Badan Tata Usaha Negara Tidak Bisa Ajukan Peninjauan Kembali

Badan Tata Usaha Negara Tidak Bisa Ajukan Peninjauan Kembali

Bagikan :

Dalam sistem hukum Indonesia, fungsi utama Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat terhadap tindakan atau keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (TUN) yang dianggap merugikan. Namun, polemik muncul ketika Badan atau Pejabat TUN yang telah dinyatakan kalah oleh pengadilan mencoba mengajukan upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali (PK). Apakah langkah tersebut sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum? Artikel ini akan membahas isu tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 24/PUU-XXII/2024, yang secara tegas mengatur keterbatasan hak Badan atau Pejabat TUN untuk mengajukan PK terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.


Landasan Hukum dan Substansi Putusan MK Nomor 24/PUU-XXII/2024

Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN) memungkinkan diajukannya PK terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa norma ini harus dimaknai secara terbatas. Berdasarkan pertimbangan Mahkamah, Badan atau Pejabat TUN tidak memiliki hak untuk mengajukan PK atas putusan PTUN yang telah inkracht.

Pertimbangan Mahkamah

Dalam putusan ini, Mahkamah menjelaskan bahwa PTUN didirikan bukan hanya untuk memberikan perlindungan kepada pihak-pihak perseorangan, tetapi juga untuk memastikan pelaksanaan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Dalam kaitan ini, Mahkamah menyatakan bahwa Badan atau Pejabat TUN, sebagai organ pemerintah, memiliki kewajiban hukum untuk menjalankan keputusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, tanpa menunda-nunda pelaksanaannya melalui mekanisme PK. Pertimbangan hukum Mahkamah di halaman 33-35 menyebutkan:

  1. Tujuan PTUN: PTUN dirancang sebagai sarana perlindungan hukum bagi masyarakat terhadap tindakan pemerintah yang merugikan, baik karena melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, maupun bertindak sewenang-wenang.
  2. Prinsip Keadilan dan Kepastian Hukum: Mahkamah menekankan bahwa memberikan hak kepada Badan atau Pejabat TUN untuk mengajukan PK justru bertentangan dengan prinsip keadilan dan Kepastian hukum dalam sengketa TUN. Hal ini karena PK oleh pihak TUN cenderung menunda pelaksanaan putusan, yang berujung pada tertundanya keadilan bagi penggugat.
  3. Posisi Hukum Badan atau Pejabat TUN: Sebagai tergugat dalam perkara TUN, Badan atau Pejabat TUN sudah memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding penggugat. Oleh karena itu, mereka harus tunduk pada putusan pengadilan yang telah inkracht tanpa mencari cara untuk memperpanjang proses hukum.
  4. Asas Kepatuhan Hukum: Mahkamah menegaskan bahwa organ negara, seperti Badan atau Pejabat TUN, harus mematuhi hukum, termasuk melaksanakan putusan pengadilan yang bersifat final dan mengikat.

Dampak Putusan MK terhadap Penegakan Hukum TUN

1. Memperkuat Keadilan bagi Masyarakat

Putusan ini memberikan kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat sebagai penggugat. Jika Badan atau Pejabat TUN yang kalah terus-menerus diberikan ruang untuk mengajukan PK, proses hukum dapat menjadi alat untuk menunda-nunda pelaksanaan putusan. Adagium “justice delayed, justice denied” menjadi relevan dalam konteks ini, di mana keadilan yang tertunda sama saja dengan keadilan yang diabaikan.

2. Mendorong Kepatuhan pada Putusan Pengadilan

Dengan pembatasan hak PK bagi Badan atau Pejabat TUN, putusan ini memastikan bahwa organ negara tidak dapat mengabaikan kewajibannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan. Hal ini memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan, sekaligus mendorong pemerintah untuk bertindak sesuai prinsip rule of law.

3. Menghilangkan Potensi Ketidakpastian Hukum

Salah satu masalah yang sering terjadi dalam sengketa TUN adalah ketidakpastian hukum akibat proses hukum yang berkepanjangan. Dengan tidak diperbolehkannya Badan atau Pejabat TUN mengajukan PK, masyarakat sebagai pihak yang dirugikan dapat segera memperoleh kepastian hukum dan eksekusi putusan.


Contoh Kasus Relevan

Putusan MK Nomor 24/PUU-XXII/2024 menjadi titik penting dalam sengketa TUN. Sebagai contoh, kasus di mana seorang warga negara menggugat keputusan pencabutan izin usaha oleh pemerintah daerah. Dalam kasus ini, pengadilan tingkat pertama dan kasasi telah memutuskan bahwa tindakan pencabutan izin tersebut melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Namun, pemerintah daerah mencoba menunda pelaksanaan putusan dengan mengajukan PK. Berdasarkan putusan MK, langkah seperti ini tidak dapat diterima karena bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum terhadap masyarakat.


Kesimpulan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XXII/2024 memberikan kepastian hukum yang sangat penting dalam sengketa Tata Usaha Negara. Pembatasan hak PK bagi Badan atau Pejabat TUN adalah langkah progresif yang memastikan bahwa keadilan tidak hanya menjadi prinsip teoritis, tetapi juga diterapkan secara nyata. Badan atau Pejabat TUN, sebagai representasi negara, harus menjadi contoh dalam mematuhi putusan pengadilan dan menjalankan prinsip good governance. Dengan tidak diberikannya ruang untuk mengajukan PK, diharapkan proses hukum dalam sengketa TUN dapat lebih efisien, adil, dan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi masyarakat.

Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :