetahuan tersebut membuat Bukti Ilmiah dapat diandalkan sebagai bukti dalam Peradilan Perdata.

Dalam Praktik Peradilan Pidana sendiri sudah lumrah menggunakan Bukti Ilmiah sebagai alat bukti. Diantaranya adalah, Visum untuk membuktikan kekerasan, Tes DNA untuk membuktikan identitas seseorang, penghitungan karbon untuk membuktikan kerugian lingkungan, uji kualitas air untuk membuktikan pencemaran dan Otopsi untuk membuktikan penyebab kematian seseorang. Sedangkan dalam peradilan Perdata, tes DNA digunakan untuk membuktikan status kekeluargaan.

Masing-masing alat bukti di atas berdiri dengan hierarki. Lalu mengapa akta otentik berada pada hierarki teratas dalam pembuktian? Jawaban atas pertanyaan tersebut berkaitan dengan sifat pembuktian dalam hukum acara perdata yang menekankan pada “Kebenaran Formil”. Dalam Hukum Acara Perdata, Pembuktian dimaksudkan untuk mencari kebenaran Formil (formeel waarheid), yaitu bukti yang didasarkan pada formalitas-formalitas hukum. Alasan tersebut menjadi dasar Akta Otentik ditempatkan pada Hierarki tertinggi yang sempurna dan mengikat dalam pembuktian hukum acara perdata.[4]

Sempurna Akta Otentik dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan alat bukti lain untuk menguatkannya, sehingga dengan sendirinya mencapai batas minimal pembuktian.[5]
Mengikat hakim terikat untuk yakin akan kebenaran dari alat bukti otentik yang dihadapkan kepadanya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya, sekalipun kebenaran dari bukti tersebut diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk menilainya.

Demikian, Semoga Bermanfaat.

Juang Iman Zendrato, S.H.

Legal Intern 2023

Referensi:

[1] I. R. Poedjawijatna, Tahu Dan Pengetahuan: Pengantar Ke Ilmu Dan Filsafat (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991).

[2] M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata: Teori, Praktik Dan Permasalahannya Di Peradilan Umum Dan Peradilan Agama, 2nd ed. (2016; repr., Yogyakarta: UII Press , 2019).

[3] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2005).

[4] Direktorat Jenderal Kekayaan Negara, “Pembuktian Dalam  Upaya Memenangkan Perkara Perdata,” Kementrian Keuangan Republik Indonesia, 2020, https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-pekalongan/baca-artikel/13073/Pembuktian-Dalam-Upaya-Memenangkan-Perkara-Perdata.html%20tanggal%2019%20September%202022.

[5] Peny Candra Wardani, “Akta Otentik Sebagai Alat Bukti Di Pengadilan” (Universitas Airlangga, 2005), https://repository.unair.ac.id/35910/.


Bagikan :