Hapusnya Hak Tanah Barat Karena Tidak di Konversi

Bagikan :

Bagi Anda yang berkecimpung dalam industri properti, mungkin pernah mendengar istilah “tanah bekas hak Barat” atau “eigendom verponding”? Jika belum, kini saatnya Anda memahami konsep krusial ini. Kesalahan memahami status hukum tanah bekas hak Barat bisa berujung pada hilangnya aset berharga senilai miliaran rupiah dan litigasi berkepanjangan yang menguras sumber daya perusahaan. Pada masa kolonial Belanda, pemerintah kolonial menerapkan sistem dual land law yang memberikan hak-hak atas tanah bagi warga Eropa dan yang dipersamakan. Salah satu hak yang paling kuat adalah Hak Eigendom, serupa dengan konsep hak milik absolut dalam hukum perdata Barat. Hak ini dilindungi oleh hukum Belanda dan terdaftar dalam register verponding (pajak tanah), sehingga sering disebut sebagai Eigendom Verponding.

Setelah Indonesia merdeka dan memberlakukan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, sistem hukum pertanahan mengalami perubahan secara fundamental. UUPA menetapkan bahwa hak-hak atas tanah masa kolonial Belanda harus dikonversi ke dalam sistem hak baru sesuai hukum nasional Indonesia.

Batasan Waktu Konversi Sering Terabaikan

Yang sering luput dari perhatian banyak pemilik properti dan bahkan profesional hukum adalah adanya batas waktu yang tegas untuk konversi hak-hak tanah Barat tersebut. UUPA memberikan tenggat waktu hingga 24 September 1980 untuk mengajukan konversi. Ketentuan ini diperkuat dengan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat. Jika sampai batas waktu tersebut pemilik tanah bekas hak Barat tidak mendaftarkan konversinya, status tanah tersebut otomatis berubah menjadi tanah negara.

MA Konsisten Menolak Klaim Tanah Hak Barat

Konsep hapusnya hak tanah Barat karena tidak dikonversi bukan hanya teori belaka. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah berulang kali memutuskan perkara dengan pendirian yang konsisten: tanah bekas hak Barat yang tidak dikonversi tepat waktu menjadi tanah negara.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1715 K/Pdt/2018

Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung dengan tegas menyatakan:

Bahwa dikarenakan Penggugat tidak melakukan konversi hak tanah atas objek sengketa sampai dengan waktu yang ditentukan oleh undangundang, yaitu hingga tanggal 24 September 1980, maka hak Penggugat atas tanah objek sengketa menjadi gugur;

Bahwa  Tergugat  I  dan  II  menguasai  objek  sengketa  telah  sesuai prosedur undang-undangan yang berlaku  dan dilakukan dengan iktikad baik, sehingga kemudian telah diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan terakhir atas  nama  PT  Bank  Mandiri,  dengan  demikian  dalil  adanya  perbuatan melawan hukum yang dilakukan Tergugat tidak terbukti

MA lebih lanjut membenarkan penerbitan sertifikat Hak Guna Bangunan kepada pihak lain (terakhir atas  nama  PT  Bank  Mandiri) yang telah menguasai tanah tersebut dengan itikad baik dan sesuai prosedur.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 272 PK/Pdt/2019

Dalam putusan Peninjauan Kembali ini, MA kembali menegaskan prinsip yang sama:

“Bahwa tidak ditemukan adanya kehilafan Hakim atau kekeliruan yang nyata karena atas tanah objek sengketa dalam perkara a quo dengan hak Ex Verponding telah berakhir haknya karena tidak dikonversi ke dalam hak-hak  yang telah diatur  di dalam Undang Undang Pokok Agraria, sehingga tanah Ex Verponding tersebut menjadi  tanah negara;

Bahwa objek sengketa semenjak tahun 1987 dikuasai Tergugat I dan Tergugat  II  dengan iktikad baik berdasarkan Surat  Ijin Penghunian (SIP) dari Kepala Dinas Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta”

Putusan Mahkamah Agung Nomor 4029 K/Pdt/2024

Dalam kasus yang lebih baru, MA tetap konsisten dengan pendirian tersebut. Dalam kasus ini, penggugat mengklaim kepemilikan berdasarkan Hak Milik Nomor 57 tahun 1942 (Hak Lama Bekas Milik Asing/Tionghoa), namun pengajuan pendaftaran tanah melebihi batas waktu konversi. MA memutuskan:

Bahwa pokok sengketa dalam perkara a quo adalah terkait kepemilikan objek sengketa berupa sebidang tanah yang terletak di Jalan A.R. Hakim Nomor 6, Kelurahan Belakang Pondok, Kecamatan Padang Selatan, Kota Padang, dengan Surat Ukur/Gambar Situasi Nomor 407/1997 tanggal 22 November 1997, dimana menurut Penggugat objek sengketa diperoleh dari warisan  orang  tua  kandungnya  yang  bernama  Lim  Tjiang  Poan (Almarhum), sesuai bukti Hak Milik Nomor 57 tanggal 30 Mei 1942, oleh karena  itu  perbuatan  Tergugat  I  telah  menguasai  objek  sengketa merupakan perbuatan melawan hukum;

Bahwa pendaftaran tanah atas objek sengketa diajukan oleh Penggugat kepada  Turut  Tergugat,  melebihi  waktu  untuk  melakukan  konversi sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal  55 ayat  (1) Undang-Undang Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1960, dimana permohonan pendaftaran tanah tersebut oleh Penggugat tanpa adanya bukti yang diajukan di persidangan berupa surat penguasaan fisik bidang tanah (sporadik);

Bahwa terhadap aset bekas milik asing/Tionghoa dikuasai oleh Negara, yang penyelesaian aset bekas milik asing/Tionghoa telah dilakukan oleh Tim  Asistensi  yang  dibentuk  oleh  Tergugat  II,  dimana  Tim  Asistensi tersebut merekomendasikan diantaranya agar terhadap objek sengketa dimantapkan statusnya menjadi Barang Milik Negara/Daerah;

Bahwa  dengan  demikian  tepat  pertimbangan  Judex  Facti/Pengadilan Tinggi yang membatalkan Judex Facti/Pengadilan Negeri, oleh karena itu Penggugat  tidak  berhak  lagi  atas  objek  sengketa  maka  gugatan Penggugat ditolak untuk seluruhnya”

MA juga menegaskan bahwa terhadap aset bekas milik asing/Tionghoa dikuasai oleh Negara, dan status tanah tersebut harus dimantapkan menjadi Barang Milik Negara/Daerah.

BACA:  Strategi Efektif Sengketa Properti di Indonesia

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1309 PK/Pdt/2024

Dalam putusan terbaru, MA membatalkan putusan kasasi sebelumnya yang mengabulkan gugatan penggugat. MA dengan tegas menyatakan:

bahwa Putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam putusannya, sudah tepat mempertimbangkan Para Penggugat tidak dapat membuktikan adanya bukti permohonan konversi atas bekas tanah hak barat Eigendom Verponding Nomor 3 atas nama W.A. Baron Baud, selain itu Para Penggugat juga tidak dapat menunjukkan adanya bukti permohonan dan pemberian hak baru atas tanah asal konversi hak barat Eigendom Verponding Nomor 3 atas nama W.A. Baron Baud, maka sejak tanggal 24 September 1980 tanah bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 3 atas nama W.A. Baron Baud menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, sehingga dengan demikian Para Penggugat tidak mempunyai hubungan hukum kepemilikan terhadap tanah Negara yang berasal dari tanah bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 3 tersebut;

Bahwa karena Para Penggugat telah terbukti tidak ada hubungan kepemilikan terhadap tanah Negara bekas hak barat Eigendom Verponding Nomor 3 atas nama W.A. Baron Baud, maka perbuatan Tergugat I dan Tergugat II dalam menguasai tanah sengketa dalam perkara a quo bukan merupakan perbuatan melawan hukum, sebab tanah sengketa yang dikuasai oleh Tergugat I dan Tergugat II adalah tanah milik adat (bukti TI.II.-1 sampai dengan TI.II.-26) bukan bagian dari Eigendom Verponding Nomor 3 Perkebunan Jatinangor yang dulunya dikuasai W.A. Baron Baud, dan sejak tahun 1995 hingga saat ini tanah objek sengketa adalah hak milik sah dari Tergugat I dan Tergugat II hasil pembelian yang sah dari masyarakat Desa Cilayung dengan transaksi jual beli yang sah secara hukum, sehingga dengan demikian objek tanah sengketa a quo adalah hak milik yang sah Tergugat I dan Tergugat II, dan tidak ada hubungan hukum apapun dengan Para Penggugat

Putusan Mahkamah Agung Nomor 6241 K/Pdt/2024

Dalam putusan terbaru lainnya, MA menegaskan kembali:

“.Bahwa Para Penggugat mendalilkan sebagai Ahli Waris dari Alm. Ir. H. A Manaf Zakaria berdasarkan Surat Keterangan Ahli Waris tertanggal 13 November 2019, semasa hidup Alm Ir. H. A Manaf Zakaria memiliki sebidang tanah dengan cara membeli tanah Ex. Eigendom Nomor 544, seluas 11.609 m 2 , (sebelas ribu enam ratus sembilan meter persegi) berdasarkan Surat Keterangan Jual Beli (tertulis Surat Keterangan Djual Beli) pada tanggal 16 Juli 1970 dari Azmah Binti Muhammad Nuh yang dahulu terletak di Desa Padang Jati Wilayah IV, Kotamadya Bengkulu;

Bahwa alas hak Penggugat adalah didasarkan Surat Eigendom dibuat tahun 1921 telah habis masa berlakunya dan telah menjadi tanah negara dan sampai dengan sekarang diatas tanah tersebut tidak terbit seritifikat dan tidak pula dikuasai oleh Penggugat sehingga terbukti Penggugat tidak memiliki legalitas dalam mengajukan gugatan a quo

Status Tanah Hak Barat Yang Tidak Dikonversi

Berdasarkan berbagai putusan Mahkamah Agung tersebut, dapat ditarik kesimpulan hukum yang tegas:

  1. Tanah Bekas Hak Barat (termasuk Hak Eigendom dan Hak Ex-Verponding Indonesia) yang tidak dikonversi sesuai dengan ketentuan UUPA dan tidak didaftarkan hingga lewat batas waktu yang ditentukan, menjadi tanah negara.
  2. Pemegang hak sebelumnya atau ahli warisnya tidak lagi memiliki dasar hukum untuk menuntut kepemilikan atau penguasaan atas tanah tersebut apabila:
    • Tidak melakukan konversi hak sesuai ketentuan Peraturan Menteri Agraria No. 2 Tahun 1960 atau Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 (kemudian diganti PP No. 24 Tahun 1997),
    • Tidak mendaftarkan haknya dalam jangka waktu konversi yang telah ditetapkan,
    • Tidak dapat menunjukkan bukti penguasaan fisik dan yuridis yang sah secara terus-menerus.
  3. Aset tanah yang berasal dari hak barat yang tidak dikonversi atau ditelantarkan dapat ditetapkan sebagai Barang Milik Negara (BMN) atau Barang Milik Daerah (BMD), sepanjang terdapat keputusan administratif atau yuridis dari instansi berwenang (seperti BPN atau Pemerintah Daerah) yang menyatakan status tanah tersebut menjadi milik negara.
  4. Surat-surat lama seperti eigendom, verponding, dan ex-right barat lainnya tidak memiliki kekuatan hukum setelah masa berlakunya UUPA apabila tidak diikuti dengan konversi dan pendaftaran ulang dalam sistem pertanahan nasional.
  5. Keberadaan pihak ketiga yang menguasai tanah secara fisik dan mendaftarkan haknya (misalnya memperoleh sertifikat hak milik) atas tanah eks-hak barat yang telah lama ditelantarkan dan tidak dikonversi, lebih diutamakan perlindungannya oleh hukum agraria nasional.
BACA:  Tanggung Jawab Pelaku Usaha Dalam Proses KPR

Peluang untuk Memohonkan Hak Baru

Meskipun tanah bekas hak Barat yang tidak dikonversi telah menjadi tanah negara, masih ada peluang untuk memohonkan hak baru atas tanah tersebut. Namun, perlu dipahami bahwa prosesnya berbeda dengan proses konversi yang telah lewat waktu.

1. Permohonan Hak Milik

Permohonan Hak Milik atas tanah bekas hak Barat yang telah menjadi tanah negara dapat diajukan dengan syarat-syarat pokok antara lain :

  • Pemohon adalah Warga Negara Indonesia
  • Tanah tersebut secara fisik telah dikuasai dengan itikad baik
  • Tidak ada sengketa atau klaim dari pihak lain
  • Memenuhi syarat untuk diberikan Hak Milik sesuai dengan UUPA

Namun, berdasarkan preseden putusan di atas, kedudukan orang yang mengklaim sebagai pemilik lama berdasarkan Eigendom atau hak barat lainnya tidak akan diutamakan. Bahkan, klaim tersebut mungkin ditolak sama sekali, kecuali memenuhi Pasal 24 PP No. 24 Tahun 1997.

2. Permohonan Hak Guna Bangunan

Alternatif lain adalah mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan, yang bisa diberikan kepada:

  • Warga Negara Indonesia
  • Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia

Dalam beberapa putusan MA, terlihat bahwa pihak yang telah menguasai tanah secara fisik dan memperoleh izin dari pejabat yang berwenang memiliki posisi yang lebih kuat untuk memperoleh Hak Guna Bangunan, dibandingkan dengan pemilik lama yang mengklaim berdasarkan Eigendom yang tidak dikonversi.

Strategi Hukum untuk Perusahaan Properti

Berdasarkan preseden hukum dan ketentuan perundang-undangan, berikut strategi yang dapat diterapkan bagi perusahaan properti yang berurusan dengan tanah bekas hak Barat:

1. Due Diligence Riwayat Kepemilikan Tanah

Sebelum membeli atau berinvestasi pada properti, lakukan penelusuran riwayat kepemilikan (title search) yang komprehensif. Periksa apakah tanah tersebut berasal dari hak Barat dan apakah telah dikonversi dengan benar sebelum batas waktu 24 September 1980.

BACA:  Daluarsa Pengajuan Gugatan Terhadap Tanah Bersertifikat

2. Hindari Transaksi Berdasarkan Bukti Hak Barat Saja

Meskipun penjual menunjukkan bukti Eigendom Verponding yang tampak otentik, namun jika tidak ada bukti konversi ke sistem UUPA sebelum batas waktu yang telah ditentukan, dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum. Hindari melakukan transaksi hanya berdasarkan bukti Hak Barat inc. Eigendom tanpa Bukti yang sah menurut UUPA.

3. Pertimbangkan Permohonan Hak Baru ke BPN

Jika Anda menemukan tanah yang statusnya bekas hak Barat yang belum dikonversi, pertimbangkan untuk mengajukan permohonan hak baru langsung ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Pastikan Anda dapat membuktikan penguasaan fisik dengan itikad baik dan tidak ada klaim/sengketa dari pihak lain.

4. Antisipasi Litigasi

Bila perusahaan Anda telah memperoleh hak atas tanah bekas hak Barat, antisipasi kemungkinan gugatan dari pihak yang mengklaim sebagai pemilik lama berdasarkan Eigendom. Kumpulkan bukti lengkap perolehan hak Anda melalui prosedur yang sah.

Pahami Risiko dan Peluang

Tanah bekas hak Barat yang tidak dikonversi tepat waktu menjadi tanah negara. Hal tersebut menjadi prinsip hukum yang telah ditegaskan secara konsisten oleh Mahkamah Agung RI. Bagi pebisnis properti, memahami prinsip ini sangatlah krusial untuk menghindari investasi yang berisiko tinggi. Di sisi lain, tanah-tanah tersebut juga menyimpan peluang bagi pihak yang dapat membuktikan penguasaan fisik dengan itikad baik dan memperoleh hak baru melalui prosedur yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan.

Setiap kasus memiliki keunikan tersendiri, dan mengingat nilai properti yang signifikan, konsultasi dengan pengacara yang berkompeten dalam hukum pertanahan sangat dianjurkan sebelum mengambil keputusan bisnis terkait tanah bekas hak Barat.

Ercolaw memiliki tim pengacara properti berpengalaman yang siap membantu Anda menghadapi kompleksitas hukum pertanahan di Indonesia. Dari due diligence, pengurusan hak atas tanah, hingga penyelesaian sengketa properti, kami hadir untuk melindungi investasi Anda. Hubungi kami untuk konsultasi awal dan dapatkan perlindungan hukum optimal bagi aset properti Anda. Bagikan artikel ini ke rekan Anda yang memiliki masalah serupa.


Artikel di tulis oleh Erlangga Kurniawan, Managing Partner Ercolaw


Bagikan :