Pinjam Meminjam Bersifat Riba_

Woeker Contract Perjanjian Pinjaman Bersifat Riba

Bagikan :

Perjanjian pinjaman berbunga tinggi sering kali dianggap solusi cepat bagi mereka yang membutuhkan dana mendesak. Meski demikian, bagaimana jika perjanjian tersebut justru mengandung unsur eksploitasi dan penyalahgunaan keadaan? Dalam beberapa kasus, pihak peminjam berada dalam posisi yang lemah secara ekonomi, sementara pemberi pinjaman memanfaatkan situasi tersebut untuk menetapkan bunga yang tidak wajar. Perjanjian semacam itu dikenal sebagai woeker contract atau perjanjian pinjam meminjam yang bersifat riba.

Pada kasus seperti yang disebutkan di atas, dampak yang ditimbulkan tidak saja dari segi finansial, tetapi secara hukum dapat dikategorikan sebagai cacat kehendak menurut hukum perjanjian. Terlebih lagi, praktik semacam itu bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan yang menjadi landasan utama dalam hukum kontrak di Indonesia.

Penyalahgunaan Keadaan dalam Perjanjian

Dalam hukum perjanjian, salah satu elemen yang menentukan keabsahan suatu perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang dibuat secara bebas dan tanpa tekanan. Namun, dalam beberapa kondisi, kesepakatan tidak selalu terjadi dalam kondisi yang setara. Konsep penyalahgunaan keadaan (baca penjelasan misbruik van omstandigheden) mengacu pada situasi di mana salah satu pihak dalam perjanjian berada dalam keadaan darurat, ketergantungan, atau memiliki kelemahan psikologis dan ekonomi, sementara pihak lainnya memanfaatkan keadaan tersebut untuk mendapatkan keuntungan yang tidak wajar.

Dalam hukum Belanda, ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 3:44 NBW (Nieuw Burgerlijk Wetboek), yang menyatakan bahwa suatu perjanjian dapat dibatalkan jika terdapat penyalahgunaan keadaan. Elemen-elemen utama dalam doktrin ini meliputi:

  1. Keadaan istimewa – Salah satu pihak berada dalam keadaan terdesak, seperti kesulitan ekonomi atau ketergantungan terhadap pihak lain.
  2. Kesadaran pihak lawan – Pihak yang lebih kuat mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak lain berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
  3. Penyalahgunaan – Pihak yang lebih kuat tetap melaksanakan perjanjian tersebut meskipun mengetahui bahwa perjanjian itu tidak adil.
  4. Hubungan kausal – Tanpa adanya penyalahgunaan keadaan, perjanjian tidak akan terjadi.

Meskipun konsep ini belum diatur secara eksplisit dalam KUHPerdata Indonesia, berbagai putusan pengadilan menunjukkan bahwa hakim telah mengakui penyalahgunaan keadaan sebagai salah satu faktor yang dapat membatalkan atau merevisi perjanjian.

Woeker Contract Melanggar Hukum

Salah satu bentuk nyata dari penyalahgunaan keadaan dalam praktik bisnis adalah woeker contract, yaitu perjanjian pinjam meminjam yang bersifat riba dan membebankan bunga yang sangat tinggi kepada peminjam. Praktik ini melanggar asas kepatutan dan keadilan serta berpotensi merugikan pihak peminjam secara tidak proporsional.

Putusan Mahkamah Agung No. 2818.K/Pdt/2000 (vide Bunga Rampai Hukum dan Peradilan) memberikan preseden penting dalam kasus semacam itu. Dalam putusan tersebut, MA menilai bahwa bunga pinjaman sebesar 5% per bulan yang disepakati dalam perjanjian kredit mengandung unsur pemerasan dan riba. Oleh karena itu, MA menurunkan bunga tersebut menjadi 2% per bulan agar sesuai dengan tingkat bunga kredit yang adil dan patut di masyarakat.

Putusan serupa juga terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 2680 K/Pdt/2012 menegaskan bahwa kontrak pinjam-meminjam yang mengandung unsur riba (woeker contract) bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan, dan Putusan MA No. 2217 K/Pdt/2015, di mana Mahkamah Agung menyatakan Hakim karena jabatannya berwenang merubah besarnya bunga ataupun denda yang sudah diperjanjikan sesuai kepatutan yang wajar atau menghapuskan denda karena rasa keadilan. Hal ini menegaskan bahwa perjanjian yang menyalahi asas-asas fundamental dalam hukum perjanjian dapat dikoreksi oleh pengadilan.

Perlindungan Hukum terhadap Woeker Contract

Secara historis, pemerintah kolonial Belanda pernah mengeluarkan Woeker Ordonantie 1938 sebagai bentuk perlindungan terhadap peminjam dari praktik riba yang merugikan. Regulasi ini melarang perjanjian pinjam meminjam dengan bunga yang tidak wajar dan memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk membatalkan atau merevisi perjanjian semacam itu. Meskipun KUHPerdata belum mengatur secara spesifik mengenai woeker contract, beberapa ketentuan dapat digunakan untuk memberikan perlindungan terhadap pihak yang dirugikan, antara lain:

  • Pasal 1321 KUHPerdata – Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
  • Pasal 1337 KUHPerdata – Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
  • Pasal 1339 KUHPerdata – Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.

Selain itu, dalam praktik peradilan, hakim memiliki wewenang untuk menafsirkan hukum berdasarkan asas kepatutan dan keadilan guna melindungi pihak yang dirugikan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam berbagai putusan Mahkamah Agung yang telah disebutkan sebelumnya.

Bagaimana Menghindari Risiko Hukum?

Bagi para pelaku bisnis, terutama di sektor keuangan dan perbankan, memahami batasan hukum dalam menetapkan bunga pinjaman sangatlah penting. Berikut langkah yang dapat diambil untuk menghindari risiko akibat woeker contract:

  1. Pastikan kepatutan bunga pinjaman – Besaran bunga harus sesuai standar yang berlaku di industri dan tidak memberatkan peminjam.
  2. Transparansi dalam perjanjian – Peminjam harus diberikan informasi yang jelas mengenai kewajiban mereka, termasuk bunga dan denda yang akan dikenakan.
  3. Evaluasi kondisi peminjam – Hindari menyetujui perjanjian yang dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan keadaan, terutama jika peminjam berada dalam posisi yang sangat lemah.
  4. Menggunakan prinsip keadilan dalam perjanjian – Pastikan bahwa isi perjanjian tidak hanya menguntungkan salah satu pihak, tetapi juga mencerminkan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
  5. Konsultasi dengan ahli hukum – Sebelum menandatangani atau menyusun perjanjian, sebaiknya berkonsultasi dengan konsultan hukum yang memiliki keahlian di bidang sengketa bisnis dan perbankan.

Pentingnya Prinsip Kepatutan dan Keadilan

Praktik woeker contract bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap prinsip hukum yang mendasar. Putusan pengadilan menunjukkan bahwa perjanjian yang dibuat dengan penyalahgunaan keadaan dapat dibatalkan atau direvisi oleh hakim untuk memastikan adanya keseimbangan yang adil bagi para pihak. Bagi pelaku usaha, memahami aspek hukum dalam perjanjian pinjam meminjam sangatlah krusial untuk menghindari implikasi hukum yang merugikan.

Konsultasi dengan ahli hukum tidak hanya membantu memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku, tetapi juga melindungi bisnis dari risiko perdata yang tidak diinginkan. Jika Anda memerlukan bantuan hukum terkait perjanjian bisnis atau sengketa keuangan, tim ahli kami di Ercolaw siap memberikan solusi terbaik. Hubungi kami untuk konsultasi lebih lanjut dan lindungi bisnis Anda dari risiko hukum yang tidak perlu.

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :