Dalam dinamika permasalahan perkawinan terutama terhadap pasangan yang tinggal di lintas negara, seringkali anak menjadi objek tarik-menarik diantara kepentingan orang tua yang akan berpisah. Tanpa disadari, anak dijadikan bagian dari negosiasi perceraian, dibungkus dalam kesepakatan hak asuh yang kelihatannya adil, tetapi sulit untuk dilaksanakan. Dalam kondisi tersebut, seperti apa negara akan berperan dalam menyikapi kesepakatan yang dibuat oleh para pihak ?
Berkaitan permasalahan tersebut, Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 2021 K/Pdt/2020 menghadirkan pelajaran penting sekaligus teguran keras bagi mereka yang terlalu mengandalkan kesepakatan dalam membagi hak asuh anak (Joint custody) tanpa mempertimbangkan kepentingan terbaik anak yang harus menjadi perhatian utama.
Kesepakatan Tidak Sejalan dengan Realita
Kasus ini bermula dari perceraian sepasang suami-istri beda negara yang menyepakati hak asuh bersama untuk anak mereka, dimana disepakati: tujuh hari dengan ibu, tujuh hari dengan ayah. Namun, ayah tinggal di Amerika Serikat, sementara ibu dan anak berdomisili di Indonesia.
Secara teoritis, kesepakatan tersebut sejalan dengan asas pacta sunt servanda (Pasal 1338 KUH Perdata) bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya. Namun, implementasi teknis kesepakatan tersebut menabrak realitas, perpindahan mingguan lintas negara jelas mustahil tanpa membebani anak secara fisik dan emosional.
MA pun akhirnya menolak logika legalistik yang kaku, menegaskan bahwa logika hukum tidak boleh terlepas dari logika kemanusiaan. Negara tidak bisa diam ketika kepentingan terbaik anak dikompromikan.
Negara Hadir Saat Kepentingan Anak Terancam
Dalam amar putusannya, Mahkamah Agung menyatakan:
“Bahwa terbukti bahwa Penggugat Rekonpensi dan anaknya CGY adalah WNI dan bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan RI (NKRI);
Bahwa meskipun dalam perjanjian yang disepakati antara Penggugat dengan Tergugat hak asuh untuk anak diberikan kepada Penggugat 7 (tujuh) hari dan kepada Tergugat 7 (tujuh) hari, akan tetapi oleh karena Penggugat tinggal di Amerika Serikat dan Tergugat dan anaknya tinggal di Indonesia, maka apabila dikabulkannya mengenai hak asuh tersebut akan sangat sulit untuk dilaksanakan;
Bahwa meskipun telah ada kesepakatan dan berlaku sebagai undangundang bagi para pihak yang membuatnya, namun negara dan pemerintah RI wajib melindungi warga negaranya, sehingga untuk pengasuhan anak di bawah umur dipandang tepat dan adil berada dibawah pengasuhan Tergugat selaku ibunya”
Putusan ini memperkuat prinsip best interest of the child sebagaimana diatur dalam:
- Pasal 28B (2) UUD 1945, yang menyatakan “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Pasal 2 UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak
- Pasal 3 & 4 Konvensi Hak-Hak Anak (CRC), yang pada pokoknya menyatakan “Semua tindakan dan keputusan menyangkut seorang anak harus dilakukan atas dasar kepentingan terbaik sang anak”, dan ”Pemerintah bertanggung jawab memastikan semua hak yang dicantumkan di dalam Konvensi dilindungi dan dipenuhi untuk tiap anak“.
MA juga secara implisit mengakui aspek psikologis dan sosiologis anak sudah bersekolah di Indonesia, memiliki kehidupan yang stabil, dan terikat secara emosional dengan sang ibu.
Kesepakatan Privat Bukan Harga Mati
Perjanjian perdata memang bersifat mengikat, tetapi tidak absolut. Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan dapat dibatalkan. Dalam perkara ini, pelaksanaan perjanjian justru berpotensi melanggar hak anak untuk hidup dalam lingkungan yang aman dan stabil.
Intervensi negara, dalam hal ini, bukanlah pelanggaran terhadap kebebasan berkontrak, tetapi justru penegasan peran negara dalam melindungi pihak yang paling rentan—anak-anak. Seperti ditegaskan oleh Prof. Satjipto Rahardjo, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.
Antara Perlindungan dan Kedaulatan
Putusan MA No. 2021 K/Pdt/2020 bukan sekadar solusi untuk satu sengketa, melainkan preseden strategis dalam hukum perceraian dan perlindungan anak di Indonesia. Ini menyampaikan pesan bahwa:
Kepentingan anak dalam kesepakatan hak asuh hal utama dari pada kepentingan para pihak
Status kewarganegaraan anak menjadi dasar perlindungan oleh negara Indonesia
Yurisdiksi nasional tidak tunduk pada kesepakatan jika bertentangan dengan hukum nasional
Preseden ini sejalan dengan Putusan MA No. 110 K/AG/2007 2015 yang pada pokoknya menegaskan bahwa hak asuh anak dapat berubah sesuai perkembangan keadaan dan tetap mengacu pada kepentingan terbaik anak.
Evaluasi Kesepakatan Anda
Untuk Anda yang berada dalam perkawinan campuran atau sedang menyusun kesepakatan parenting plan lintas negara, pertimbangkan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah pengaturan hak asuh anak yang disepakati realistis untuk dilaksanakan?
Apakah perjanjian tersebut memperhitungkan kondisi tempat tinggal dan sekolah anak?
Apakah ia mencerminkan prinsip kepentingan terbaik anak menurut hukum Indonesia?
Tips menyusun perjanjian yang berkelanjutan:
Sertakan klausul adaptif untuk menyesuaikan dengan perubahan keadaan anak.
Hindari skema pembagian waktu yang ekstrem, seperti rotasi mingguan antar pulau atau negara.
Dokumentasikan fakta-fakta penting (domisili, sekolah, ikatan emosional anak).
Gunakan jasa pengacara yang paham hukum keluarga internasional.
Bila Kepentingan Anak Terancam
Negara tidak bisa bersikap netral ketika anak menjadi korban dari kesepakatan yang tidak adil secara implementatif. Perlindungan terhadap anak bukanlah opsi, melainkan kewajiban konstitusional. Melalui preseden Mahkamah Agung di atas, kita diingatkan kembali bahwa perjanjian tidak boleh menjadi alat legal untuk menutupi kerentanan anak. Hukum hadir untuk memastikan bahwa kepentingan terbaik anak bukan hanya slogan, tetapi prinsip hidup dalam praktik peradilan.
Bersama Ercolaw, kami siap membantu Anda menyusun strategi hukum yang berpihak pada anak dan menjunjung prinsip keadilan lintas yurisdiksi.
Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw