Di tengah kompleksitas permasalahan perkawinan, persoalan harta bersama kerap kali menjadi sumber konflik yang berujung pada sengketa berkepanjangan. Sebagai pengacara yang berpengalaman menangani berbagai kasus keluarga, kami sering menyaksikan bagaimana ketidakpahaman terhadap status hukum harta bersama dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak terkait. Putusan Mahkamah Agung No. 2799 K/Pdt/2015 menjadi preseden penting tentang prinsip dasar pengalihan harta bersama yang sering diabaikan dalam transaksi properti di Indonesia.
Realitas Pengalihan Harta Bersama
Terkadang hal ini terjadi, dimana sebidang tanah yang dibeli selama perkawinan, secara diam-diam dialihkan oleh salah satu pasangan tanpa sepengetahuan atau persetujuan pasangan lainnya. Transaksi semacam itu terjadi karena dorongan berbagai faktor, mulai dari kebutuhan finansial mendesak, hingga upaya sengaja salah satu pihak mengurangi hak pasangannya atas harta bersama.
Kasus dalam Putusan MA No. 2799 K/Pdt/2015 mengungkap fenomena klasik dimana seorang istri menjual sebidang tanah harta bersama kepada pihak ketiga tanpa persetujuan suami. Pertanyaannya sederhana yang krusial: Apakah transaksi tersebut sah secara hukum?
Dasar Hukum Harta Bersama
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Perkawinan telah menetapkan kerangka hukum yang jelas terkait pengelolaan harta bersama. Pasal 35 ayat (1) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan: “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama“, lanjut Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan dengan tegas menyatakan: “Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.”
Bagi pasangan suami istri yang beragama Islam, Prinsip tersebut juga diperkuat dengan norma sebagaimana diatur dalam Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang mengatur bahwa: “Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama”.
Dalam Putusan MA No. 2799 K/Pdt/2015, Mahkamah Agung dengan tegas berpendapat:
“Bahwa alasan-alasan kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Langsa) tidak salah dalam menerapkan hukum, sebab telah benar bahwa penjualan oleh seorang istri atas sebidang tanah harta bersama tanpa persetujuan suami adalah transaksi yang tidak sah.”
Mengapa Transaksi Tersebut Tidak Sah?
Pertama, mari kita telaah dari perspektif teori kepemilikan bersama. Harta bersama merupakan bentuk kepemilikan kolektif dengan karakteristik sui generis, di mana masing-masing pihak tidak dapat mengklaim bagian tertentu secara eksklusif sebelum dilakukan pembagian. Konsekuensinya, pengalihan harta tersebut memerlukan persetujuan seluruh pemilik, dalam hal ini, kedua pasangan.
Kedua, dari sudut pandang perlindungan hukum, ketentuan persetujuan bersama ini berfungsi sebagai safeguard untuk mencegah penyalahgunaan wewenang oleh salah satu pihak. Tanpa mekanisme ini, hak-hak pasangan atas harta bersama dapat tereduksi secara sepihak.
Ketiga, aspek kepastian hukum bagi pihak ketiga. Putusan MA No. 2799 K/Pdt/2015 di atas memberikan pesan jelas kepada calon pembeli properti untuk melakukan due diligence yang komprehensif, termasuk memastikan status perkawinan penjual dan ketersediaan persetujuan pasangan dalam transaksi harta bersama.
Dalam kasus yang diputuskan MA tersebut, terbukti bahwa:
- Tanah objek sengketa merupakan harta bersama Penggugat I dan Penggugat III
- Penjualan dilakukan oleh Penggugat I kepada Tergugat I tanpa persetujuan Penggugat III
- Berdasarkan fakta tersebut, jual beli tanah dinyatakan tidak sah
Implikasi bagi Transaksi Properti
Putusan MA di atas memiliki konsekuensi signifikan bagi transaksi properti di Indonesia. Bagi para notaris dan PPAT, putusan ini menegaskan pentingnya verifikasi status perkawinan penjual dan ketersediaan persetujuan pasangan, sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian dalam pembuatan akta. Bagi pembeli, putusan tersebut menjadi peringatan untuk tidak hanya mengandalkan dokumen kepemilikan, tetapi juga memastikan legitimasi penjual untuk mengalihkan properti tersebut, terutama ketika properti merupakan harta bersama dalam perkawinan. Bagi pasangan suami-istri, putusan ini menekankan pentingnya transparansi dalam pengelolaan harta bersama dan perlunya dokumentasi formal atas persetujuan pengalihan harta bersama.
Perkembangan Terkini dan Tren Yuridis
Putusan MA No. 2799 K/Pdt/2015 bukanlah putusan pertama yang menegaskan prinsip ini. Sebelumnya, MA telah membuat beberapa putusan yang menyatakan bahwa penjualan objek harta bersama tanpa persetujuan suami atau istri adalah tidak sah dan batal demi hukum.
Tren putusan pengadilan dalam dekade terakhir menunjukkan konsistensi dalam mempertahankan prinsip persetujuan bersama ini, dan pengadilan cenderung membatalkan transaksi yang dilakukan tanpa persetujuan pasangan. Namun, terdapat nuansa menarik dalam beberapa putusan yang memberikan validitas terbatas pada transaksi tersebut, khususnya ketika dapat dibuktikan bahwa hasil penjualan dipergunakan untuk kepentingan keluarga, atau adanya ratifikasi implisit dari pasangan yang tidak memberikan persetujuan formal.
Strategi Preventif dan Solusi Praktis
Bagi para praktisi hukum dan masyarakat umum, penting untuk mengadopsi langkah-langkah preventif guna mencegah sengketa serupa:
- Dokumentasi Formal: Pastikan persetujuan pasangan didokumentasikan secara formal, idealnya dalam bentuk akta notaris atau minimal surat persetujuan tertulis dengan saksi.
- Klausul Representasi dan Jaminan: Dalam perjanjian jual beli properti, sertakan klausul yang mewajibkan penjual untuk menjamin bahwa pengalihan telah dilakukan dengan persetujuan yang diperlukan.
- Verifikasi Komprehensif: Pembeli dan profesional hukum yang terlibat perlu melakukan verifikasi status perkawinan penjual dan keberadaan persetujuan pasangan sebagai bagian dari standard due diligence.
- Perjanjian Perkawinan: Bagi pasangan yang menginginkan fleksibilitas lebih besar dalam pengelolaan aset, perjanjian perkawinan dapat menjadi solusi untuk menetapkan rezim harta terpisah.
Keseimbangan dan Perlindungan
Putusan MA di atas menimbulkan pertanyaan filosofis tentang keseimbangan antara otonomi individu dan perlindungan kolektif dalam konteks perkawinan. Di satu sisi, pembatasan kemampuan individu untuk mengalihkan harta bersama dapat dipandang sebagai limitasi terhadap kebebasan bertransaksi. Di sisi lain, pembatasan ini justru menjadi mekanisme perlindungan bagi institusi perkawinan dan hak-hak pasangan.
Yang menarik, ketentuan persetujuan bersama ini berlaku setara bagi suami dan istri mencerminkan evolusi hukum keluarga Indonesia menuju kesetaraan gender yang lebih substantif. Ini merupakan kemajuan signifikan dari paradigma tradisional yang cenderung memberikan posisi dominan kepada suami dalam pengelolaan harta bersama.
Kesimpulan
Putusan MA No. 2799 K/Pdt/2015 memberikan penegasan penting tentang ketidaksahan pengalihan harta bersama tanpa persetujuan pasangan. Prinsip ini bukan sekadar formalitas prosedural, melainkan manifestasi dari nilai-nilai fundamental dalam hukum perkawinan Indonesia: kesetaraan, transparansi, dan perlindungan terhadap kepentingan keluarga. Bagi individu yang terlibat dalam transaksi properti, kesadaran akan prinsip hukum ini sangat penting untuk mencegah sengketa dan kerugian finansial. Bagi praktisi hukum, pemahaman mendalam terhadap prinsip ini memungkinkan pemberian nasihat hukum yang tepat dan penyusunan transaksi yang lebih aman.
Dalam lanskap hukum yang terus berkembang, kita perlu terus mengikuti perkembangan yurisprudensi terkait harta bersama. Sebagai firma hukum yang berkomitmen pada keunggulan dan layanan klien yang komprehensif, kami di ERCOLAW siap membantu Anda menghadapi kompleksitas hukum terkait harta bersama, baik dalam konteks preventif maupun penyelesaian sengketa.
Apabila memiliki pertanyaan tentang status hukum dan transaksi properti yang melibatkan harta bersama? Atau mungkin membutuhkan pendampingan dalam menyelesaikan sengketa terkait pengalihan harta bersama? Tim ahli kami siap membantu Anda menavigasi kompleksitas hukum dengan solusi yang tepat dan efektif. Hubungi kami untuk konsultasi awal dan temukan bagaimana kami dapat melindungi kepentingan hukum Anda.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw